Publik harus diberitahu mana lembaga survei yang independen dan mana yang menjadi bagian tim sukses.
ist dok
Ada lembaga survei yang hasil-hasilnya memiliki tingkat akurasi tinggi,
tapi ada juga yang prediksinya jauh dari kenyataan. Ada lembaga survei
yang benar-benar objektif, tetapi ada juga lembaga survei profesional
yang disewa partai politik atau kandidat yang objektivitasnya
dipertaruhkan.
Sejak era Reformasi,
hampir tak ada pemilihan umum (pemilu) yang luput dari pantauan -atau
bahkan “intervensi”- lembaga survei. Dari pemilu kepala daerah tingkat
kabupaten/kota hingga pemilu presiden/wakil presiden, lembaga survei
senantiasa mewarnai sejak dini, mulai dari pendeteksian para bakal
kandidat hingga melakukan hitung cepat (quick count) beberapa saat
setelah pemilu dilangsungkan.
Sepanjang dilakukan secara benar dan objektif, lembaga survei punya
peranan yang konstruktif, antara lain untuk menambah kegairahan
pelaksanaan pemilu sehingga para pemilih tertarik dan mau datang ke
bilik suara. Lembaga survei punya peran besar, terutama dalam
memprediksi hasil pemilu. Hasil prediksi inilah yang kemudian direspons
publik, terutama para pengamat hingga pelaksanaan pemilu menjadi ajang
yang menarik perhatian.
Dengan netralitas politiknya, Muhammadiyah tetap jadi tenda besar, tempat bernaung semua golong
Dalam
acara tanwir (permusyawaratan tertinggi setelah muktamar) Muhammadiyah
yang digelar di Samarinda, Kalimantan Timur, baru-baru ini, dua calon
presiden (capres), Joko Widodo dan Prabowo Subianto, sama-sama diberi
kesempatan menyampaikan visi dan misi di hadapan peserta yang terdiri
atas pemimpin Muhammadiyah dan organisasi otonom tingkat pusat serta
pemimpin wilayah (provinsi) dari seluruh Indonesia.
Dengan
mengundang kedua capres, Muhammadiyah ingin menunjukkan kepada publik,
organisasi Islam yang didirikan KH Ahmad Dahlan ini berada di posisi
netral. Artinya, secara organisasi Muhammadiyah tidak berpihak ke
pasangan capres-calon wakil preside (cawapres) mana pun. Netralitas ini
dituangkan secara tegas dalam keputusan (hasil) sidang tanwir.
Sinar Harapan Jumat, 04 September 2015 |dibaca: 71
Di era kepresidenan Joko Widodo, ada fenomena baru yang berkembang dalam kancah perpolitikan nasional.
Di era kepresidenan Joko Widodo, ada fenomena baru yang berkembang
dalam kancah perpolitikan nasional, yakni dahsyatnya kekuatan relawan
yang tanpa reserve mendukung dan membela Jokowi. Namun, pada saat yang
sama (sebagai penyeimbang) fenomena sebaliknya, yakni keberadaan para
pembenci (haters) pun muncul dengan mencela apa pun yang dilakukan
Jokowi.
Menolak kebijakan apa pun yang dikeluarkan pemerintah,
jika disertai argumentasi yang masuk akal berikut jalan keluarnya yang
lebih bagus, tentu akan menjadi masukan yang sangat bermanfaat. Ini juga
akan sangat konstruktif untuk memelihara demokratisasi dan meringankan
beban pemerintah di masa datang.
Sejumlah
partai politik berkomitmen menghilangkan tradisi pemberian “mahar”
dalam proses penjaringan (seleksi) calon kepala daerah.
Sejumlah partai politik berkomitmen menghilangkan tradisi pemberian
“mahar” dalam proses penjaringan (seleksi) calon kepala daerah. Ini akan
menjadi pertanda baik dalam proses demokratisasi pemilihan kepala
daerah (pilkada).
“Mahar” secara generik artinya maskawin, atau
secara terminologis berarti pemberian wajib calon mempelai laki-laki
kepada calon mempelai perempuan sebagai bentuk ketulusan hati dan
ekspresi rasa cinta yang mendalam pada saat akad nikah dilangsungkan.
Di
arena politik, istilah “mahar” dipopulerkan oleh para aktivis partai
Islam yang dibebankan kepada bakal calon yang diseleksi untuk menjadi
calon yang akan maju, baik dalam pilkada maupun pemilihan presiden
(pilpres). Tanpa memberikan “mahar” dengan jumlah yang disepakati,
seorang bakal calon tidak bisa menjadi calon dari partai yang
meminang/dipinang.
Gerakan
mahasiswa kadang terjebak dalam situasi sulit, untuk membedakan antara
bergerak menegakkan moralitas, atau untuk kepentingan politik kekuasaan.
Gerakan mahasiswa sudah tidak murni lagi. Opini insinuatif ini
berkembang di kalangan elite politik belakangan ini; terutama setelah
gelombang demonstrasi mahasiswa terbelah dalam dua kutub, antara yang
menuntut pencabutan mandat Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dan yang
tetap mendukung pemerintah, walau tetap ditambah frasa “secara kritis”.
Polarisasi
itu jelas terlihat saat demonstrasi digalang untuk memperingati Hari
Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2015, yang kemudian disusul peringatan 17
tahun reformasi, 21 Mei 2015. Satu sisi ada gerakan yang jelas menuntut
Presiden Jokowi dan Wakil Presiden (Wapres) JK mundur dari jabatannya.
Di sisi lain ada sebagian gerakan mahasiswa yang tetap bersifat kritis
kepada pemerintah, namun ingin mempertahankan Jokowi-JK hingga akhir
masa jabatannya.
Pesan Muhammadiyah kepada (pemimpin) bangsa, ibarat pesan orang tua pada generasi yang lebih muda.
Salah
satu organisasi Islam paling berpengaruh di Indonesia, Muhammadiyah,
telah sukses menggelar Muktamar ke-47, pada 3-7 Agustus di Makassar,
Sulawesi Selatan. Selain menghasilkan kepemimpinan baru, ada sejumlah
“pesan” disampaikan kepada bangsa ini, terutama para pemimpinnya. Pesan
yang memang layak disampaikan karena usia Muhammadiyah jauh lebih tua
dari Indonesia sebagai republik yang merdeka.
Pesan
Muhammadiyah kepada (pemimpin) bangsa, ibarat pesan orang tua pada
generasi yang lebih muda. Muhammadiyah memandang perlu bagi para
pemimpin bangsa untuk berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam
menjalankan roda pemerintahan. Kebijakan-kebijakan yang diambil harus
mengedepankan kepentingan rakyat, bukan kepentingan elite. Itulah salah
satu karakteristik pemimpin yang direkomendasikan Muhammadiyah.
BAMBANG SOESATYO
A+ A-
Kompetensi dan kapabilitas polisi serta intelijen negara harus ditingkatkan
agar mampu merespons penetrasi sindikat kejahatan dunia maya atau cybercrime,
sindikat narkotika internasional, hingga pelaku terorisme lokal.
Respons pada tiga kejahatan tersebut tidak boleh sambil lalu karena ketahanan
nasional menjadi taruhannya. Apalagi, peranwarganegara asing(WNA) cukup
dominan. Polisi menggerebek 27 warga negara Taiwan di sebuah rumah di Jalan
Sentra Duta Raya, Bandung, Rabu, 26 Agustus 2015 dini hari. Bersama tiga WNI,
27 WNA itu terlibat kejahatan narkoba, cybercrime, dan imigrasi. Polisi menyita
2,5 gram sabu.
Ibarat pesawat, posisi petinggi
instansi penegak hukum—KPK, kejaksaan, dan kepolisian—merupakan
pilotnya. Di tangan mereka nasib para penumpang ditentukan sampai atau
tidak ke tempat tujuannya.
Pengendalian dan penegakan hukum yang dilakukan oleh penegak hukum
sangat dipengaruhi oleh figur atau profil dari pemimpin penegak hukum
dimaksud. Hal ini dapat kita lihat bagaimana kuatnya figur dan magnet
serta pengaruh yang dimiliki Jenderal Hoegeng, Jaksa Agung Suprapto,
Jaksa Agung Baharuddin Lopa, demikian pula Ketua Mahkamah Agung Mudjono,
dalam memberikan warna semangat dan perilaku para penegak hukum di
bawah kendali mereka.
Terdengar kabar Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi serta Undang-Undang Mineral dan Batubara akan diamandemen.
Salah satu wacananya adalah bagaimana menafsirkan sumber daya alam ”dikuasai negara”?
Istilah dikuasai negara dalam Undang-Undang Dasar 1945 ada di Pasal 33.
Dalam pasal tersebut ada dua ayat yang menyebut dikuasai negara: Ayat
(2) dan (3).
Pada Ayat (2), dikuasai negara berkait dengan cabang-cabang produksi
penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Ayat (3)
berkait dengan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya.
Sumber daya alam migas masuk kategori dua ayat ini karena menguasai
hajat hidup orang banyak dan termasuk kekayaan di bumi dan air. Minerba
masuk kategori Pasal 33 Ayat (3).
Tafsir
Istilah dikuasai negara dalam UUD sangat luas dan terlalu abstrak
sehingga perlu ditafsirkan. M Hatta, misalnya, menafsirkan sebagai
”tidak harus diartikan negara sebagai pelaku usaha. Kekuasaan negara
terletak pada kewenangan membuat peraturan untuk melancarkan ekonomi dan
melarang pengisapan orang lemah oleh yang bermodal”.
Penafsiran oleh penguasa tidak dapat direduksi hanya cabang legislatif
yang membentuk UU, tetapi juga cabang yudikatif, yaitu Mahkamah
Konstitusi.
MK dalam beberapa putusannya telah menafsirkan istilah dikuasai negara,
yaitu mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas, bersumber
dan diturunkan dari konsep kedaulatan rakyat. Rakyat secara kolektif
memberikan mandat kepada negara untuk membuat kebijakan dan mengurus,
mengatur, mengelola, dan mengawasi untuk tujuan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Hanya, tafsir MK, seperti juga tafsir para founding father dan
pakar, tidak operasional. Tafsir dikuasai negara yang berlaku
operasional hanyalah tafsir oleh pembentuk UU, di Indonesia berarti DPR
bersama Presiden.
Dalam penelitian penulis, ternyata tidak ada tafsir tunggal atas
istilah dikuasai negara dari waktu ke waktu. Pada berbagai UU yang
menyebut istilah dikuasai negara, ada keberagaman penafsiran mulai dari
era pemerintahan Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid,
Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono.
Semisal, UU Migas 1960. Di era pemerintahan Soekarno, dikuasai negara
ditafsirkan sebagai pemberian kewenangan kepada perusahaan negara oleh
negara.
Pasal 3 Ayat (1) UU Migas 1960 menyebutkan, pertambangan minyak dan gas
bumi hanya diusahakan oleh negara. Mengingat negara merupakan entitas
yang abstrak, di Ayat (2) disebutkan, usaha pertambangan migas
dilaksanakan oleh perusahaan negara. Kala itu, perusahaan negara di
industri migas adalah PN Permina dan PN Pertamin.
Tahun 1971, dua perusahaan ini digabung menjadi Pertamina, didirikan
berdasarkan UU khusus, yaitu UU 8 Tahun 1971. Status Pertamina di sini
berbeda dengan status PT Pertamina sekarang. PT Pertamina yang ada saat
ini didirikan berdasarkan UU Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan UU
Perseroan Terbatas (PT).
Pertamina (tanpa PT di depan) dahulu melaksanakan kegiatan baik di hulu
maupun di hilir. Di hulu, meski merupakan sebuah badan hukum, Pertamina
diberi kewenangan negara sebagai regulator. Pertamina juga memiliki
kewenangan negara sebagai pemberi wilayah konsesi bagi pihak ketiga.
Pertamina juga mewakili negara saat berkontrak dengan pihak ketiga.
Selain itu, Pertamina adalah badan usaha atau operator sebagaimana
layaknya sebuah perusahaan migas.
Di hilir, Pertamina diberi kewenangan sebagai regulator, pihak yang
mengusulkan besaran subsidi BBM, di samping merangkap sebagai operator.
Keberadaan Pertamina berubah dengan munculnya UU Migas 2001. UU
memangkas kewenangan Pertamina yang sangat luas dan kuat. Berdasarkan UU
Migas 2001, Pertamina kedudukan direduksi hanya sebagai pelaku
usaha/perusahaan yang dimiliki negara.
PT Pertamina tidak lagi berperan sebagai negara. Ia tidak lagi memiliki
peran regulator dan penentu wilayah pertambangan di sektor hulu yang
keduanya diserahkan kepada pemerintah.
Pihak yang mewakili pemerintah dalam kontrak dengan pihak ketiga
diserahkan kepada Badan Pelaksana Migas (BP Migas) yang pada 2012
keberadaannya dinyatakan inkonstitusional oleh MK. Saat ini, peran BP
Migas diambil alih oleh satuan kerja di Kementerian ESDM yang disebut
sebagai SKK Migas.
Di sektor hilir, peran Pertamina sebagai regulator dan penentu subsidi
diserahkan kepada pemerintah. Namun, pemerintah di sini bukanlah
Kementerian ESDM, melainkan lembaga pemerintah independen (independent regulatory body) yang disebut Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas). PT Pertamina hanya sebagai operator.
Ini menunjukkan, meski istilah dikuasai negara dalam Pasal 33 tidak
pernah diubah dalam konstitusi, interpretasi pembentuk UU telah berubah
dalam dua kurun waktu berbeda.
Di bidang minerba, masa pemerintahan Soeharto berdasarkan UU
Pertambangan Umum 1967, yang dikenal adalah kontrak dan kuasa
pertambangan.
Perjanjian (Kontrak) Karya diatur dalam Pasal 10 UU Pertambangan Umum
1967. Kontrak Karya dibuat dengan perusahaan asing jika pemerintah atau
perusahaan negara pemegang kuasa pertambangan tidak dapat melaksanakan
sendiri pekerjaan-pekerjaan penambangan.
Satu hal yang perlu dicatat bahwa berdasarkan UU Pertambangan Umum
1967, instansi pemerintah yang punya peran sentral adalah pemerintah
pusat.
Ini berbeda dengan UU Minerba 2009 di bawah pemerintahan SBY yang
mendasarkan pada rezim izin. Izin pun tidak dominan dikeluarkan oleh
pemerintah pusat, tetapi oleh pemerintah daerah.
Maka, dalam menafsirkan dikuasai negara, rezim kontrak dan rezim izin
sama-sama diakui. Istilah pemerintah pun mendapat tafsir ulang dalam UU
Minerba, dari sebelumnya pemerintah pusat menjadi pemerintah daerah. Ini
seiring dengan menguatnya otonomi daerah sejak 1999.
Amandemen
Kini, saat UU Migas dan UU Minerba hendak diamandemen, istilah dikuasai
negara harus ditafsirkan. Satu hal yang pasti, sumber daya alam migas
dan minerba harus dapat menyejahterakan rakyat, bukan sekelompok orang
atau perusahaan tertentu seperti selama ini.
Saat ini, dalam amandemen UU Migas sedang diwacanakan apakah rezim
kontrak perlu dipertahankan atau diubah menjadi rezim izin. Sementara di
UU Minerba, apakah rezim izin perlu terus dipertahankan atau diubah
menjadi rezim kontrak.
Kalau dalam amandemen UU Migas rezim kontrak dipertahankan, siapakah
pihak yang mewakili pemerintah dalam berkontrak dengan kontraktor?
Keberadaan SKK Migas tidak mungkin dipertahankan mengingat SKK Migas
merupakan bagian dari pemerintah. Jika ada gugatan dari kontraktor dan
SKK Migas kalah, pemerintahlah yang wajib membayar ganti rugi.
Aset pemerintah, termasuk aset BUMN sebagai perusahaan milik
pemerintah, akan terpapar. Aset pemerintah di luar negeri pun rentan
disita pengadilan.
Dalam amandemen UU Minerba, wacananya adalah apakah rezim izin akan
dipertahankan atau dikembalikan ke rezim kontrak. Pelaku usaha lebih
senang rezim kontrak. Selain bisa dijadikan jaminan bank, kontrak tidak
dapat semena-mena diakhiri pemerintah. Ini berbeda dengan izin yang
persepsinya dapat dicabut sewaktu-waktu secara sepihak oleh pemerintah.
Jika rezim kontrak dalam amandemen UU Minerba yang dipilih, siapakah
pihak yang mewakili pemerintah? Muncul pemikiran, pembentuk UU mengatur
pembentukan badan hukum layaknya Pertamina (bukan PT Pertamina) di
industri migas.
Jika ide ini terwujud, kewenangan badan hukum ini pun harus
diidentifikasi, apakah sama dengan Pertamina dulu yang bergerak di
sektor hulu ataupun hilir? Apakah kewenangan negara juga diberikan?
Dapat dipastikan dalam proses amandemen UU Migas dan UU Minerba, adu
argumentasi akan muncul. Apa pun tafsir yang tepat menurut pembentuk UU,
tiga hal harus dicermati.
Pertama, pembentuk UU jangan pernah bereksperimen dalam menentukan
tafsir. Kesan eksperimen muncul karena pembentuk UU tidak mengantisipasi
secara rinci berbagai konsekuensi yang muncul.
Kedua, tafsir atas dikuasai negara perlu merujuk pada pengalaman
industri lain yang mengonkretkan konsep dikuasai negara, seperti
industri telekomunikasi, perkeretaapian, pelayaran, dan penerbangan.
Terakhir, apa pun tafsir dari dikuasai negara oleh pembentuk UU,
diharapkan tafsir ini dapat bertahan jangka lama. Ini demi menjamin
kepastian hukum dan kepastian dalam berusaha.
Hikmahanto Juwana, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia
Internet dan lingkungan hidup, bagaimana keduanya berkelindan? Yang satu disebut ruang maya, yang satunya lagi ruang nyata.
Satu hal pasti, selain perlu pulsa, mengakses internet butuh energi
listrik sebab semua jenis gawai pakai baterai. Inilah tautan terpenting
antara internet dan lingkungan hidup. Penemuan listrik adalah fondasi
perkembangan pesat teknologi. Soal ini tentu tidak krusial. Energi
listrik untuk mengisi baterai gawai terlalu kecil dibandingkan dengan
yang dikonsumsi papan iklan berhias lampu warna-warni dan film yang
bergerak sepanjang hari.
Yang menonjol justru manfaat internet sebagai ruang publik
virtual,khususnyamedia sosial, untuk membuka kesadaran publik lebih
lebar tentang urgensi perawatanlingkungan hidup. Ekologi media
diharapkan meningkatkan kesadaran dan pengetahuanpublik tentang
pentingnya pemulihandan atau perawatanlingkungan yang telah rusak parah.
Salah satu keteladanan KH Ahmad
Dahlan, pendiri Muhammadiyah, yang sering diungkap ialah sikap
istikamah beliau dalam menyampaikan Surat Al-Ma'un berulang-ulang sampai
para santri menghayati pesan surat itu, lalu coba mengamalkannya.
Pesan
surat itulah yang lalu mengilhami/memotivasi warga Muhammadiyah beramal
usaha sosial. Semangat itu pula yang mendorong organisasi Muhammadiyah
mendirikan berbagai fasilitas dan kegiatan sosial dalam jumlah besar.
Fasilitas itu antara lain 16.346 TK/TPQ/PAUD; 5.105 sekolah/madrasah;
122 pesantren; 192 perguruan tinggi, 557 RSU, RS bersalin, BKIA, BP;
318 panti asuhan; 54 panti jompo; 21.000 masjid/mushala; 762 BPR; dan
437 BMT.