Monday, January 2, 2017

Menyongsong Tahun Penuh Harapan

OPINI > ANALISIS POLITIK > MENYONGSONG TAHUN PENUH HARAPAN

ANALISIS POLITIK J KRISTIADI

Menyongsong Tahun Penuh Harapan

Berbagai peristiwa politik mondial, regional, dan nasional, apabila dinarasikan, untuk menggambarkan keseluruhan kejadian tahun 2016 adalah tahun malapetaka politik (annus horribilis). Berbagai macam ungkapan satir dan kecemasan untuk mengekspresikan tragedi politik tahun lalu. Misalnya, kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden di Amerika Serikat, dilakukan dengan memelesetkan lagu sangat populer dari The Bee Gees tahun 1960-an bait pertama, ”I started a joke, which started the whole world crying” menjadi ”Trump started a joke which started the whole world crying” (Julia Suryakusuma, The Jakarta Post, 16 November 2016).
Sementara itu, pada tataran domestik, kegalauan politik Indonesia tak hanya dirasakan warga Indonesia. Kecemasan juga merambat ke tataran mondial sebagaimana diungkapkan dalam kolom Banyan, The Politics of Taking Offence. Dalam menutup kolomnya, majalah bergengsi yang sudah terbit sejak 1843 itu mengkhawatirkan pemilihan gubernur DKI Jakarta mempunyai risiko konflik komunal berdarah, seperti terjadi dua dekade sebelumnya. Maksudnya, peristiwa Mei 1998 (The Economist, 24 Desember 2016).
Namun, di balik pekatnya langit politik Indonesia, sebenarnya memancarkan juga sinar terang yang tidak hanya mampu mengusir kegelapan, tetapi bahkan dapat menjadikan tahun 2017 sebagai annus mirabilis. Tahun yang penuh harapan, sukacita, dan berkah yang melimpah.

Serangan Jantung Budaya (2)

Serangan Jantung Budaya (2)
Oleh: Yudi Latif
(Kompas, Jumat, 30 Desember 2016)
Dalam proses perubahan kebudayaan, kita bisa menengok pandangan Arnold Toynbee dalam A Study of History(1957), tentang pengaruh "radiasi budaya". Menurut pandangannya, peradaban itu berlapis-lapis, dimulai dari teknologi di lapisan terluar, berturut-turut disusul oleh lapisan seni, lapisan etika, dan agama di lapisan terdalam. Kebudayaan yang lebih kuat akan meradiasi kebudayaan yang lebih lemah. Namun, pengaruhnya tak langsung masuk secara keseluruhan, tetapi secara parsial merembesi lapisan-lapisan budaya. Lapisan terluar (teknologi) merupakan lapisan paling mudah ditembus; makin ke dalam, makin sulit. Lapisan agama, jantung terdalam yang paling sulit ditembus.
Meski demikian, pengaruh radiasi budaya berbanding terbalik dengan nilai kedalamannya. Bahwa kian tinggi teknologi sebuah peradaban, makin mudah meradiasikan lapisan-lapisan budaya lainnya terhadap peradaban lain. Dalam pelacakannya terhadap faktor kebangkitan dan kejatuhan sekitar dua puluhan peradaban, Toynbee mengaitkan disintegrasi peradaban dengan proses melemahnya visi spiritual peradaban tersebut. Singkat kata, serangan terhadap pandangan dan etos keagamaan di jantung kebudayaan merupakan serangan paling berbahaya, yang bisa melumpuhkan daya hidup peradaban tersebut.
Selama berabad-abad, jantung spiritualitas Nusantara memiliki daya lenting yang luar biasa dalam menghadapi radiasi budaya dari luar. Proses indianisasi tidak melemahkan, malah memperkuat pandangan dunia iluminasionisme. Kehadiran Islam membawa perubahan penting dalam pandangan dunia dan etos masyarakat Nusantara, terutama, pada mulanya, bagi masyarakat wilayah pesisir. Islam meratakan jalan bagi modernitas dengan memunculkan masyarakat perkotaan dengan konsepsi 'kesetaraan' dalam hubungan antarmanusia, konsepsi 'pribadi' (nafs, personne) yang mengarah pada pertanggungjawaban individu, serta konsepsi waktu (sejarah) yang 'linear', menggantikan konsepsi sejarah yang melingkar (Lombard, 1996). Meski demikian, mental primordial itu terus terjaga melalui jaringan tarekat dan pesantren pedesaan.
Dalam Islam Observed (1968), Geertz melukiskan bahwa Iluminasionisme keagamaan yang bersifat sinkretik, dengan etosnya yang bersifat adaptif, gradualistik, estetik dan toleran itu bertahan setidaknya hingga awal abad ke-19. Sejak akhir abad ke-19, pandangan dan etos keberagamaan seperti itu mendapat gempuran dari "logosentrisme" yang bersumber dari dua arah: pertama modernitas Barat dengan logika Aristotelian dan rasionalitas instrumentalnya. Kedua dari skripturalisme keagamaan dari gerakan reformisme Islam, terutama yang bercorak Wahabiyah.
Meski demikian, proses pembaratan itu ada batasnya. Menurut Denys Lombard (1996), di sana terlihat adanya dualitas "pemelukan" dan "penolakan". Di satu sisi, ada elemen yang terbaratkan. Di sisi lain ada proses kembali ke sumber-sumber ke-"timur"-an. "Pengambilan kata-kata Barat, seperti revolusi, nasionalisme, demokrasi, belum berarti bahwa sungguh terjadi pembaratan mentalitas Jawa lewat konsep-konsep tersebut." Karena, di sisi lain, ada pula proses pribumisasi modernitas, seperti dalam penemuan konsepsi Pancasila serta pemahlawanan tokoh-tokoh berbagai elemen bangsa.
Respons Islam sendiri dalam menghadapi tantangan modernitas bersifat dinamis. Di satu satu, ada gerakan yang melakukan pengambilan secara selektif (appropriation) terhadap unsur-unsur sains-teknologi dan seni dari Barat, seperti dikembangkan oleh Muhammadiyah. Di sisi lain, ada gerakan otentisasi (authenticisation), dengan berpaling pada tradisi-tradisi keagamaan lokal sebagai bentuk resistensi terhadap serangan modernitas, seperti yang ditempuh oleh Nahdlatul Ulama.
Alhasil, sehebat apa pun gempuran modernisme dan skripturalisme, kontinuitas pandangan dan etos religi Nusantara masih bisa dipertahankan. Geertz (1981) menyimpulkan bahwa karena peran ulama sebagai pialang budaya, pengaruh reformisme Islam dari Timur Tengah itu masih bisa diseleksi, disesuaikan dengan konteks lokal, sehingga ketahanan mental primordial Nusantara yang bersifat adaptif, menyerap, gradualistis, dan kompromistis masih bisa bertahan. Radiasi reformisme keagamaan dalam perkembangannya tak mengarah kepada kedalaman pemurnian (force), tetapi perluasan (scope). (BERSAMBUNG)
(YUDI LATIF, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia)

DNA Anti-korupsi


Pelaku korupsi sangat beragam, baik latar belakang pendidikan, jenis pekerjaan, tingkat ekonomi, identitas yang terkait dengan SARA, maupun jenis kelamin. Semua keragaman itu tidak ada kaitannya dengan pertanyaan: mengapa korupsi sangat diminati banyak orang?
DIDIE SW
Korupsi tak bisa dihubungkan dengan atribut tertentu yang melekat pada diri individu, terutama dikaitkan dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) ataupun jender. Sebagai contoh, jika data dan fakta menunjukkan lebih banyak laki-laki yang terlibat korupsi, itu semata-mata karena mereka lebih banyak memegang kendali kekuasaan, baik pada jabatan publik maupun jabatan di sektor swasta.
Sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk mempelajari mengapa orang korupsi. Namun, jawabannya berbeda-beda karena faktor orang korupsi juga beragam. Oleh karena itu, jurus untuk menangkal atau mencegah orang melakukan korupsi pun tumbuh dengan berbagai macam preferensi, yang dikuatkan dengan konsep dan kajian empirik atas fenomena korupsi. Korupsi itu sendiri merupakan sebuah fenomena yang selama ini didekati secara multidisipliner, baik dalam perspektif hukum, ekonomi, politik, psikologi, pendidikan, manajemen, administrasi, governance, akuntansi, kriminologi, filsafat, sosiologi, bisnis, etika, maupun lain sebagainya.

Peringkat Ke-40 dan Pelaksanaan Kontrak


"Target saya tentu saja kita berada di 40 besar daftar negara dengan kemudahan berusaha."
Presiden Joko Widodo di depan enam CEO Belanda, 23/11/2016
Angka 40 di atas sudah beberapa kali diucapkan Presiden RI akhir-akhir ini. Tetapi, itu memang perlu sebagai pemicu semangat untuk bisa meningkatkan peringkat kemudahan berusaha di RI.
Dalam laporan Doing Business (DB) 2017 yang dikeluarkan Bank Dunia, Indonesia menduduki peringkat ke-91 dari 190 negara dalam ease of doing business ranking. Ini lompatan lumayan dari peringkat ke-109 tahun sebelumnya. Langkah kebijakan pembangunan Paket Kebijakan Ekonomi yang dikeluarkan pemerintah mendapat catatan khusus oleh Bank Dunia.
Tetapi, Presiden ingin lebih jauh dari itu. Ia mencita-citakan peringkat ke-40 sehingga tidak tertinggal jauh dari negara-negara jiran, seperti Malaysia dan Thailand, yang untuk 2017 masing-masing di peringkat ke-23 dan ke-46. Peringkat ke-91 yang tercapai sekarang, kata Jokowi, jangan ditepuki dulu.
Sebetulnya kita sudah merasa puas dengan peringkat di bawah 100 itu. Sebab, sejak dikeluarkannya Doing Business pada 2004, Indonesia tiap tahun selalu berada di peringkat di atas 100. Bukan hanya itu. Tidak pernah terdengar kepedulian dari otoritas untuk memperhatikan aspek kemudahan berusaha yang dikeluarkan oleh badan dunia itu. Baru pada Kabinet Susilo Bambang Yudhoyono, pada akhir 2013, Menko Perekonomian Hatta Rajasa waktu itu mengatakan keinginannya agar tahun berikutnya (2014) Indonesia berada pada peringkat di bawah 100.

Media Sosial dan Gerakan Politik


Kesigapan Densus 88 menggulung jaringan teroris yang berserakan di Tangerang, Payakumbuh, dan Batam layak diapresiasi.
Sejak bom Hotel JW Marriott tahun 2009, tidak kurang dari 50 rencana serangan teror telah digagalkan oleh Densus 88. Namun, satu hal yang paling penting untuk disikapi bersama, seperti diungkapkan Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian, sebaran ideologi, taktik serangan, pendanaan—juga perekrutan—kali ini dilakukan secara online (daring), terutama melalui media sosial.
Bagaimana media sosial mengubah dinamika terorisme di Indonesia?
Dalam buku The Logic of Connective Action (2011), Bennett dan Segerberg mengingatkan bahwa nalar kerja tradisional sebuah gerakan politik, termasuk terorisme, yang menekankan collective action (aksi kelompok) akan tergerus dengan nalar kerja baru gerakan politik yang bersifat connective action’(aksi yang dilakukan karena kesamaan ide).
Dalam pola baru ini, keterlibatan dalam gerakan politik menjadi lebih cair dan bersikap sangat personal. Pada pola lama, mengharuskan adanya pengorganisasian yang tersusun rapi. Dalam pola ini, identitas diri melebur jadi identitas kelompok. Sementara dalam pola baru, untuk jadi pelaku kekerasan, orang tak harus repot terlebih dahulu menjadi anggota sebuah kelompok jihad yang selama ini sudah dikenal, seperti Jamaah Islamiyah, Jamaah Anshorut Tauhid, dan Jamaah Anshorut Daulah.Kelompok-kelompok ini hanya dijadikan ”batu loncatan” oleh mereka untuk membentuk kelompok baru yang lebih ganas.

Langkah Mundur Demokrasi

KORAN SINDO Edisi 02-01-2017

Belakangan ini kita dihadapkan pada situasi yang hampir serupa dengan zaman Orde Baru. Kebebasan berpendapat di muka umum dihalangi, sikap kritis dituding makar, serta menangkap sejumlah aktivis karena diduga melakukan pemufakatan jahat untuk memakzulkan pemerintahan yang sah. 

Fenomena politik semacam ini menandai babak baru bagi kemunduran demokrasi kita. Meski usia reformasi sudah mencapai delapan belas tahun, kebebasan sipil (civil liberty) seperti melakukan aksi demonstrasi seakan menjadi barang mewah. Ada tiga indikator yang bisa diringkas untuk melihat gejala kemunduran demokrasi saat ini. 

Pertama, melarang umat Islam di berbagai daerah untuk ikut aksi “Bela Islam” ke Jakarta soal penistaan agama yang melibatkan Basuki Tjahaja Purnama alias (Ahok). 

Ironis, di tengah demokrasi kita yang kian tumbuh mekar, masih saja ada upaya menghalangi kebebasan berekspresi. Apa pun alasannya, melarang warga negara (citizen) melakukan aksi jelas melanggar konstitusi. Apalagi, larangan itu didasarkan pada kecurigaan sepihak bahwa aksi mereka berpotensi makar. Argumen yang sungguh melukai perasaan umat serta mendiskreditkan reputasi Islam di Indonesia. Nyatanya, tiga kali aksi “Bela Islam” berlangsung damai. 

PR Inflasi 2017

PR Inflasi 2017
KORAN SINDO 02-01-2017

Tahun 2017 pemerintah menargetkan inflasi 4%. Target ini dibayangi tantangan internal dan eksternal, termasuk potensi kenaikan tarif dasar listrik (TDL) dan kenaikan harga minyak dunia yang bakal memengaruhi harga BBM di pasar domestik. 

Namun demikian, belajar dari pengalaman 2016, pemerintah lebih siap mengendalikan kelompok harga-harga yang diatur pemerintah (administered goods). Indonesia juga terbiasa dengan fluktuasi ekonomi global. Inflasi inti selama beberapa tahun terakhir juga terkendali. Sebaliknya, tantangan pengendalian inflasi 2017 ada pada instabilitas harga pangan. Pekerjaan rumah mengendalikan inflasi pangan 2017 bisa ditelusuri jejaknya dari tahuntahun sebelumnya. 

Tingkat inflasi tahun kalender Januari- November 2016 tercatat 2,59%, dan inflasi dari tahun ke tahun 3,58%. Hingga akhir 2016 diperkirakan inflasi 3,5%, lebih rendah dari target 4%. Inflasi yang rendah ini disumbang terkendalinya administered prices dan inflasi inti. Inflasi lebih banyak disumbang volatile foods. Sepanjang 2016, harga sejumlah komoditas pangan, terutama pangan pokok, tidak stabil. 

Harga naik turun mengikuti irama pasokan dan permintaan yang juga fluktuatif. Setidaknya ada 9 komoditas yang harganya tidak stabil, yakni beras, jagung, kedelai, daging sapi, daging ayam, bawang merah, bawang putih, cabai merah, dan cabai keriting. Cabai misalnya, hingga November menyumbang 0,5% dari 2,59% inflasi atau 19,3%. Ini amat besar. Pasokan yang fluktuatif membuat harga cabai naik turun bagai roller coaster. 

Jurus Menjinakkan Fenomena Tenaga Kerja Ilegal


Pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi sebenarnya baru merupakan instrumen. Esensi tujuan pembangunan adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, ketersediaan lapangan kerja bagi seluruh masyarakat menjadi prioritas yang jauh lebih penting. Logikanya, dengan pertumbuhan yang tinggi, peluang menciptakan lapangan kerja akan lebih besar. Namun, hal ini akan menjadi masalah ketika pertumbuhan ekonomi lebih didominasi sektor padat modal daripada padat karya.
Hingga triwulan III-2016, pertumbuhan sektor yang menjadi tumpuan sumber pendapatan masyarakat justru menurun. Sektor pertanian dan sektor industri hanya tumbuh 2,67 persen dan 4,61 persen dalam setahun. Padahal, sektor pertanian masih menjadi penyumbang lapangan kerja terbesar. Berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2016, penduduk yang menggantungkan sumber nafkah dari sektor pertanian 37,77 juta orang atau sekitar 32 persen. Sementara seiring dengan deindustrialisasi, sektor industri hanya mampu menyerap 15,54 juta orang. Kontribusi sektor manufaktur digeser sektor perdagangan yang mencapai 26,69 juta orang.
Secara statistik, peningkatan peran sektor perdagangan dalam menyediakan lapangan kerja tentu berdampak positif terhadap penurunan angka pengangguran terbuka. Sayangnya, jumlah tersebut lebih banyak di sektor informal, seperti menjadi pedagang asongan dan jasa ojek. Di Indonesia, pekerja sektor informal masih 57,6 persen dari keseluruhan pekerja. Wajar jika pekerja yang bekerja tidak penuh atau bekerja kurang dari 35 jam per minggu masih mencapai 23,26 juta orang atau 19,64 persen. Jika mengikuti standar Organisasi Buruh Internasional (ILO), jumlah tersebut akan tercatat sebagai angka pengangguran.

Pemberdayaan Masyarakat Madani dan Demokras

ROMANUS NDAU LENDONG

Mobilisasi massa, baik demi membela agama maupun keutuhan bangsa, beberapa waktu lalu menyingkap persoalan serius tentang masa depan demokrasi di negeri ini.
Kalkulasi rasional, supremasi hukum, norma-norma sosial, dan kelembagaan politik gagap dan gagal berhadapan dengan tekanan massa. Pada saat bersamaan, polarisasi kultural dan ideologis semakin meluas. Tanpa antisipasi, demokrasi sebagai konsensus bangsa menjadi taruhannya.
Kekhawatiran beralasan karena civil society sebagai penopang penting demokrasi belum berfungsi. Merujuk pengalaman negara-negara maju, civil society merupakan kekuatan pokok yang berperan untuk mencegah totalisasi kekuasaan negara di satu sisi dan memberadabkan masyarakat di sisi lain. Dengan itu, civil society mampu mencegah berkembanganya dua musuh utama demokrasi, yakni totaliterisme negara dan anarkisme massa.

Lingkungan Strategis dan 2017

Lingkungan Strategis dan 2017

Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, dunia tak pernah sepi dari kecenderungan (trend), hal-hal yang tidak diketahui (unknowns), dan juga pengubah jalannya sejarah (game changers).
Kita mengetahui bahwa ada sejumlah megatrend di awal abad ke-21 ini, seperti transformasi demografi, lompatan teknologi, gelombang urbanisasi, dan makin meluasnya globalisasi.
Sementara itu, pada tahun 2016 dunia memiliki banyak unknowns, misalnya kita belum tahu apakah Inggris jadi keluar dari Uni Eropa (Brexit), siapa yang akan menjadi presiden Amerika Serikat Hillary Clinton atau Donald Trump, dan apakah Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) tetap kuat atau semakin lemah posisinya di Timur Tengah dan Afrika Utara.
Kini unknowns tersebut banyak yang sudah mendapatkan jawabannya. Melalui artikel ini, saya akan fokus pada dua hal. Pertama, perkembangan dan dinamika geopolitik dan geoekonomi yang bisa terjadi pada tahun 2017 dan tahun-tahun berikutnya. Sementara yang kedua, game changers apa yang bakal memiliki daya ubah yang tinggi pada tingkat global dan kawasan.