Wednesday, May 13, 2015

Anomali Demokrasi Jokowi


Anomali Demokrasi Jokowi

KOMPAS CETAK, 2 Mei 2015
Oleh: Teuku Kemal Fasya
JAKARTA, KOMPAS - Saya tak tahu apakah ada kondisi yang bisa berubah lebih cepat dibandingkan politik? Perubahan musim saja memiliki masa transisi yang tidak secepat sulap.

Ada musim pancaroba antara selisih musim. Perubahan budaya apalagi. Ada dimensi evolusi yang memerlukan fase tertentu sehingga sebuah kebudayaan dianggap berubah dari sebelumnya.

Revolusi negatif
Tidak ada yang menduga jika Joko Widodo, Presiden "harapan baru" Indonesia-seperti judul utama majalah Time, edisi 27 Oktober 2014-bisa berubah lebih cepat dari cuaca. Perubahan radikal luput dari hampir semua prediksi sebelumnya. Catatan ini menjadi penting melihat masa depan demokrasi di negeri ini. Padahal, harapan publik atas Jokowi cukup besar di awal 2014. Saat itu kita sedang menunggu pemimpin alternatif di tengah pemimpin politik senior konvensional berbasis partai politik. Harapan itu masih bernyala hingga ia dan Jusuf Kalla dinyatakan sebagai pemenang Pemilu Presiden-Wakil Presiden 9 Juli 2014.

Bahkan hingga detik-detik pelantikan sebagai presiden di sidang MPR pada 20 Oktober, Jokowi masih dielu-elukan sebagai sosok populis yang bisa menghentikan fase transisi demokrasi Indonesia. Ia diarak dalam sebuah kirab budaya dan pesta rakyat, menyatu dengan kulit dan keringat rakyat, menyalami mereka hingga larut malam.

Inflasi Satuan Tugas Antikorupsi

Donal Fariz

Tiga institusi penegak hukum-Komisi Pemberantasan Korupsi, kepolisian, dan kejaksaan-membentuk satuan tugas pemberantasan korupsi. Merunut sejarah, replikasi pembentukan unit seperti ini selalu gagal melakukan fungsinya. 

Tak bisa dielakkan bahwa pembentukan satuan tugas (satgas) pemberantasan korupsi memiliki relevansi yang erat dengan polemik antara KPK dan kepolisian belakangan ini. Buruknya komunikasi dan koordinasi ditengarai sebagai sebab utama gesekan antarlembaga penegak hukum. Alhasil, ketiga pemimpin lembaga penegak hukum tersebut mendorong pembentukan sebuah wadah komunikasi dan kerja sama lintas institusi.

Dalam kaca mata masyarakat umum, sesungguhnya tujuan besar pembentukan satgas antikorupsi masih kabur. Namun, jika mengutip sejumlah pernyataan para pemimpin lembaga itu, mereka menyebut pembentukan satuan ini demi mempermudah penanganan pelbagai kasus korupsi yang memiliki irisan.

Konsolidasi Kebangsaan dan Keumatan PAN

Konsolidasi Kebangsaan dan Keumatan PAN
Koran SINDO
Kamis, 7 Mei 2015 − 08:38 WIB

H Andi Taufan Tiro
Anggota DPR RI Fraksi Partai Amanat Nasional

Sederhana saja yang ingin dicapai dalam pelantikan dan rapat kerja nasional Partai Amanat Nasional di bawah kepemimpinan Zulkifli Hasan yang dilaksanakan kemarin.

”Ada Saatnya Kita Berkompetisi dan Ada Saatnya Kita Bersamasama Membangun Negeri Ini”. Begitu bunyi tema kegiatannya, simpel dan mudah dicerna. Tidak butuh kerumitan semiotik dalam menafsir apa maksud tema ini, jelas adalah suatu silaturahmi seluruh elemen bangsa tak terkecuali bagi PAN secara internal tentunya.

Hiruk-pikuk politik di pentas nasional sejak menjelang pemilihan presiden tahun lalu, pertarungan di gedung legislatif hingga kongres partai-partai nasional semakin memanaskan situasi. Tak pelak banyak hubungan persahabatan, pertemanan, bahkan persaudaraan yang retak atau remuk redam akibat seteru ambisi kekuasaan.

Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi, Apa yang Salah?


Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi, Apa yang Salah?
Koran SINDO
Senin, 11 Mei 2015 − 09:21 WIB

Latif Adam
Ketika Jokowi resmi dilantik sebagai presiden Indonesia ketujuh pada 20 Oktober 2014, terdapat ekspektasi yang sangat tinggi dari masyarakat bahwa pemerintahannya akan mampu memperbaiki lanskap perekonomian Indonesia ke arah yang lebih maju dan berkeadilan.

Ide-ide cemerlang bagaimana mengelola perekonomian (seperti tambahan alokasi anggaran infrastruktur menjadi Rp290,3 triliun) dan gebrakan beberapa menteri menjadi lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya ekspektasi masyarakat. Namun, paling tidak sampai dengan triwulan I-2015, masyarakat tampaknya masih harus menunggu jawaban pemerintah terhadap ekspektasi mereka.

Alih-alih membaik, beberapa indikator ekonomi justru mengalami pembusukan. Pertumbuhan ekonomi misalnya, secara year on year (YoY), pada triwulan I- 2015 hanya 4,71%, lebih rendah dari kuartal I-2014 (5,14%). Perlambatan pertumbuhan ekonomi kemudian mengurangi kemampuan perekonomian dalam menciptakan kesempatan kerja.

Bukan Ketoprak Mataram


Koran SINDO
Rabu, 13 Mei 2015 − 09:40 WIB
ANAS URBANINGRUM
Pengamat Politik

Keraton Yogyakarta memanas menyusul keluarnya Sabda Raja Sri Sultan Hamengku Buwono X pada 30 April 2015 yang intinya: perubahan penyebutan Buwono menjadi Bawono, dihilangkannya khalifatullah dalam gelar sultan, penyebutan Kaping Sedasa diganti Kaping Sepuluh.

Disebut juga ada perubahan perjanjian antara Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan, serta menyempurnakan nama keris Kanjeng Kyai Ageng Kopek dan Kanjeng Kyai Ageng Joko Piturun. Keraton makin bergolak setelah Ngarso Dalem kembali mengeluarkan Dawuh Raja pada 5 Mei 2015, yang substansinya mengangkat putri sulungnya, GKR Pembayun, sebagai calon penerus takhta dengan gelar GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram.

Pancaroba Demokrat

Pancaroba Demokrat

Pergantian musim kerap kali diikuti musim pancaroba. Transisi dari musim hujan ke musim kemarau biasanya ditandai perubahan cuaca cukup ekstrem dan meningkatnya frekuensi orang sakit, terutama mereka yang tak memiliki daya tahan atas perubahan yang berlangsung. 

Hal seperti ini bisa juga terjadi dalam lingkup perubahan politik. Setiap perubahan konstelasi politik berdampak pada eksistensi dan pola relasi aktor politisi ataupun partai politik di tengah fragmentasi kekuatan yang ada saat ini.

Partai Demokrat 10 tahun menjadi partai penguasa dan menempatkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai orang nomor satu di republik ini selama dua periode. Kini, SBY tak lagi menjabat presiden, dan partainya pun melorot ke urutan keempat di antara partai pemenang Pemilu Legislatif 2014. Akankah Demokrat mampu melewati fase transisi dari partai penguasa ke partai penyeimbang di luar kekuasaan? Salah satu ujian awalnya tentu saat Demokrat menggelar kongres ketiga di Surabaya, 11-13 Mei.