Saturday, November 14, 2015

Menggugat Profesor


Sayang sekali perbincangan tentang keprofesoran yang diselenggarakan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi baru-baru ini (Kompas, 30-31 Oktober 2015) tidak menyentuh inti persoalan mengapa kinerja perguruan tinggi di Indonesia secara umum tetap loyo di tengah persaingan perguruan tinggi dunia. Padahal, alokasi anggaran Ditjen Dikti telah meningkat dalam sepuluh tahun terakhir.

Salah satu indikator ”keloyoan” itu adalah hanya ada satu perguruan tinggi (PT) tahun ini, yaitu Universitas Indonesia, yang masuk dalam daftar 800 universitas terbaik dunia versi Times Higher Education Survey (THES) 2015/2016. Itu pun di peringkat kategori terbawah: 600-800. Kita tahu pemeringkatan seperti THES bukan patokan mutu yang baku, tetapi ia memperjelas gambaran keterpurukan PT di Indonesia.

Dua Paradigma Desa


Analisis J Kristiadi di harian ini empat hari lalu menempatkan pemilahan dua paradigma sebagai pangkal kisruh desa dalam dua tahun terakhir: desa membangun dan (pemerintah) membangun desa. 

Kesimpulan Kris berguna untuk memusatkan penyelesaian persoalan pada pemupukan pertemanan paradigma. Tujuannya, memantik implementasi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa melalui soliditas antarpemimpin, antarkelembagaan, dan pola perilaku solidaritas di lapangan.

Thomas S Kuhn mengonsepkan paradigma sebagai cara pandang spesifik untuk memetik pemahaman lingkungan, bersikap, dan berperilaku secara khas. Kacamata berbeda memaknai pemberian uang dari desa kepada pendamping sebagai kesopanan berterima kasih, kacamata lain menuduhnya penyuapan.

TPP, Perlukah Kita Bergabung?

Ginandjar Kartasasmita
Belakangan ini muncul perdebatan di masyarakat tentang tepat tidaknya Indonesia masuk ke dalam Kemitraan Trans-Pasifik. Perdebatan ini dipicu oleh pernyataan Presiden Joko Widodo dalam kunjungan ke AS bahwa Indonesia bermaksud masuk TPP. 

Saya menyambut gembira adanya perdebatan terbuka ini karena masalah ini berdampak jauh dan berjangka panjang sehingga sepatutnya menjadi bahan bahasan masyarakat secara luas sebelum pemerintah memutuskan. Tulisan ini merupakan sumbangan terhadap diskusi terbuka mengenai masalah ini.

TPP adalah perjanjian kerja sama ekonomi yang diikuti oleh 12 negara, yaitu Brunei, Singapura, Cile, Selandia Baru, Amerika Serikat, Australia, Vietnam, Peru, Malaysia, Kanada, Meksiko, dan Jepang. Walaupun pengambil inisiatif pertama TPP bukan AS, tetapi proses perundingan banyak dipengaruhi oleh AS.

Ekonomi Politik Pengupahan

Dodi Mantra 
Regulasi pemerintah atas upah, yang termanifestasi di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, benar-benar mencerminkan keberlangsungan tatanan kapitalisme neoliberal dalam kompleksitas dan coraknya yang spesifik.

Sebuah tatanan, ketika kapitalisme jadi relasi sosial produksi, berjalan dalam totalitas yang menggerakkan seluruh aspek kehidupan masyarakat. Dalam totalitas ini kapitalisme tak dapat diletakkan semata-mata sebagai sistem ekonomi di mana aktivitas teknis produksi berlangsung.

Sedari produksi di dalam kapitalisme berbasis pada relasi sosial, keberlangsungan dan kelancaran sirkulasinya mensyaratkan penciptaan kondisi penopang di segenap lini kehidupan masyarakat. Membentang mulai dari ranah politik, hukum, sampai budaya, kondisi tertentu harus diciptakan sedemikian rupa sehingga terus memungkinkan sirkulasi relasi sosial produksi kapitalis ini dapat terus berjalan.

Wakaf Budaya, Belajar dari Sosok Umar Kayam


Keteladanan masih jadi krisis laten bangsa kita. Tumbangnya otoritarianisme dan munculnya demokrasi liberal tak otomatis disertai kemunculan tokoh- tokoh nasional yang layak dijadikan panutan secara nilai, etik, dan moral. 

Dunia politik, hukum, dan ekonomi paling jeblok dalam soal keteladanan. Sementara dunia kebudayaan masih lumayan melahirkan tokoh-tokoh teladan. Umar Kayam (1932-2002), misalnya, tokoh yang turut membangun berdirinya Orde Baru, tetapi kemudian bersikap kritis dan memilih posisi di luar kekuasaan dan mewakafkan keilmuannya melalui jalur pendidikan dan kebudayaan.

Profesor untuk Apa?

Hendra Gunawan

Pada akhir tahun 2012 saya menghadiri sebuah konferensi yang diselenggarakan oleh Calcutta Mathematical Society (CMS), di sebuah gedung sederhana tempat CMS berkantor. Ada yang berkesan tentang gedung CMS tersebut. Di ruang utamanya terpampang sejumlah foto para ilmuwan, bukan hanya matematikawan, melainkan juga fisikawan dan ilmuwan terkemuka dalam bidang lainnya. 

Kebanyakan di antara ilmuwan yang fotonya dipasang bahkan bukan ilmuwan asal India, melainkan ilmuwan mancanegara. Sebutlah seperti Isaac Newton, Joseph Fourier, dan Albert Einstein.

Pesan yang ingin mereka sampaikan dengan memajang foto para ilmuwan ini sangat jelas: para ilmuwan tersebut merupakan benchmark (acuan) bagi mereka dalam berkarya. Pemandangan serupa pernah saya jumpai di sebuah perguruan tinggi di Ho Chi Minh City, Vietnam, yaitu terpampangnya foto tokoh kelas dunia yang telah berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban.