Tuesday, January 3, 2017

Ancaman Represi Digital

Ancaman Represi Digital

Dalam wujudnya yang paling mutakhir, internet sebagai salah satu bentuk pemanfaatan teknologi digital telah membebaskan kita dari kungkungan ruang dan waktu. Kita dapat melakukan banyak kegiatan di mana pun dan kapan pun sejauh ada koneksi internet.
DIDIE SW
Teknologi digital telah menjadikan kita seperti makhluk halus yang dapat berada di mana- mana meski tak ke mana pun. Kita memperoleh banyak manfaat, terutama meningkatnya efisiensi dan produktivitas. Namun, karena kehebatannya sebagai alat kendali jarak jauh, teknologi digital justru bisa menjadi sarana represi oleh pihak yang punya kekuatan atau kekuasaan.
Represi itu berupa tertindasnya masyarakat oleh sistem berbasis teknologi informasi karena kuatnya sistem itu mengatur, mengendalikan, menetapkan syarat, dan mendefinisikan konsekuensinya. Sementara masyarakat hanya punya pilihan terbatas untuk menegosiasikan posisi dan keadaannya. Represi digital seperti ini kian marak. Jutaan rakyat sulit mendapate-KTP. Ribuan guru tak menerima tunjangan sertifikasi karena kesulitan memperbarui data.
Puluhan siswa SMA gagal diterima di universitas ternama karena kesalahan sistem. Pengelolaan Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDPT) yang tak disertai hak dan tanggung jawab yang jelas dari pihak yang terlibat sering memunculkan kebingungan ketika terjadi kesalahan perekaman data.

Labirin Praktik Korupsi

SALDI ISRA

Ibarat labirin, korupsi menjadi virus perusak yang terus membelit dan melilit sekujur tubuh Indonesia. Sekalipun telah disuntikkan berbagai vaksin guna menghentikan dan sekaligus mengurangi lajunya, hingga pengujung tahun 2016 belum terlihat tanda-tanda praktik korupsi berkurang. Karena itu, menghentikan laju praktik koruptif akan selalu jadi pekerjaan yang membutuhkan komitmen dan perjuangan panjang nan melelahkan.
Secara kuantitatif, sebagaimana dicatat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga 31 Oktober 2016, perkara korupsi menunjukkan kenaikan tajam dibandingkan 2015. Misalnya, penanganan tindak pidana korupsi tahap penyidikan naik dari 57 menjadi 81 kasus dan penuntutan naik dari 62 menjadi 70 kasus (Kompas, 17/12). Apabila ditambah perkara sampai hari terakhir 2016, kenaikannya pasti semakin memprihatinkan. Cacatan ini akan makin memprihatinkan apabila ditambahkan dengan data kejaksaan dan kepolisian.
Kenaikan itu, misalnya, berasal dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap salah seorang deputi Badan Keamanan Laut dan seorang pejabat eselon III Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dalam batas penalaran yang wajar, sebagai kejahatan yang tidak mungkin bekerja dengan pelaku tunggal, kedua kejadian itu pasti melibatkan pelaku lain. Tambahan lain, banyaknya jejaring korupsi yang berada di sekitar kepala daerah yang terperosok dalam ”pelukan” KPK.

Jimat

OPINI > ARTIKEL > JIMAT
Dunia politik negeri ini pada era demokrasi liberalmirip jagat persilatan dalam dunia komik Indonesiatahun 1970-an. Setiap pendekar berkontestasi menggunakan jimat atau ajian. Jika para pendekar dalam komik menggunakan jimat klabang sewu, rawa rontek, lembu sekilan, belut putih, para pendekar politik menggunakan jimat bernama primordialisme.
Primordialisme merupakan sekumpulan pemahaman dan keyakinan atas nilai-nilai kesukuan, agama, dan ras yang hidup serta mengakar dalam jiwa individu atau kelompok. Banyak kelompok dalam masyarakat di negeri inimenjadikan primordialisme sebagai jimatyang dijunjung tinggi dan dirawat.
Sama ampuhnya dengan jimat-jimat mistik tradisional dalam melumpuhkan seteru, jimat primordialisme pun memiliki adidaya berupa sihir politik dan sosial. Sihir-sihir itu mampu melumpuhkan rasionalitas masyarakat. Tidak aneh jika kemudian kita menyaksikan begitu mudah orang digiring dan patuh pada kemauan sang pengguna jimat (yang ditopang para juragan politik).

Refleksi Administrasi Publik untuk Keberagaman

AGUNG TRI WIBOWO

Akhir-akhir ini publik di Indonesia sedang diuji kemapanannya pada isu keberagaman.
Paling kentara, tentu saja, isu penodaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Kejadian itu menciptakan efek yang luar biasa. Saya sebut luar biasa mengingat eskalasi publik yang besar.
Secara awam, saya melihat gerakan ini memiliki efek yang berkepanjangan di media sosial ataupun perbincangan pada skala publik lebih kecil, yaitu rumah tangga. Saya pribadi melihat ini sebagai sesuatu yang mendasar sekaligus memiliki efek interdependensi.
Saya sebut mendasar dengan alasan bahwa tuntutan penodaan agama oleh komunal Islam, yang di Indonesia mayoritas, sebagai sesuatu yang wajar dan konstitusional di negara yang demokratis. Sementara di sisi lain, peristiwa tersebut juga memiliki efek interdependensi yang buruk pada tegaknya negara Indonesia sebagai negara yang bineka tunggal ika. Lalu, mengapa interdependensi buruk ini bisa terjadi?
Peristiwa interdependensi adalah sebuah peristiwa yang saling terkait satu dengan yang lain. Seperti sistem sebuah mobil, mesin menyala karena ada busi, busi bisa hidup karena ada aki, aki bisa mengalirkan listrik karena ada starter, dan seterusnya.

Jangan Tangisi Perjanjian yang Sudah Berakhir

EKONOMI > MAKRO > JANGAN TANGISI PERJANJIAN YANG SUDAH BERAKHIR
Selama tujuh dekade setelah berakhirnya Perang Dunia II adalah masa-masa perjanjian perdagangan. Negara-negara dengan perekonomian besar berada dalam masa di mana mereka secara terus-menerus melakukan perundingan perdagangan, serta menandatangani dua perjanjian multilateral utama yang berskala global: Persetujuan Umum tentang Tarif dan Perdagangan (GATT) dan perjanjian untuk membentuk Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Selain itu, terdapat lebih dari 500 perjanjian perdagangan bilateral dan regional yang ditandatangani, yang kebanyakan di- tandatangani sejak WTO menggantikan GATT tahun 1995.
Lonjakan populisme di tahun 2016 hampir pasti akan mengakhiri rangkaian kesibukan pembuatan perjanjian perdagangan.
Saat negara berkembang mungkin melakukan perjanjian perdagangan dengan skala yang lebih kecil, dua perjanjian perdagangan besar, yakni Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) dan Kemitraan Dagang dan Investasi Trans-Atlantik (TTIP), dapat dianggap sudah berakhir ketika Donald Trump terpilih menjadi presiden Amerika Serikat.

Segregasi

Segregasi

CAPING, MAJALAH TEMPO, SENIN, 02 JANUARI 2017
MARI kita lihat foto lama. Ada papan pengumuman di sebuah kota Amerika, sekitar tahun 1950-an, dengan kalimat tegas: NO NIGGERS, NO JEWS, NO DOGS.
Tak hanya satu. Di ruang publik lain tampak pemberitahuan di dinding toilet atau dekat keran air minum: sebelah sini untuk "kulit putih", sebelah sana untuk "kulit berwarna".
Segregasi, pemisahan: "Negro", "Yahudi", orang kulit kuning, cokelat, dan anjing tak boleh ada dalam posisi tertentu. Haram jika berubah. Sebuah Undang-Undang Perdata dari Virginia tahun 1847: "Barang siapa [orang kulit putih] hadir bersama budak, (atau) orang negro yang bebas... dengan tujuan mengajari mereka membaca atau menulis... akan dihukum penjara...." 
Percampuran dilarang—bahkan percampuran di tempat kencing. Putih harus untuk Putih. Kemurnian harus dijaga. Kalau perlu dengan kekerasan.
Pada pertengahan 1920-an Ku Klux Klan—yang punya sejarah panjang—muncul kembali. Dengan jubah putih-putih bertanda salib dan bertopeng, organisasi "gelap" di wilayah berpenduduk Protestan menyebarkan kebencian terhadap orang hitam, Katolik, dan Yahudi. Sesekali mereka gantung sampai mati seorang "nigger" tanpa jelas salahnya. Merasa membawa sikap mayoritas Kristen dan kulit putih, 13 September 1926 mereka berparade di ibu kota, Washington, DC, dengan seragam dan panji-panji lengkap.
Sejarah tak berulang, tapi ada yang seakan-akan kembali dari masa lalu. Menjelang Trump jadi Presiden AS, David Duke, aktivis neo-Nazi dan Ku Klux Klan, tetap menegaskan: "Tujuan kita yang jelas haruslah kemajuan ras putih dan pemisahan ras putih dari ras hitam." Juga harus ada pembebasan media dan pemerintah Amerika dari "kepentingan Yahudi yang tersembunyi".
Ada "kami", ada "mereka" sebagai identitas—semuanya dibangun dengan rasa curiga, cemburu, dan paranoia, diteguhkan dengan pemurnian.
Tak cuma di Amerika. 
Dengan latar yang berbeda, di Indonesia, khususnya di kalangan yang lazim menyebut diri Islam, ada orang-orang yang tak putus dirundung waswas dan sebab itu di mana-mana menegakkan barikade. Kaum segregasionis macam ini seperti ketakutan memasuki dinamika yang khaotik yang membuat banyak hal, termasuk identitas, campur aduk. Dengan kata lain: cemas memasuki sejarah. 
Apalagi bagi sementara kalangan Islam, terutama di Timur Tengah, sejarah mereka diinterupsi imperialisme yang datang dari Eropa. Interupsi itu tidak hanya menandai kekalahan penguasa-penguasa lokal dan menyisakan sakit hati, tapi juga membawa hal-hal yang "tak murni"—meskipun sebelum itu pun tak pernah jelas apa sebenarnya yang "murni" itu, kecuali dalam hasrat dan angan-angan. 
Tapi dengan hasrat dan angan-angan itulah mereka melihat dunia. Dengan kecurigaan yang akut, mereka mengharamkan banyak hal sebagai ancaman—termasuk topi Santa dan trompet kertas. Mereka melihat perbedaan semata-mata sebagai antagonisme. Tiap titik singgung, tiap pertemuan, antara "kami" dan "mereka", harus ditampik. Di Malaysia, "Allah" hanya boleh dipakai orang Islam, meskipun di Timur Tengah kata itu disebut dalam doa Nasrani.
Tentu saja akhirnya akan sia-sia. Teknologi, modal, media, ilmu, musik (terutama musik pop), makanan, pakaian, dan entah apa lagi menghambur dari mana-mana. Selalu ada anasir "mereka" yang jadi "kami", dan "kami" tak berhenti sebagai seutuhnya "kami". Edward Said dalam Culture and Imperialism menunjukkan: di zaman ini, tak ada seorang pun yang semata-mata satu, murni, dan utuh. No one today is purely one thing
Tapi memang tak mudah lepas dari obsesi kemurnian. Sejarah adalah perjumpaan, saling banding, saling saing peradaban. Ada yang kalah, ada yang menang. Perbedaan memang bukan semata-mata antagonisme, tapi juga bukan semata-mata harmoni. Perbedaan "hitam" dan "putih" di Amerika, misalnya, menunjukkan juga penindasan, paralel dengan perbedaan kaya dan miskin, dengan akhir yang kalah tak akan diacuhkan. Kata-kata Ralph Ellison dalam novel Invisible Man tentang keterpojokan orang hitam di Amerika: "I am invisible, understand, simply because people refuse to see me."
Dari sinilah yang disebut "politik identitas" berkembang: perjuangan bersama sehimpun manusia menolak untuk selamanya invisible, "tak tampak". Mereka menuntut diakui. Mereka membentuk satu identitas, mengibarkan satu bendera, dan bertarung dalam politics of recognition
Perjuangan ini, juga oleh aktivis Islam, adil, sebagaimana gerakan feminisme ketika perempuan disepelekan. Tapi "politik identitas" juga bisa terbawa ke dalam bangunan identitas yang tertutup, yang ingin tak tercampur. Dengan itu diabaikan kemungkinan bahwa dalam dirinya—katakanlah "Islam", "hitam", "perempuan"—juga ada konflik, ketidaksetaraan, perubahan. Segregasi yang dibentuk hanya menyembunyikan yang terbelah di dalam.
Pada gilirannya yang tertutup akan layu. Segregasi adalah permulaan bunuh diri.
Goenawan Mohamad

Paket Kebijakan Antikorupsi Jokowi

KORAN TEMPO, SELASA, 03 JANUARI 2017 | 00:11 WIB
OCE MADRIL
DOSEN FAKULTAS HUKUM UGM DAN DIREKTUR ADVOKASI PUSAT KAJIAN ANTIKORUPSI UGM  

Tahun 2016 menunjukkan mulai adanya perhatian khusus dari Presiden Joko Widodo terhadap upaya pemberantasan korupsi. Tercatat ada dua gebrakan penting yang dilakukan Presiden. Pertama, kebijakan antipungutan liar melalui pembentukan tim Sapu BersihPungutanLiar(Saber Pungli). Kedua, kebijakan pencegahan korupsi dalam birokrasi yang ditetapkan melalui Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2016. Dua kebijakan tersebut cukup mampu menambah kekuatan negara melawan kejahatan korupsi.

Tim Saber Pungli hingga saat ini telah melakukan 41 operasi tangkap tangan bukan hanya dalam kasus kecil, tapijugayangberskala besar. Sudah puluhan aparat pemerintah yang diproses hukum. Jumlah pengaduan masyarakat yang diterima tim ini sangat tinggi, mencapai 17.600. Yang paling banyak adalah perkara pelayanan publik berupa pengurusan administrasi perizinan, pembuatan surat dan sertifikat, serta pengurusan paspor. Memang, sejak awal fokus tim ini adalah korupsi dalam pelayanan publik.

Tim ini juga berhasil menangkap pelaku mafia hukum, yakni seorang perwira menengah polisi yang diduga menerima suap terkait dengan pengusutan sebuah perkara di kepolisian dan seorang jaksa di Jawa Timur yang diduga menerima suap atas perkara yang ditanganinya. Dalam kasus ini, apresiasi patut diberikan kepada KPK, yang membantu pengungkapan permainan mafia hukum tersebut. 

2016, Tahun AS Kehilangan Taring?

Selasa , 03 Januari 2017, 08:12 WIB

2016, Tahun AS Kehilangan Taring?

Red: Karta Raharja Ucu
Fitirian Zamzami
Fitirian Zamzami
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fitriyan Zamzami, wartawan Republika/ alumni Jefferson’s
Fellowship dari the East-West Center, AS

Menjelang akhir tahun lalu, Presiden AS Barack Obama membuat langkah mengejutkan. Ia memulangkan 35 diplomat Rusia terkait tudingan CIA bahwa pemerintah negara Beruang Merah dengan perintah langsung Presiden Vladimir Putin ikut campur menentukan hasil Pilpres AS pada Oktober 2016 melalui serangkaian peretasan jaringan internet.

Berbagai pihak memperkirakan, Moskow akan beraksi keras terhadap tindakan pengusuran diplomat tersebut. Yang dilakukan Putin ternyata sebaliknya. Ia menegaskan tak akan membalas pengusiran diplomat alih-alih memerintahkan perlindungan total terhadap para diplomat AS dan mengundang keluarga mereka merayakan tahun baru di kediamannya. Artinya, ia menganggap aksi AS semacam angin lalu, hal yang tak pernah dilakukan Rusia sebelum-sebelumnya.

Aksi Washington tersebut punya ironi tersendiri. Pasalnya, Amerika Serikat, seperti dicatatkan pakar politik dari Carnegie Mellon University, Pennsylvania, Dov Levin, tak asing dengan urusan mencampuri pemilu negara lain. Seperti dilansir LA Times pekan lalu, Levin mencatat setidaknya 81 kali agen-agen AS mencoba mengatur hasil pemilihan di negara lain. Jumlah itu belum termasuk aksi AS menggulingkan pemerintahan lewat kudeta atau lewat aksi militer.

Dengan rekam jejak seperti itu, sukar bagi negara lain menganggap serius kekhawatiran AS bahwa pemilunya coba dipengaruhi negara lain. Alih-alih bersimpati dengan AS, mereka yang paham sejarah akan menilai mungkin ini saatnya Amerika Serikat menelan pahitnya obat mereka sendiri.

Outlook Perang terhadap Terorisme

KORAN SINDO Edisi 03-01-2017

Pada akhir 2016 lalu isu terorisme kembali mencuat, seolah selalu menjadi kado pahit pada akhir tahun. Tahun lalu dua terduga teroris ditembak mati di Jatiluhur. 

Pada 2015, Zaenal ditangkap di Tasikmalaya lantaran diduga sebagai calon “pengantin”. Pada penghujung 2014, Dodi Kuncoro ditangkap di Solo sebab diduga akan meledakkan sebuah kafe. Pada akhir 2013 Densus juga menangkap tiga orang terduga teroris di Bekasi, Lamongan, dan Jakarta. Sebelumnya, pada akhir 2012 Tim Gegana berhasil menjinakkan bom di pos Polisi Poso. Situasi ini mengindikasikan bahwa aktivitas teroris masih terus terjadi di Indonesia. Kondisi serupa masih diprediksi akan terjadi pada 2017. 

Penanganan terorisme di Indonesia pada masa mendatang sepertinya akan banyak ditentukan oleh revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Saat ini pembahasan revisi UU tersebut telah sampai pada tahap penyerahan daftar inventarisasi masalah (DIM) dari fraksi-fraksi kepada pemerintah. Hasil dari pembahasan RUU tersebut akan banyak berpengaruh pada pola pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia ke depan. 

Setidaknya ada enam isu utama dalam revisi UU tersebut, yaitu mengenai pelibatan TNI, perluasan tindak pidana, jangka waktu penanganan perkara, penempatan, pencabutan paspor, dan pencabutan kewarganegaraan. Terdapat tiga model penanganan terorisme di berbagai negara, yaitu war model, criminal justice system, dan internal security model. Penulis melihat, dalam revisi tersebut ada upaya menggeser dari model penegakan hukum menjadi model perang. 

Pendangkalan, Kekerasan, dan Kebencanaan Agama

KORAN SINDO Edisi 03-01-2017

Sebagaimana yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, hari-hari jelang pergantian tahun dari 2016 ke 2017 juga diwarnai ketegangan. 

Secara berseloroh saya katakan kepada banyak kawan, Desember adalah bulan yang sensitif. Ketegangan yang terjadi pada Desember mengingatkan saya pada kajian Mujiburrahman, guru besar IAIN Antasari, Banjarmasin. Dalam buku, Feeling Threatened: Muslim-Christian Relations in Indonesia’s New Order (2006), Mujiburrahman mencandra tentang fenomena perasaan terancam (feeling threatened) pada kelompok agama di Indonesia utamanya antara Islam dan Kristen. Seperti membuktikan tesis Mujiburrahman, pada bulan ke- 12 dalam kalender masehi ini perasaan terancam tersebut mengemuka. 

Tesis Mujiburrahman kian memperoleh pembuktian manakala mencermati ikhtiar yang dilakukan oleh pihak kepolisian dalam memperketat keamanan pada Desember ini. Ikhtiar pihak kepolisian membuahkan hasil. Dalam sepekan terakhir ini, Densus 88 Polri berhasil melumpuhkan orang-orang yang diduga akan melakukan aksi teroris. Berita yang paling anyar, Densus 88 Polri kembali berhasil membekuk terduga teroris di Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat, Minggu malam, 25 Desember. 

Tidak ada yang bisa menjamin Indonesia bisa steril dari aksi teroris kendati para pelakunya bisa dilumpuhkan. Salah satu faktor yang mempersulit pencegahan aksi teroris adalah mengakarnya justifikasi keagamaan. Terorisme sejatinya merupakan tindakan yang dikutuk oleh setiap agama. Tindakan terorisme seringkali berujung pada kematian bahkan secara masif dan cepat terutama dari kalangan sipil. Akibat mengerikan inilah yang paling dikutuk oleh agama. 

Ekonomi Hijau untuk Indonesia

KORAN SINDO Edisi 03-01-2017
Ekonomi Hijau untuk Indonesia

Konsep ekonomi hijau saat ini sedang hangat diperbincangkan. Ekonomi hijau adalah ekonomi yang mengoptimalkan tiga kelompok nilai, yakni nilai sosial, lingkungan, dan keuangan. 

Definisi ekonomi hijau yaitu lestari dalam lingkungan, adil dalam sosial, dan berakar lokal. Ekonomi hijau merujuk pada kegiatan ekonomi yang telah mempertimbangkan lingkungan dan sosial agar mendapatkan manfaat yang lebih baik dari investasi alam, manusia, dan modal ekonomi. Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam. Indonesia adalah negara berkembang yang terus berupaya meningkatkan perekonomian negara. Apabila peningkatan perekonomian dan lingkungan tidak sejalan, akan terjadi trade off antara pembangunan dan ekonomi yang akan memengaruhi kesejahteraan masyarakat. 

Pembangunan ekonomi pada dasarnya bersumber pada sumber daya alam dan lingkungan. Salah satu fungsi lingkungan yaitu sebagai penunjang kehidupan dengan menyediakan sumber daya alam sebagai bahan mentah untuk diolah menjadi sebuah produk. Ada degradasi lingkungan akan berpengaruh pada perekonomian. Sebagai contoh, ketika supply kebutuhan pangan manusia menurun akibat degradasi lingkungan akan terjadi ketidakseimbangan pasar yang akan memengaruhi surplus konsumen dan produsen. Ketidakseimbangan tersebut akan berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat (human welfare).