Cetak |
Belakangan ini muncul perdebatan
di masyarakat tentang tepat tidaknya Indonesia masuk ke dalam Kemitraan
Trans-Pasifik. Perdebatan ini dipicu oleh pernyataan Presiden Joko
Widodo dalam kunjungan ke AS bahwa Indonesia bermaksud masuk TPP.
Saya
menyambut gembira adanya perdebatan terbuka ini karena masalah ini
berdampak jauh dan berjangka panjang sehingga sepatutnya menjadi bahan
bahasan masyarakat secara luas sebelum pemerintah memutuskan. Tulisan
ini merupakan sumbangan terhadap diskusi terbuka mengenai masalah ini.
TPP
adalah perjanjian kerja sama ekonomi yang diikuti oleh 12 negara, yaitu
Brunei, Singapura, Cile, Selandia Baru, Amerika Serikat, Australia,
Vietnam, Peru, Malaysia, Kanada, Meksiko, dan Jepang. Walaupun pengambil
inisiatif pertama TPP bukan AS, tetapi proses perundingan banyak
dipengaruhi oleh AS.
Komitmen liberalisasi TPP sangat tinggi,
melebihi kesepakatan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan bagi
Indonesia dapat berpengaruh pada sektor-sektor penting, seperti
pertanian, BUMN, dan investasi. Hal itu terutama dalam penyelesaian
sengketa investasi (ISDS), pengadaan pemerintah, ketenagakerjaan,
lingkungan hidup, dan usaha kecil menengah (UKM).
Perundingan TPP
telah mencapai tahap akhir. Apabila masuk TPP sekarang, Indonesia tidak
dapat memperjuangkan kepentingannya karena kalau mau masuk harus
memenuhi syarat-syarat yang telah mereka sepakati. Yang patut kita catat
di sini, sebuah negara besar di Asia dengan ekonomi kedua terbesar di
dunia, yakni Tiongkok, tidak masuk di dalamnya. Bahkan, dari
sumber-sumber bacaan luar negeri, TPP justru dirancang untuk memojokkan
Tiongkok.
Kerja sama bilateral dan regional
Sebenarnya
Indonesia telah mengikat berbagai perjanjian dagang bebas (FTA), baik
bilateral maupun regional, seperti Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN
(AFTA), ASEAN-Australia dan Selandia Baru, ASEAN-Tiongkok, ASEAN-India,
ASEAN-Jepang, ASEAN-Korea, dan CEPA-Uni Eropa serta perjanjian bilateral
Indonesia-Jepang (IJ-EPA) dan Indonesia-Pakistan. Mulai Desember 2015,
dalam wadah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), ASEAN telah menjadi wilayah
perdagangan bebas.
Selain itu, Indonesia juga cukup aktif dalam
pembentukan perjanjian Regional Comprehensive Economic Partnership
(RCEP). Pembentukan RCEP bermula dari kesepakatan para pemimpin dari 16
negara yang bergabung dalam East Asia Summit 2012. RCEP berkembang dari
studi mengenai perjanjian perdagangan bebas ASEAN dengan tiga mitranya,
Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan, yang dikenal sebagai ASEAN+3.
Secara
paralel kajian ini dilengkapi dengan kajian untuk ASEAN+6, yaitu
ASEAN+3 ditambah Australia, India, dan Selandia Baru. Sampai saat ini
proses pembentukan RCEP masih berjalan, tetapi perkembangan
perundingannya cukup menjanjikan. Dengan melihat komposisinya, RCEP
dapat dilihat sebagai perluasan perjanjian-perjanjian perdagangan bebas
yang saat ini sudah ada antara ke-10 negara ASEAN dan enam mitranya
seperti diutarakan di atas.
Cakupan perjanjian dalam RCEP tidak
sekaku TPP karena proses liberalisasi disesuaikan dengan kemampuan
setiap negara. Lebih jauh dari itu, kesepakatan dalam RCEP lebih
fleksibel karena masih memungkinkan perlindungan terhadap produk-produk
sensitif, seperti sektor pertanian. Masalah sensitif lain, seperti hak
milik (intelektual), dalam RCEP masih dapat disesuaikan dengan kemampuan
anggota ASEAN. Berbeda dengan TPP, sejauh ini RCEP tidak mengatur
masalah pengadaan pemerintah, juga tidak mengancam keberadaan dan fungsi
BUMN. Ini karena di beberapa negara yang tergabung dalam RCEP, peran
BUMN cukup besar dalam perekonomian. Bahkan, di Indonesia, peranan BUMN
diamanatkan dalam UUD.
Namun, yang jauh lebih penting, RCEP
mempertimbangkan kesetaraan pembangunan ekonomi dan berupaya keras
mengurangi kesenjangan di antara anggotanya. Hal ini dapat dilihat
dengan adanya perlakuan khusus bagi negara-negara dengan ekonomi belum
terlalu maju, seperti Kamboja, Laos, dan Myanmar. RCEP juga memberikan
tempat bagi UKM agar dapat menerima manfaat dari perdagangan bebas ini.
Cakupan
ekonomi RCEP juga lebih besar karena melibatkan Tiongkok dan India.
Jumlah penduduk yang tergabung dalam RCEP pada 2014 sebesar 3,4 miliar
jiwa(48 persen penduduk dunia), sementara TPP 808,7 juta jiwa (11 persen
penduduk dunia). Total ekspor sesama anggota RCEP pada 2013 mencapai
5,1 triliun dollar AS (29 persen ekspor dunia), sementara TPP 4,4
triliun dollar AS (25 persen ekspor dunia).
APEC
Yang
lebih luas dan lebih dahulu proses pembahasannya adalah Kerja Sama
Ekonomi Asia Pasifik (APEC). Indonesia sudah bergabung dengan APEC sejak
1989. Anggota APEC terdiri atas 12 negara pendiri, yaitu AS, Australia,
Brunei, Filipina, Indonesia, Jepang, Kanada, Korea Selatan, Malaysia,
Selandia Baru, Singapura, dan Thailand, lalu menyusul Tiongkok,
Hongkong, Taiwan, Meksiko, Papua Niugini, Cile, Peru, Rusia, dan
Vietnam.
Ada tujuh negara ASEAN yang tergabung dalam APEC dan 12
negara RCEP yang juga anggota APEC. Semua ekonomi besar di wilayah ini
bergabung dalam APEC, seperti AS, Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, dan
bahkan Rusia. Dari komposisi ini saja sebetulnya sudah dapat dilihat,
APEC memiliki kepentingan strategis yang lebih besar bagi Indonesia.
Sebab, tanpa bergabung dengan TPP saja Indonesia sudah dapat melakukan
perdagangan dengan negara-negara ekonomi kuat.
Dalam sejarahnya,
Indonesia berperan besar dalam APEC. Pada 1994, sewaktu Indonesia
menjadi tuan rumah, berhasil dirumuskan Deklarasi Bogor. Ini momentum
penting karena menjadi kesepakatan pertama APEC untuk melakukan
perdagangan dan investasi bebas dan terbuka di kawasan Asia Pasifik
dengan sasaran pada 2010 bagi negara-negara maju dan 2020 untuk ekonomi
berkembang.
Kesimpulan
Dari
berbagai uraian di atas, jelaslah bahwa arah mewujudkan perdagangan
bebas dunia untuk meningkatkan daya saing, lapangan kerja, dan peluang
usaha sudah sejak lama kita yakini. Kita tidak perlu diajari lagi bahwa
perdagangan bebas akan memperluas pasar dan meningkatkan efisiensi
karena itu semua kita sudah tahu.
Yang utama harus
dipertimbangkan adalah urgensi dan prioritasnya. Jelas perhatian harus
kita berikan kepada yang telah kita sepakati dan akan segera jalankan,
yaitu MEA. Kita masih harus bekerja keras agar MEA dapat betul-betul
membawa keuntungan ekonomi dan kesejahteraan kepada masyarakat. Itu
hanya dapat diraih melalui kekuatan daya saing yang diperoleh dari
peningkatan produktivitas, kreativitas, dan inovasi.
Kita juga
harus menyegerakan proses ke arah kesepakatan regional dan multilateral
yang sudah kita jalani selama ini, yakni kerja sama ASEAN dengan
negara-negara mitranya dan dalam APEC. Memang negosiasinya tidak mudah
karena harus menampung semua kepentingan, dari negara yang paling maju
sampai yang paling terbelakang. Akan tetapi, di situlah letak kekuatan
dan keindahannya.
Dengan bergabung dalam berbagai kerja sama
tersebut, ekonomi kita sudah cukup terbuka lebar dan pasar terbuka luas.
Tidak perlu kita menambah-nambah lagi dengan TPP, tanpa keuntungan yang
jelas, bahkan mengandung risiko kerugian yang tinggi.
Ginandjar Kartasasmita
Mantan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri
Versi
cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 November 2015, di
halaman 6 dengan judul "TPP, Perlukah Kita Bergabung?".
No comments:
Post a Comment