Tuesday, May 26, 2015

Republik Riuh Rendah


Minggu, 3 Mei 2015 | 17:39 WIB
--

Oleh: Budiarto Shambazy

JAKARTA, KOMPAS - Presiden Joko Widodo mengakui secara terbuka popularitas dia turun saat usia pemerintahannya mencapai enam bulan. "Banyak yang sampaikan ke saya, 'Pak, popularitasnya turun'. Memang policy kita di depan sakit semua," kata Jokowi dalam acara silaturahim dengan pers di Auditorium TVRI, Senayan, Jakarta, Senin (27/4/2015) malam.

Jokowi mengatakan tidak takut popularitasnya turun karena mengambil kebijakan tak populer jika itu menjamin kebaikan di kemudian hari. "Perubahan butuh pil pahit, kesabaran, pengorbanan. Tapi, keyakinan itu harus kita miliki. Perlu loncatan keberanian. Kalau itu diperlukan, akan saya putuskan," katanya.
November 2014, di hadapan warga negara Indonesia di Melbourne, Australia, Jokowi juga mengungkapkan popularitasnya turun setelah mengalihkan subsidi BBM. Sambil bercanda, dia mengatakan, hal itu hanya akan berlangsung sebulan.

"Popularitas turun gara-gara BBM, ya, itu risiko. Masa pemimpin penginnya populer terus? Kalau untuk kebaikan, saya enggak peduli enggak populer. Paling sebulan. Setelah itu minta foto lagi. Pak selfie, Pak," canda Jokowi disambut tawa hadirin.

Meski mengalami penurunan, sejumlah hasil jajak pendapat membuktikan popularitas Jokowi bersama Wapres Jusuf Kalla masih tergolong tinggi. Tidak perlu memperlakukan hasil jajak-jajak pendapat itu untuk mengambil keputusan meskipun tetap dibutuhkan sebagai rujukan.

Jokowi sosok yang sejauh ini dapat dianggap jujur, sederhana, dan, yang terpenting, bukan bagian bablasan Orde Baru. Persoalannya, mungkin berhubung dia the new kid on the block, dia belum membuktikan diri sebagai sosok kepala negara yang berani.

Reformasi Kabinet


Miftah Thoha
Berita perombakan kabinet mulai berembus. Walau belum ada kabar pasti, tetapi dalam susunan kabinet presidensial di negara kita, berita semacam itu merupakan isu politik yang digemari.
 
Beberapa tahun lalu isu perombakan kabinet selalu banyak diembuskan dari partai politik, baik yang mendukung kabinet apalagi yang ada di luar kabinet. Bagi partai pendukung, mereka merasa jatahnya di kabinet kurang, maka ada kesempatan untuk menambah jatah menteri. Bagi partai di luar kabinet, mereka senang karena siapa tahu diajak mendukung kabinet. Apalagi di dalam kabinet presidensial tak dikenal kelompok oposisi, tetapi disebut kelompok penyeimbang.

Oligarki Partai

Oligarki Partai

Boni Hargens

Dalam Kongres IV PDI Perjuangan di Bali (9-11 April 2015), Megawati Soekarnoputri kembali menjadi ketua umum.  Sebagian pengamat menuduh itu sebagai skenario mengekalkan patronase. Benarkah begitu?
Sebelumnya, dalam kongres luar biasa, 20 September 2014, Partai Gerindra menetapkan secara aklamasi Prabowo Subianto sebagai ketua umum. Apakah ini juga konfirmasi akan adanya patronase? 

Belum lama, 11-13 Mei 2015, dalam kongres di Surabaya, Susilo Bambang Yudhoyono kembali ditetapkan sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Padahal, dalam kongres luar biasa di Bali, Maret 2013, SBY berjanji hanya menjabat ketua umum pada masa transisi. Apakah ini model dinasti politik Cikeas?

Pansel Pemimpin KPK



Saldi Isra
KOMPAS Cetak | 26 Mei 2015 
Setelah menunggu dan melewati perdebatan cukup lama, akhirnya Presiden Joko Widodo menerbitkan keputusan presiden mengenai pembentukan Panitia Seleksi Calon Pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi. Tidak seperti panitia seleksi yang lain, nama-nama mereka yang akan menyeleksi calon pemimpin lembaga anti rasuah ini diumumkan langsung oleh Presiden Jokowi.

Meski diumumkan langsung oleh Presiden Jokowi, fokus perhatian sebagian kalangan bukan pada titik ini, melainkan lebih pada pilihan semua nama panitia seleksi (pansel) yang diisi oleh tokoh perempuan. Hampir dapat dipastikan, tidak seorang pun yang menduga bahwa Jokowi akan hadir dengan pilihan yang tentunya dapat dikatakan berada di luar pakem komposisi sebuah panitia seleksi yang biasanya didominasi kaum adam.
Oleh karena itu, dalam batas penalaran yang wajar, tidak terlalu berlebihan seandainya banyak yang terkejut dengan komposisi pilihan ini. Namun, bagi saya, "sembilan srikandi" penentu masa depan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini dapat dikatakan sebagai sebuah pilihan menarik yang disodorkan Presiden Jokowi. Bahkan, merujuk pro-kontra nama-nama yang muncul sebelum pengumuman Jokowi, pilihan ini sekaligus merupakan jalan keluar dari rebutan banyak kepentingan. 

Membaca Jokowi

Membaca Jokowi

kompas cetak Selasa, 28 April 2015 | 15:10 WIB

Oleh: Agus Suwignyo
JAKARTA, KOMPAS.com - Hanya dalam bulan-bulan pertama masa pemerintahannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah membuat terkejut banyak pihak di dalam dan luar negeri. Sayangnya, kian hari kian terlihat bahwa keterkejutan itu cenderung berujung pada kekecewaan dan memupus tingkat kepercayaan publik akan kepemimpinannya.

Runtuhnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), harga bahan bakar minyak dan nilai tukar rupiah yang turun-naik seperti yoyo, eksekusi hukuman mati terpidana kasus narkotika, dan pengenduran aturan remisi terpidana korupsi adalah sejumlah contoh kasus yang mengecewakan banyak kalangan. Tulisan ini mencoba membaca Jokowi dari sisi psikohistoris untuk meneropong karakteristik kepemimpinan dan pola pengambilan kebijakannya yang mengejutkan itu.

Merger BUMN


Koran SINDO
Kamis, 21 Mei 2015 − 10:24 WIB
Merger BUMN
Rhenald Kasali

Senin (18/5) sore Presiden Joko Widodo memanggil 119 petinggi BUMN ke Istana. Pertemuan itu bersifat tertutup. Ada apa?

Rupanya rapat itu membahas agenda pembentukan holding company (perusahaan induk) BUMN. Salah satu yang diminta cepat bergabung adalah BUMN pelabuhan, yakni PT Pelabuhan Indonesia I, II, III, dan IV. Penggabungan ini menjadi penting mengingat rencana besar pemerintah untuk membangun ”tol laut”.

Ideologi Birokrasi di Indonesia

Ideologi Birokrasi di Indonesia
Koran SINDO
Senin, 25 Mei 2015 − 10:29 WIB

Ideologi Birokrasi di Indonesia

Indra J Piliang
Ketua Tim Ahli Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi

Pemikiran politik di Indonesia bisa juga digunakan terhadap birokrasi. Birokrasi, bagaimanapun, pernah begitu kuat mempengaruhi masa kolonial dan pasca kolonial, termasuk sebagai kekuatan politik utama.

Walau dijadikan sebagai entitas yang independen dan imparsial, birokrasi kenyataannya masih menjadi kekuatan utama yang bersinggungan dengan politik. Dalam era demokrasi, birokrasi ”dijauhkan” dari politik, dengan hanya memberikan hak memilih, bukan dipilih. Penting diingat bahwa Belanda menguasai Indonesia bukan lewat penguasaan teritorial berupa pengerahan tentara, melainkan melalui birokrasi.