Friday, May 22, 2015

Memimpin Kebangkitan

Memimpin Kebangkitan
Koran SINDO
Rabu,  20 Mei 2015  −  10:29 WIB

M Arief Rosyid Hasan

Kebangkitan tidak lahir dari mukjizat. Seperti berbagai gejala sosial lain dalam kehidupan masyarakat, ia adalah penjumlahan dari usaha-usaha setiap kekuatan sosial yang ada, untuk membawa hidup bersama kepada kondisi yang lebih baik, lebih adil dan makmur. 

Oleh para pemula kebangsaan yang tergabung dalam Boedi Oetomo, Sjarikat Islam, atau Indische Partij, politik etis yang diniatkan oleh pemerintah kolonial untuk membentuk elite akomodatif, dibelokkan menjadi upaya melahirkan kesadaran baru kebangsaan. Walau Indonesia masih hadir secara samarsamar, harapan atas hidup bersama yang merdeka dan adilmakmur tak berhenti diperjuangkan. 

Kebangkitan adalah mimpi bersama. Untuk mewujudkannya tentu butuh kepemimpinan. Namun, sebenarnya kita belum beranjak dari masa kanakkanak ketika apa yang memikat adalah harapan tentang hadirnya para pemimpin hebat, baik yang mitis maupun yang riil. Bahkan heboh mengenai kepemimpinan barangkali muncul dari ketidakberdayaan kita sendiri untuk mewujudkan citacita itu. 

Membentuk Negara Bangsa

DAOED JOESOEF

Kita telah menetapkan 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Pada tanggal itu, 106 tahun lalu, dibentuk organisasi Boedi Oetomo, di gedung Stovia, satu lembaga pendidikan kedokteran pribumi (Indisch arts) di Batavia, dipelopori beberapa pemuda terdidik keilmuan dan tercerah (enlightened). Kegiatan terorganisasi para pendiri diarahkan ke satu masa depan yang bermuara pada pembentukan satu negara-bangsa yang merdeka melalui pendidikan.
Kini masa depan Indonesia, negara-bangsa kita, kian memburam, semakin jelas diwarnai gejala-gejala destruktif-entropis. Ada gaya pembangunan yang semakin liberalistis-ekstraktif. Ada pengabaian amanat pancasilais yang semakin marak dalam aksi pemerintahan. Ada unsur kontestasi politik dan rivalitas partai politik yang tidak sehat. Ada ancaman gerakan radikal-teroris Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang tak terbendung lagi oleh ideologi deradikalisasi (Kompas, 6/5).

Membangun Fondasi Papua

Membangun Fondasi Papua

Kunjungan kerja Presiden Joko Widodo dan sepuluh menteri ke Papua menawarkan angin segar baru bagi masyarakat Papua yang sudah sekian dekade selalu ketinggalan dalam arus kemajuan dan pembangunan.
DIDIE SW
Selain meresmikan sejumlah proyek pembangunan berskala raksasa, seperti pembangunan jembatan Holtekamp di Jayapura, pembangunan industri petrokimia di Manokwari, proyek jaringan fiber optik Telkom di Sorong dan kawasan strategis pariwisata nasional, Presiden Jokowi juga menyatakan komitmennya untuk mempercepat pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua.

Mengatasi Merosotnya Industrialisasi

KRISTANTO

Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam lima tahun terakhir menunjukkan gejala melambat. Sektor yang diharapkan mampu mengangkat pertumbuhan adalah industri pengolahan. Akan tetapi, sektor ini pun kondisinya justru menunjukkan gejala penurunan. Perlu strategi industrialisasi baru yang terpadu untuk mendongkrak perekonomian.
Industri yang tumbuh baik saat ini adalah berbasis pertanian. Agribisnis sebagai megasektor-mulai makanan-minuman hingga energi terbarukan-secara total terus tumbuh, melebihi industri tekstil yang sepanjang sejarah Indonesia menjadi andalan peraih devisa dari ekspor. Meski demikian, tidak terlihat ada strategi industrialisasi nasional yang fokus kepada penguatan sektor-sektor yang menjadi kekuatan kompetitif dan komparatif Indonesia. Termasuk perhatian kepada sektor agribisnis yang menjawab persoalan saat ini, yaitu berbahan baku lokal, menyerap tenaga kerja tidak terdidik yang jumlahnya lebih separuh tenaga kerja, serta memeratakan kemakmuran antarwilayah, antarpulau, dan kota-desa.

Evaluasi Kinerja Kementerian

Evaluasi Kinerja Kementerian

Isu mengenai reshuffle kabinet yang semakin keras disuarakan sejatinya merupakan hilir dari berbagai situasi sosial dan politik yang berkelindan dengan berbagai kebijakan publik pemerintah yang dinilai tak cukup efektif untuk menyelesaikan berbagai permasalahan publik.
Sengaja tulisan ini menggunakan pilihan kata evaluasi kinerja "kementerian" dan bukan hanya "menteri" dalam perspektif sistem pemerintahan didasarkan  atas alasan-alasan berikut.

Birokrasi dan Pembangunan

EKO PRASOJO

Akhir-akhir ini sejumlah kalangan mendengungkan pentingnya Presiden Jokowi melakukan perombakan kabinet. Desakan ini didasarkan pada kinerja pemerintahan yang tidak terlalu memuaskan.
Tulisan ini tidak hendak menyoal mengenai penting atau tidak pentingnyareshuffle, tetapi berusaha menjelaskan berbagai persoalan yang dihadapi oleh pemerintah dalam menjalankan fungsi dan tujuan pembangunan, khususnya peran birokrasi, yang mungkin luput dari perhatian.
Birokrasi merupakan mesin pembangunan yang memainkan peranan vital, strategik, dan kritikal. Bahkan, sebaik apa pun program pembangunan yang telah ditetapkan pemerintah, tanpa didukung oleh birokrasi yang kapabel, memiliki kultur yang baik dan adaptif terhadap perubahan, akan stagnan. Bagaimana kondisi birokrasi Indonesia untuk mendukung fungsi dan tujuan-tujuan pembangunan?

Praperadilan-praperadilan

Praperadilan-praperadilan

Kontroversi mengenai kewenangan lembaga praperadilan dalam memutus status penetapan tersangka berujung di palu sidang hakim Mahkamah Konstitusi.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 laksana kejutan yang menghebohkan lapangan hukum pidana Indonesia. MK memperluas obyek praperadilan di dalam KUHAP dengan menambahkan penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
Di mata publik bergulirlah semacam akal sehat yang seakan-akan menguatkan putusan hakim Sarpin Rizaldi, yang sebelumnya bertindak mengabulkan gugatan praperadilan Komjen Budi Gunawan dan menjadi pemicu banyaknya pengajuan gugatan praperadilan terhadap status tersangka yang kemungkinan besar dimanfaatkan pelaku tindak pidana korupsi.
Ada dua pertimbangan yang mesti dicermati dari putusan MK ini. Pertama, hak dan martabat seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka memang berpotensi dirampas melalui tindakan subyektif penyidik yang melampaui kewenangan. Kedua, pada kondisi itu tak ada kesempatan menguji tafsir subyektif dari tindakan penyidik dalam hal menetapkan seseorang sebagai tersangka.

Pilkada Serentak dan Ancaman Kebencian

ALAMSYAH M DJA’FAR

Di pengujung tahun ini, 269 daerah di Indonesia menggelar pemilihan kepala daerah serentak tahap pertama: 9 provinsi, 36 kota, dan 224 kabupaten. Sisanya digelar Februari 2016 untuk tahap kedua dan Juni 2018 untuk tahap ketiga.
Jumlah daerah pada tahap pertama mencapai 53 persen dari 537 provinsi dan kabupaten atau kota di seluruh Indonesia.
Hajatan politik ”borongan” ini merupakan pengalaman baru bagi Indonesia, bahkan dunia. Begitulah kata Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Husni Kamil Manik beberapa bulan lalu. Jadi, kita memang masih meraba-raba bagaimana praktiknya nanti. Apalagi, capaian dan tantangan pilkada serentak ini belum pernah ada presedennya.

Indonesia di Mata Lee Kuan Yew

BOEDIONO

Sebelum wafat, Lee Kuan Yew sempat merilis buku terakhirnya yang berjudul One Man’s View of the World. Di situ beliau memaparkan penilaiannya mengenai sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Tulisan ini saya maksudkan bagi Anda yang belum sempat membaca buku tersebut. Sekali-sekali ada baiknya kita tinggalkan cermin, dan menyimak pandangan orang lain mengenai diri kita, apalagi pandangan tokoh sepenting Lee Kuan Yew. Mendengar orang lain membuat kita arif. Lee Kuan Yew adalah tokoh yang kontroversial, terutama—saya harus katakan—di kawasan ini. Pandangannya mengenai isu-isu strategis regional maupun global tajam dan mendasar. Gayanya yang langsung dan lugas memang tidak selalu berkenan di hati semua orang. Kenyataannya, tidak sedikit pemimpin dunia yang menyimak pendapatnya.