Monday, April 3, 2017

Menuju Dua Tahun Masyarakat Ekonomi ASEAN

KORAN SINDO Edisi 03-04-2017
Menuju Dua Tahun Masyarakat Ekonomi ASEAN

Tidak terasa pemberlakuan kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah memasuki tahun kedua. 

MEA merupakan agenda regional yang menyepakati pembangunan kawasan ASEAN dalam empat pilar, yaitu sebagai wilayah dengan aliran bebas barang, jasa, investasi dan tenaga kerja; wilayah ekonomi yang kompetitif; wilayah dengan pembangunan yang merata, dan menjadi wilayah yang terintegrasi secara penuh ke dalam ekonomi global. 

Jika melihat kembali periode 2014-2015, begitu banyak berita dan kajian yang menyoroti tentang pemberlakuan kesepakatan MEA. Dari dampak positif dan negatif MEA bagi Indonesia, masalah mobilitas tenaga kerja ASEAN, hingga kesiapan pemerintah daerah. Sosialisasi juga dilakukan, sayangnya masih terkesan reaktif dan terbatas. Saat ini, seiring dengan berjalannya MEA, tidak banyak media dan kajian yang membahas hal tersebut, sosialisasi pun terasa sepi. 

Isu MEA meredup, padahal faktanya pertarungan baru mulai. Di mana kita? Ada dua hal utama yang menjadi ukuran dalam melihat dampak dari sebuah kerja sama ekonomi, yaitu arus perdagangan dan investasi. Jika ditelusuri, data perdagangan Indonesia dalam ASEAN 6, terlihat bahwa tren pertumbuhan perdagangan Indonesia dengan kelima negara ASEAN sangat bervariasi pada periode Januari- Oktober 2015 ke 2016 (data Kemendag RI). 

Tren perdagangan Indonesia dengan Filipina dan Thailand menunjukkan pertumbuhan positif, sementara dengan ketiga negara lainnya yaitu Malaysia, Singapura dan Brunei, perubahannya negatif atau menurun. Kecenderungan ini tidak jauh berbeda dengan perubahan pada periode 2011-2015, hanya perdagangan Indonesia dengan Filipina yang perubahannya positif, dengan keempat negara lainnya cenderung negatif. 

Melawan Stigma Seleksi

koran sindo Edisi 03-04-2017
Melawan Stigma Seleksi


Sesuai jadwal yang dirilis Komisi II DPR, 3-4 April 2017 dilangsungkan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) periode 2017-2022. 

Uji kelayakan dan kepatutan ini mengakhiri polemik soal apakah DPR akan melakukan proses pemilihan calon anggota KPU dan Bawaslu atau tidak. Kepastian pelaksanaan fit and proper test diambil setelah Komisi II menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Tim Seleksi Calon Anggota KPU dan Bawaslu pada 30 Maret 2017. RDP bersama Timsel bukan mulus-mulus saja. Banyak kritik tajam dan pernyataan kritis disuarakan. 

Berbagai istilah keras bermunculan. Misal, Timsel menjadi ”predator” Bawaslu karena tidak meloloskan satu pun dari empat anggota Bawaslu yang mendaftar. Isu kebocoran soal, keberpihakan pada calon berlatar anggota KPU, juga dugaan Timsel bekerja tidak profesional. Rapat didominasi pertanyaan mengapa Ketua Bawaslu Muhammad yang mendaftar sebagai calon anggota KPU tidak diloloskan, sementara lima anggota KPU yang mendaftar semuanya lolos. 

Dalam pandangan Komisi II, Bawaslu dianggap berprestasi dalam mengawasi pemilu. Sedangkan KPU sebagai ”anak nakal” yang ”melawan DPR” karena mengajukan uji materi atas undang-undang pilkada yang mewajibkan KPU melakukan konsultasi mengikat dalam membentuk peraturan KPU. KPU juga dituding kerap melakukan pelanggaran dengan membuat peraturan yang melahirkan norma hukum baru dan bertentangan dengan undangundang. 

Contohnya ketika KPU mewajibkan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% sampai tingkat kecamatan saat verifikasi partai politik peserta pemilu 2014. Maka tak heran saat RDP, Komisi II ramai-ramai menggugat kinerja Timsel. Sempat pula muncullontaranbahwaDPRbisa jadi tak akan memilih sesuai dengan jumlah yang ditentukan, yaitu 7 orang untuk KPU dan 5 orang untuk Bawaslu. 

Mereka beralasanundang-undangmemberi ruang bagi DPR untuk mengembalikan nama-nama calon kepada Presiden jika tidak ada yang memenuhi syarat atau jumlah calon yang memenuhi syarat kurang dari yang dibutuhkan. 

Sinergitas Agama Dan Polit

KORAN SINDO Edisi 03-04-2017
Sinergitas Agama Dan Politik

Ketika mengunjungi objek wisata religi pemakaman Mahligai Barus di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Jumat (24/3/2017), Presiden Joko Widodo membuat pernyataan kontroversial. Presiden mengingatkan masyarakat agar ”memisahkan politik dengan agama”. 

Presiden mengatakan, ”Jangan dicampuradukkan politik dan agama.” Kontan saja pernyataan ini menuai pro dan kontra, karena pernyataan tersebut bukan hanya multitafsir, melainkan juga kurang didukung argumen faktual, logis, dan sosial historis. Agama di negeri ini bukan semata urusan personal domestik, tapi juga merupakan persoalan sosial-politik. Relasi agama dan politik selalu menarik didiskusikan dan dimaknai dalam konteks zamannya. 

Pasalnya, berpolitik tanpa beragama secara benar dan konsisten sungguh sangat berbahaya. Agama boleh jadi hanya diperalat atau dipolitisasi untuk kepentingan politik sesaat. Agama disalahgunakan untuk meraih kekuasaan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) tanpa dilandasi nilai-nilai agama dan akhlak mulia. Sebaliknya, beragama tanpa berpolitik juga tidak menguntungkan. Karena melalui politik, ekspresi keberagamaan dapat diaktualisasikan. 

Berbagai aturan hukum dan perundang- undangan yang diinspirasi dan diadaptasi dari nilainilai agama dapat dilegislasi dan dikodifikasi melalui proses politik. Melalui kekuasaan politik yang populis dan humanis, agama dan penganut agama mendapat perlindungan dan jaminan kebebasan dalam kehidupan beragama. 

Demokrasi Elektoral Mencari Bentuk

Demokrasi Elektoral Mencari Bentuk

koran tempo RABU, 22 MARET 2017 | 01:31 WIB
Gunawan Suswantoro
Sekretaris Jenderal Bawaslu RI

Dinamika pembahasan Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilihan Umum yang sedang berlangsung di DPR ternyata memunculkan beberapa pertanyaan mendasar. Pertanyaan itu, antara lain, mengenai representasi publik yang akan dihasilkan oleh sistem pemilu dan upaya mewujudkan pemerintahan yang efektif melalui demokrasi elektoral multipartai.

Jika berkaca pada sepuluh tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ternyata bangunan relasi Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat selalu diwarnai ketidakefektifan dalam pengambilan kebijakan. Setidaknya ada empat hak angket di DPR dan dua kali perombakan kabinet pada masa SBY-JK. Meski upaya membangun koalisi di parlemen untuk mendukung kekuasaan Presiden telah digalang melalui Koalisi Kerakyatan dari tujuh partai pendukung plus Partai Golkar hingga menguasai 71 persen suara di DPR, fragmentasi dalam jajaran Koalisi Kerakyatan tetap tidak terhindarkan.

Cerita yang sama berlanjut dalam skema Sekretariat Gabungan koalisi partai pendukung SBY-Boediono. Manuver partai-partai pendukung SBY-Boediono dalam Pansus Century menunjukkan mekanisme Setgab telah memunculkan krisis dalam tatanan sistem presidensialisme. Kompleksitas relasi kuasa Presiden dan DPR yang tergambarkan sebagai Presidensialisme Setengah Hati (Hanta, 2013) telah diperkuat oleh kajian disertasi dari Agus Gumiwang (2014), yang menyoal efektivitas Setgab Partai Koalisi SBY-Boediono.