Jenjang Karier Dosen
Elisabeth Rukmini
KOMPAS Cetak |
Lebih dari dua tahun lalu saya menulis
"Rumitnya Jenjang Karier Dosen" (Kompas, 16/2/2013). Kali ini saya
menulis demikian rumitnya jenjang karier dosen oleh tambahan peraturan
dari pemerintah.
Peraturan
itu ironis dengan fakta bahwa penyelenggara pendidikan tinggi terus
mengeluhkan betapa sulit merekrut dosen. Karier dosen bukan pilihan
terbaik lulusan S-1 hingga S-3 kita, apalagi jika mereka tahu jenjang
karier dosen amat rumit.
Saya mengikuti beberapa pertemuan
terkait sumber daya dosen di tingkat nasional. Pertemuan terakhir
bersangkutan secara khusus dengan dosen Fakultas Kedokteran. Sungguh
sulit merekrut dokter jadi dosen, apalagi, setelah direkrut, lebih
sulit lagi membina dan mempertahankan dosen. Mengapa jenjang jabatan
akademik dosen perlu diperumit lagi? Tulisan Rhenald Kasali (Kompas, 15/9/2014) yang disanggah Erry Yulian Triblas Adesta (Kompas, 2/12/2014) menunjukkan kegelisahan apa benar "harga dosen naik?".
Tulisan
ini menyumbang saran bagaimana mungkin menaikkan harga dosen jika
penilaian atas kualitas dosen demikian kaku dari pemerintah, yang
mengatur jenjang karier dosen? Apakah perguruan tinggi negeri (PTN) dan
perguruan tinggi swasta (PTS) akan memperebutkan dosen yang "hanya"
asisten ahli? Berapakah "harga dosen" lektor kepala, sementara karena
kakunya peraturan, lektor kepala saat ini harus doktor? Cukup
berhargakah dosen muda yang belum S-2/S-3 dan hanya menunjukkan potensi
publikasi?
Segera pula teringat isu tentang otonomi perguruan
tinggi sebagaimana terus didengungkan Satryo Soemantri Brodjonegoro
(terakhir: Kompas,
9/3/2015), termasuk tulisan para pakar pendidikan tinggi yang pro
otonomi pendidikan tinggi dalam beragam aspek. Benarkah langkah
pemerintah jadi penentu hingga juklak perhitungan teknis dan aturan kaku
menilai karier dosen sehingga dosen di mana pun berada dengan sifat
institusi sangat heterogen dinilai dengan cara seragam? Demikian
besarkah kekuatan aturan pemerintah menentukan jenjang karier dosen
secara sama rata?
Perhitungan teknis
Awal
November 2014 ada perubahan pada perhitungan teknis beban kredit untuk
publikasi ilmiah internasional dengan perhitungan kredit demikian kaku.
Sebelumnya, publikasi internasional dapat memiliki poin maksimal 40,
kini dibuat tiga kategori: maksimal 40 poin, maksimal 30 poin, dan
maksimal 20 poin. Kelas pertama untuk artikel yang terbit dalam jurnal
ilmiah internasional dengan impact factor dan terindeks Scopus atau ISI; kelas kedua untuk yang tak memiliki impact factor,
tetapi terindeks di Scopus atau ISI; kelas ketiga untuk yang terindeks
"hanya" di Directory of Open Access Journal (DOAJ), Google Scholar, dan
Copernicus.
Dalam kerumitan ini terkandung sedikitnya empat kekurangpahaman. Benarkah
dosen kita mayoritas telah mampu atau dimampukan meneliti dan
publikasi? Cukup dipahamikah makna terindeks oleh lembaga berbayar
indeks? Dengan begitu rumitnya jenjang karier ini, bagaimana dunia
pendidikan tinggi melakukan rekrutmen (naikkah harga dosen?)? Jika
remunerasi bagi dosen masih dipandang tak menarik, apalagi dengan
kerumitan jenjang karier, apakah yang dapat dijanjikan dunia pendidikan
tinggi merekrut dosen baru (apalagi calon dosen berkualitas)?
Bahwa
harga dosen naik dan jadi rebutan tentu akan benar bagi dosen
berkualitas dan memenuhi tri dharma dengan mumpuni. Berapa persen yang
demikian? Sementara, lembaga yang membesarkan dosen itu hingga mumpuni
dapat ditinggalkan dan sah saja dalam dunia profesional. Pertanyaannya,
bagaimana PT baru, PTS, PTN relatif berukuran sedang dan kecil dapat
bersaing atau dapat mempertahankan para dosennya?
Tulisan ini
hanya membahas masalah pertama. Perlu diakui, dosen di negeri ini amat
heterogen. Ribuan alasan jadi dosen. Heterogenitas bukan saja personal,
juga institusional. Jenjang PT terbagi secara institusional
berdasarkan kepemilikan (PTN dan PTS) serta jenjang studi yang
ditawarkan (D-1 hingga S-3). Heterogenitas termasuk juga penghargaan
atas tersebarnya PTN dan PTS dari Sabang hingga Merauke.
Lokasi
menentukan warna karier dosen.
Keheterogenan juga berimbas pada
karya ilmiah yang paling mungkin dihasilkan dosen pada keadaan
tertentu. Jumlah publikasi berbanding positif dengan ragam prodi dan
jenjangnya. Riset mengenai ini sudah banyak dilakukan para ahli
manajemen pendidikan tinggi di dunia. Dapat ditengarai, PT berprodi S-2
dan S-3, para dosennya "diuntungkan" dengan ketersediaan sumber daya
yang dapat bekerja sama untuk penelitian dan penulisan ilmiah demi
kepentingan mutualisme akademik.
PT dengan prodi S-1 tentu masih
dapat bekerja sama dengan produk penulisan ilmiah yang dapat saja
terserap sebagai tulisan di jurnal internasional, tetapi dengan
kemungkinan lebih kecil dibandingkan PT jenis pertama. Bagaimana dengan
PT yang jenjang prodinya D-1 hingga D-3? Bagaimana dengan PT yang
terletak di kepulauan dengan akses terbatas untuk publikasi ilmiah?
Sulit diseragamkan
Jelaslah,
jenjang karier dosen atas nama heterogenitas amat sulit diseragamkan.
Idiom "sejarah ditulis pemenang" agaknya menemukan pembenarannya pada
aturan seragam jenjang karier dosen ini. Pemenangnya adalah institusi
dengan umur cukup senior, memiliki sumber dana cukup untuk mayoritas
dosennya melakukan penelitian dan publikasi, memiliki jenjang prodi
sedikitnya S-1 dan terutama S-2 dan S-3, memiliki berbagai fakultas:
ilmu sosial, IPA, terapan, serta studi komprehensif, memiliki pusat
studi, jejaring nasional dan internasional.
Tak terlalu sulit
memahami kebalikan dari semua sifat itu adalah ketakberdayaan dosen
berkarier lebih cepat dan berkualitas, apalagi dengan peraturan
sedemikian kaku dari pemerintah. Imbasnya, institusi yang tak memiliki
sifat itu, atau mayoritas dari sifat tersebut, ditengarai tersendat.
Apa yang harus dilakukan? Tentu telah ada upaya pemerintah mengangkat PT
yang butuh asuhan. Bimbingan disediakan dalam rupa pertukaran dosen
atau pakar dari PT lebih maju ke PT perlu bimbingan. Rekrutmen dosen
PTN di beberapa tempat juga diberikan kuota lebih daripada di tempat
yang sudah maju. Kopertis disediakan untuk membina PTS.
Langkah
itu perlu dihargai. Meski demikian, jika aturan dibuat sangat kaku dan
seragam (termasuk untuk pihak tak berdaya), memberdayakan yang kurang
berdaya saja tak cukup. Asuhan perlu diberikan dalam kerangka
kebijakan. Bantuan adalah kebijakan yang berbeda pada tenggat tertentu.
Namun, jika hal ini dibuat, betapa banyak peraturan harus dimunculkan
pemerintah karena heterogenitas tadi. Alternatif solusinya: beri
ruang-waktu bagi PT yang perlu dibina dengan peraturan yang dibuat PT
itu dengan pendampingan pemerintah.
Alternatif lain, pemerintah
menghapus kekakuan peraturan baru itu. Sebagai imbal bagi prestasi
dosen yang bisa melebihi aturan, beri penghargaan untuk dosen dan
institusi yang memenuhi kriteria terbaik. Dengan alternatif ini,
pemerintah dapat memfokuskan peraturan yang membela banyak khalayak civitas academica
Indonesia (yang heterogen), sekaligus memfokuskan usaha memberdayakan
institusi dan dosen yang perlu pembinaan. Tentu tak luput memberi
pacuan kepada institusi dan dosen yang sudah terbina, sudah maju, untuk
lebih maju. Peran ini lebih sederhana. Jelas lebih memberikan otonomi
ke penyelenggara PT, tetapi juga memberi kesempatan pemerintah
menjalankan fungsi monev.
Dalam
pertemuan rapat koordinasi PTS, Direktur Direktorat Kelembagaan dan
Kerjasama Ditjen Dikti Hermawan Kresno Dipojono mengandaikan tekad
untuk orientasi pada riset 2045 dapat tercapai jika tahun ini tekad
itu jadi histeria massa ristek, terutama para pihak terkait civitas academica
pendidikan tinggi. Sudah saatnya pemerintah ambil peran lebih bijak,
bukan pada produk kaku yang menghambat kemajuan pihak tak berdaya.
Pemerintah adalah pembela dan pemberdaya bangsa Indonesia, termasuk civitas academica perguruan tinggi.
Elisabeth RukminiPengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta
No comments:
Post a Comment