Sunday, August 30, 2015

Tantangan Geopolitik 70 Tahun RI

Rizal Sukma

Perkembangan kawasan Asia Pasifik belakangan ini semakin menegaskan perubahan dan transformasi strategis di lingkungan internasional Indonesia. Pergeseran pusat gravitasi geopolitik dan geo-ekonomi dunia ke kawasan ini merupakan aspek yang paling nyata dari transformasi tersebut.

Indonesia sebagai negara yang secara geografis berada di pusat Asia Pasifik akan dihadapkan pada sejumlah tantangan geopolitik yang rumit, yang bersumber dari tiga kecenderungan penting di kawasan ini.

Pertama, kebangkitan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebagai kekuatan pesaing dan pengimbang Amerika Serikat semakin nyata. Peran dan pengaruh RRT sebagai kekuatan besar di kawasan juga makin terasa. Sementara itu, sebagai adidaya global, AS tetap akan mempertahankan supremasinya di kawasan.

Masa depan Asia Pasifik akan banyak dipengaruhi bagaimana kedua kekuatan besar ini menge- lola hubungan strategis mereka. Memosisikan diri secara tepat di antara dua raksasa ini menjadi tantangan bagi Indonesia.

Dasar-dasar Kemajuan Bangsa

Sayidiman Suryohadiprojo

Pada 9 Agustus lalu, Singapura memperingati HUT ke-50 sebagai bangsa merdeka. Bangsa Singapura membanggakan diri sebagai salah satu masyarakat yang berhasil mencapai kemajuan paling menonjol di antara bangsa-bangsa di dunia.
Dalam 50 tahun itu, Singapura berhasil meningkatkan penghasilan dari 500 dollar AS per kapita pada 1965 ke 55.000 dollar AS pada 2015, peningkatan yang 110 kali lipat. Kemajuan lain adalah sangat menurunnya kematian anak balita dan berkembangnya pendidikan bermutu bagi seluruh bangsa. Juga pemilikan rumah semua penduduk amat tinggi. Semua itu menunjukkan prestasi spektakuler dan dirasakan merata seluruh bangsa.

Keluar dari Belitan Krisis

ANALISIS EKONOMI 

A Prasetyantoko

Krisis selalu berulang dengan pola sama meski pemicunya berbeda. Namun, para pengambil kebijakan cenderung menolaknya, dengan mengatakan kali ini pemicunya berbeda. Melalui bukunya, This Time is Different (2009), Carmen M Reinhart dan Kenneth Rogoff mengingatkan sikap penolakan ini sebagai ilusi berbahaya. Kendati transmisi dan penggeraknya berbeda, krisis selalu punya akar masalah sama.

Namun, tak berarti gejolak nilai tukar dan dinamika pasar modal dewasa ini akan berujung sama seperti 1998. Bahkan, dibandingkan tahun 2008, ada banyak perbedaan sehingga respons kebijakannya pun tak bisa disamakan.