Sunday, January 10, 2016

Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam


(Kompas, 18 September 2002)
OLEH ULIL ABSHAR ABDALLA

SAYA meletakkan Islam pertama-tama sebagai sebuah “organisme” yang hidup; sebuah agama yang berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia. Islam bukan sebuah monument mati yang dipahat pada abad ke-7 Masehi, lalu dianggap sebagai “patung” indah yang tak boleh disentuh tangan sejarah.

Saya melihat, kecenderungan untuk “me-monumen-kan” Islam amat menonjol saat ini. Sudah saatnya suara lantang dikemukakan untuk manandingi kecenderungan ini.

Saya mengemukakan sejumlah pokok pikiran di bawah ini sebagai usaha sederhana menyegarkan kembali pemikiran Islam yang saya pandang cenderung membeku, menjadi “paket” yang sulit didebat dan dipersoalkan: paket Tuhan yang disuguhkan kepada kita semua dengan pesan sederhana, take it or leave it!Islam yang disuguhkan dengan cara demikian, amat berbahaya bagi kemajuan Islam itu sendiri.

Natal Politik Cinta

Natal Politik Cinta
Oleh: Yudi Latif 
(KOMPAS, 29 Desember 2015)

Kemunculan pemerintahan Joko Widodo dan M Jusuf Kalla ditandai oleh kegairahan musim semi kesukarelaan yang membangkitkan harapan. Setelah sekian lama jagat politik Indonesia mengalami lesu darah, kemunculan pemimpin yang saat pemilihan dipandang relatif otentik mengembalikan darah segar ke jantung politik. Kehadiran darah segar ini lantas dipompakan ke seluruh tubuh kebangsaan oleh dorongan semangat perubahan, yang digerakkan simpul-simpul relawan yang tersebar di seluruh negeri. Tanpa menunggu komando dan janji imbalan, simpul-simpul relawan ini bergerak serempak, mengatasi keterbatasan logistik dan jaringan institusi kepartaian. Sontak saja, Indonesia disapu gelombang partisipasi politik rakyat yang masif, energetik, dan kreatif.
Fenomena tersebut menunjukkan sumber utama pesimisme dan apatisme publik terhadap politik di negeri ini tidaklah terletak pada "sisi permintaan" (demand-side) seperti sering didalihkan para politisi: rendahnya tingkat pendidikan rakyat, pragmatisme pemilih, serta kurangnya kesadaran politik. Sebaliknya terletak pada kelemahan "sisi penawaran" (supply-side), dari ketidakmampuan aktor-aktor politik untuk membangkitkan kepercayaan rakyat. Sekali ada aktor politik yang dapat dipercaya, kegairahan warga untuk terlibat secara politik kembali menguat.