Wednesday, October 28, 2015

Revolusi Mental Birokrasi

Eko Prasojo
Genap setahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, revolusi mental yang dicanangkan dalam Nawacita dan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 tampaknya belum dapat dinilai keberhasilannya. 

Revolusi mental memang harus dimulai dari penyelenggara negara: politikus, penegak hukum, dan pejabat birokrasi. Karena itu, tulisan ini akan berfokus pada revolusi mental birokrasi dan mengurai persoalan dasar dalam model mental dan budaya birokrasi kita.   

Model mental birokrasi
Mengapa revolusi mental selayaknya harus dimulai dari biro- krasi? Karena birokrasi adalah alat negara yang sehari-hari menjalankan pelayanan, pemerintahan, dan pembangunan. Karena peran dan fungsinya, birokrasi akan jadi tolok ukur terdepan penampilan negara kepada rakyatnya. Sikap mental birokrasi yang bersih, melayani dengan profesional tentu akan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada negara. Sebaliknya akan terjadi. Jika birokrasi dipandang korup, pilih kasih, dan tak bisa diandalkan, akan muncul ketidakpercayaan masyarakat kepada negara. Kepercayaan masyarakat kepada negara sangat penting dan krusial dalam perubahan model mental masyarakat keseluruhan. 

Negara Vs Pancasila

Mochtar Pabottingi

Kontroversi soal "bela negara" membawa kita pada empat hal penting yang perlu disoroti.
Pertama, siapa pun yang hendak menjadi pelaksana pendidikan bela negara seyogianya memiliki wibawa dan kredibilitas untuk itu. Kedua, sasaran kelompok usia dan sasaran target waktu pendidikan bela negara mestilah ditentukan oleh realitas di Tanah Air. Ketiga, jika program ini dimaksudkan sebagai jalan mewujudkan apa yang disebut "revolusi mental", ia adalah jalan yang vulgar-kasar dan menggampangkan. Terakhir, di atas semuanya, kontroversi ini membuka pintu bagi kita untuk menilai bagaimana laku para pelaksana negara vis-à-vis ideal-ideal tertinggi bangsa kita. Dengan kata lain, bagaimana sebenarnya negara memperlakukan Pancasila selama ini. 

Saya belum melihat adanya cabang atau perangkat pemerintahan yang cukup memiliki wibawa dan kredibilitas untuk dijadikan pelaksana pendidikan bela negara. Sebagian besar cabang atau perangkat pemerintahan kita sudah puluhan tahun kehilangan wibawa dan kredibilitas itu. Kita tahu bahwa pendidikan tanpa wibawa dan kredibilitas akan sia-sia, bahkan munafik. Sama sia-sia dan munafiknya dengan P4 di sepanjang Orde Baru. Di sini "revolusi mental" dalam arti kata sesungguhnya justru dicibiri dan dicampakkan, mustahil klop. 

Narasi Tonggak Kebangsaan

tajuk rencana > Narasi Tonggak Kebangsaan
Peringatan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober, mengundang kita untuk memperkaya, melakukan koreksi, dan mengambil hikmah. 

Memperkaya, bahkan mengoreksi, bertujuan agar bangsa memiliki narasi sejarah yang terbebas dari kepentingan politik sektoral, pragmatis, dan jangka pendek. Kebaikan bersama menjadi batu penjuru dan batu sendi. Introspeksi dan koreksi, bila perlu, merupakan bagian dari proses menemukan kebenaran (Karl Popper).

Peristiwa 28 Oktober 1928 mengingatkan kebanggaan kita tentang ikrar pemuda Indonesia sebagai bangsa yang berbangsa, bernegara, dan berbahasa satu: Indonesia. Narasi besar Kongres Pemuda II itu, kecuali yang bersifat pelengkap atau tambahan, dirasa memadai. Dekrit kesatuan 28 Oktober 1928, Hari Sumpah Pemuda, merupakan salah satu tonggak kesadaran kebangsaan Indonesia.

Antara "Jokowi" dan "Joko Widodo"

Jumanto
Surat edaran Kementerian Dalam Negeri Nomor 100/449/SJ tertanggal 26 Januari 2015, yang ditujukan kepada seluruh sekretaris daerah provinsi dan kabupaten/kota seluruh Indonesia, memerintahkan untuk menyeragamkan penyebutan bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada saat acara.

Formatnya: "Yang Terhormat Presiden Republik Indonesia Bapak Jokowi". Ini adalah salah satu upaya untuk menjunjung formalitas dalam berbahasa Indonesia sehingga kesantunan berbahasa Indonesia dapat terjaga. Tentu upaya yang baik mengingat komunikasi antara Presiden dan rakyat Indonesia memang terjadi di ruang publik, bukan ranah pribadi atau privasi. Namun, sudah benarkah format tersebut?

Bahasa adalah sebuah kode, yang mengatur kehidupan komunikasi verbal dan nonverbal manusia sehari-hari, dalam situasi formal, informal, atau campuran keduanya. Namun, penggunaan bahasa tidak bisa begitu saja kita "lontarkan" kepada siapa saja, dengan bentuk apa saja.

Mencari Bangsawan Pikiran

Mencari Bangsawan Pikiran


[ Oleh Airlangga Pribadi ] KOMPAS - Rabu, 13 May 2009 :

Pada tahun 1902 di Amsterdam, editor majalah Bintang Hindia, dokter
Abdul Rivai, membuka edisi perdana dengan argumen yang menggetarkan.
“Tak perloe memperpandjang
perbintjangan kita mengenai bangsawan oesoel karena kemuntjulannja
memang telah ditakdirkan. Djika nenek mojang kita terlahir sebagai
bangsawan, kita poen bisa diseboet sebagai bangsawan bahkan meskipoen
pengetahoean dan prestasi kita tak ebahnja seperti pepatah katak dalam
tempoeroeng. Saat ini prestasi dan pengetahoeanlah jang akan
menentoekan posisi seseorang. Inilah sitoeasi jang melahirkan munculnja
bangsawan pikiran“.

Negara Inklusif

KOMPAS Selasa, 24 Maret 2009

Oleh Airlangga Pribadi

Ketika semakin banyak orang mempertanyakan mengapa proses demokrasi di Indonesia tidak melahirkan elite-elite politik yang mampu membawa kesejahteraan sosial dan keadilan publik, gagasan tentang pemerintahan yang kuat tampil mengedepan sebagai isu sentral yang ditawarkan para politisi menjelang Pemilu 2009.

Menggelindingnya ide tersebut diperkuat oleh beberapa peristiwa politik, seperti serbuan gencar iklan di media massa dari Prabowo Subianto dan Partai Gerindra, retorika para elite politik dan fenomena terakhir yang terekam dalam berita utama Kompas (13/3) sekitar pertemuan antara Mega dan JK yang salah satu draf hasil kesepakatannya adalah pentingnya pemerintahan yang kuat untuk masa depan Indonesia.

Oposisi Berorientasi Gerakan

KOMPAS Kamis, 29 Oktober 2009 | 05:01 WIB

Airlangga Pribadi

Ketika elite partai merapat ke koalisi SBY, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri menyatakan kader PDI-P di parlemen bersikap mandiri.

Ketegasan Megawati itu menunjukkan adanya sensitivitas elite politik terhadap suara demokratik yang tidak menginginkan ada pemusatan kekuasaan dalam politik Indonesia. Lalu, langkah awal apa yang harus diambil PDI-P untuk memerankan diri sebagai kekuatan oposisi yang otentik?

Ketika politik pencitraan dan rekayasa telah memenangkan dukungan yang kuat dari publik dan elite politik terhadap SBY dan Partai Demokrat, kekuatan oposisi harus memiliki strategi untuk mengantisipasinya. Terkait hal itu, saatnya kekuatan oposisional seperti PDI-P menoleh ke dinamika akar rumput, mengencangkan relasi organik antara partai dan gerakan sosial, serta melakukan reposisi menuju partai berorientasi gerakan sosial.

Negara Mabuk

KOMPAS Tuesday, August 9, 2011

Oleh Novri Susan
 
Makin lemah negara memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, makin rentan masyarakat oleh menjamurnya kekerasan sosial. Bila negara tak mampu memenuhi kebutuhan dasar rakyat—pangan, identitas, pengakuan sosial, dan keamanan—akan muncul gerakan individu atau masyarakat mengambil alih dengan caranya sendiri. Cara yang cenderung muncul adalah praktik liar yang menegasi norma dan hukum negara:
perampokan, penodongan, pemerasan, bahkan separatisme.

Adalah fakta selama ini bahwa negara yang direpresentasikan lembaga-lembaga kekuasaan tak berbuat banyak memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Kebijakan negara banyak bertentangan dengan kepentingan umum dan hukum negara hanya memberi keadilan kepada yang bisa membeli. Kita seperti hidup di negara mabuk yang kehilangan akal sehat dan rasa kemanusiaan.

Obama, Jokowi, dan Perubahan Iklim

KORAN SINDO, 28-10-2015


Di tengah berita seputar pertemuan pemimpin Amerika Serikat (AS) dan Indonesia, terselip suasana yang tidak nyaman dalam kunjungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke AS pekan ini.

Indonesia tengah dilanda kebakaran lahan gambut yang berkepanjangan sejak Juni. Media massa seluruh dunia, termasuk di AS, tidak dapat membicarakan kunjungan Presiden Jokowi tanpa mengangkat bencana kebakaran lahan gambut yang telah menyebar hingga ke negara-negara tetangga.

Beberapa media menyebutkan, kebakaran lahan gambut yang berlangsung beberapa bulan itu sama efeknya dengan total jumlah emisi karbon AS (karbon dari pembangkit listrik, mobil, konsumsi rumah tangga, dst) selama setahun! Oleh sebab itu, bagi AS, kehadiran Presiden Jokowi di Ruang Oval Gedung Putih memunculkan dilema. Di satu sisi Presiden Jokowi adalah wajah dari model demokrasi negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia.

Kontra Narasi Bahaya Radikalisme

KORAN REPUBLIKA
Sabtu, 10 Oktober 2015, 16:41 WIB
 
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Upaya mencegah bahaya paham radikal dan aksi terorisme secara semesta terus digalakkan semua komponen bangsa dan pemerintah dengan melibatkan kementerian dan lembaga serta seluruh lapisan masyarakat. Mulai dari hulu hingga hilir, holistik, terpadu, terintegrasi, bekerja sama, bukan sama-sama kerja.

Memperbanyak kontra narasi bahaya menyebarnya paham radikal serta akibat aksi terorisme tepat digalakkan, mulai dari kelompok masyarakat yang aktif dan pengguna media sosial hingga ke lompok masyarakat ke las menengah bawah yang tak punya fasilitas media online.

Masyarakat kategori ini adalah yang sejak pagi hingga pagi lagi bergelut di atas tumpukan sampah sebagai pemulung. Mereka yang hidup di atas perahu kecil mencari ikan sebagai nelayan. Mereka yang duduk dan merangkak di seputar lampu merah, hidup di bawah eksploitasi sebagai pengemis. Serta kelompok masyarakat yang berusia belia dan tentu masih sangat produktif, tapi tidak memiliki media membuka dan membaca informasi dari media sosial dan online.

Hijrah dan Agenda Transformasi Bangsa

KORAN REPUBLIKA
Selasa, 13 Oktober 2015, 13:00 WIB
Peristiwa Tahun Baru Hijriyah menjadi renungan bagi umat Islam di seluruh dunia. Peristiwa Hijrah Nabi Muhammad SAW pada 622 M menjadi titik tolak untuk melakukan refleksi betapa kemanusiaan dan keagamaan menjadi bagian integral dari Islam.

Peristiwa hijrah pada abad ke-7 Masehi itulah yang menjadi penanda hadirnya Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin. Kisah kerja sama dan persaudaraan antara kaum Anshar dan Muhajirin merupakan pintu bagi kita semua untuk belajar berbagi, menghormati, dan menyayangi.

Lalu, bagaimana kita memaknai Tahun Baru Hijriyah di tengah selebrasi koruptor dan kisruh permusuhan umat antarumat beragama? Perlu ada langkah konkret dari pemimpin bangsa untuk menyelesaikan permasalahan di negeri ini.

Prospek Pemberantasan Korupsi di Indonesia


Sabtu, 17 Oktober 2015, 17:22 WIB
KORAN REPUBLIKA

Rancangan Undang- Undang Revisi Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) akhirnya ditunda. Penyebabnya bisa jadi karena reaksi publik yang begitu keras dan masif terhadap rencana pembatasan waktu maupun diperetelinya instrumen strategis KPK, misalnya, tentang hak penyadapan.

Untuk sementara bagi para pegiat anti-korupsi, ini melegakan. Namun, harus dijelaskan seluas mungkin kepada publik tentang peran strategis KPK bagi bangsa dalam membangun peradaban bersih ke depan.

Tulisan ini akan melihat betapa urgennya mempertahankan peran KPK dalam pemberantasan korupsi, setidaknya sampai publik menyimpulkan meski ada korupsi, tapi sudah bersifat kasuistik. Tidak seperti sekarang ini sangat masif, sistematis, dan struktural.

Korupsi di Indonesia telah berjalan sangat panjang, praktis tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan, yakni sejak penyalahgunaan kekuasaan dalam pelaksanaan "politik benteng" pada 1950-an. Kebijakan yang semula untuk membangun lapisan kaum wirausaha secara masif, dihentikan karena gagal dan hanya mampu menciptakan entrepreneurdalam bilangan jari.

Quo Vadis Bela Negara


KORAN REPUBLIKA
Senin, 19 Oktober 2015, 12:00 WIB
 
Rencana Kementerian Pertahanan (Kemenhan RI) Republik Indonesia untuk menerapkan kebijakan bela negara bagi warga negara Indonesia kini menjadi sorotan luas. Pasalnya, program yang dimaksudkan untuk mempertebal wawasan kebangsaan dan rasa cinta tanah air di kalangan rakyat Indonesia itu tampaknya mendapatkan resistensi dari sejumlah pihak. Mereka khawatir atas kemungkinan bergesernya kebijakan itu ke arah pembungkaman suara-suara kritis dari publik.

Pertanyaan paling mendasar terkait dengan program bela negara tersebut adalah sejauh mana signifikansinya terhadap pembentukan karakter warga negara Indonesia yang diharapkan: taat, berdisiplin, dan sejensinya? Ataukah justru program itu malah akan membentuk karakter-karakter militeristik yang kaku, textbook, dan sebagainya?

Satu Tahun Jokowi-JK

KORAN REPUBLIKA

Selasa, 20 Oktober 2015
 
Paket kebijakan ekonomi I, II, III, hingga IV yang dikeluarkan pemerintah adalah "syarat keharusan" (necessary condition), tapi belum cukup (unsufficent condition) untuk menggerakkan sektor riil, meningkatkan daya saing industri, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Terutama, bagi rakyat rentan miskin yang lebih dari 50 persen penduduk (dengan pengeluaran 2 dolar AS per hari).

Hal itu karena "belum menyentuh akar persoalan" dari struktur ekonomi yang sudah terperangkap oleh "para pemburu rente" (mafia migas, pangan, impor, perusahaan yang menikmati monopoli/oligopoli, monopsoni/oligopsoni, bahkan kartel) yang menciptakan ekonomi biaya tinggi selama ini. Dengan keadaan ini, problem eksternal (ketidakpastian tingkat bunga AS dengan tappering off-nya berjalan terus beserta pelemahan ekonomi Cina) yang menimbulkan depresiasi kurs rupiah terhadap dolar AS terburuk sejak 1988 dan sulit terkendali serta makin menyulitkan pemerintah untuk melindungi 50 persen penduduk dari kemerosotan daya beli dan kesejahterannya.

Tahun Pertama Miskin Prestasi

KORAN REPUBLIKA
Selasa, 20 Oktober 2015, 13:00 WIB
 
 
Pelantikan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla menjadi presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2014 sudah berjalan satu tahun. Banyak harapan yang dipanggulkan kepada keduanya.

Hasil survei Indobarometer pada pekan ketiga September lalu menunjukkan tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi rontok 11,5 persen dibanding enam bulan sebelumnya, dari 57,5 persen menjadi 46 persen. Yang tidak puas naik menjadi 51,1 persen. Itu artinya lebih dari separuh masyarakat Indonesia tidak puas dengan kinerja presiden.

Jika kita melihat kinerja pemerintah, khususnya dalam bidang ekonomi, persepsi masyarakat itu wajar. Data mengenai pertumbuhan ekonomi yang menurun, bertambahnya jumlah penduduk miskin, naiknya harga bahan pangan, semakin naiknya pengangguran, muramnya komoditas ekspor, seolah-olah mengonfirmasi hasil ketidakpuasan itu.

Santri dan Desekulerisasi

KORAN REPUBLIKA
Jumat, 23 Oktober 2015, 14:00 WIB
 
Penetapan Hari Santri Nasional (HSN) pada 22 Oktober 2015 memunculkan keberatan pada sebagian umat Islam. Pertama, dikhawatirkan membuka luka lama dikotomi Islam santri dan Islam abangan yang belakangan sudah mencair.

Kedua, pemilihan tanggal 22 Oktober yang dikaitkan dengan seruan Resolusi Jihad KH Hasyim Asy'ari pada 22 Oktober 1945 dikhawatirkan mereduksi makna jihad, mengingat jihad melawan penjajah tidak hanya setelah proklamasi kemerdekaan, tapi juga jauh sebelum Indonesia merdeka. Ketiga, peringatan HSN ini dikhawatirkan dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu.

Secara epistemologis, kekhawatiran kelompok yang tidak setuju kurang beralasan. Sebab, pertama, akan munculnya polarisasi santri dan abangan terlalu berlebihan. Konsep Clifford Geertz dengan trikotomi klasifikasi Islam di Jawa (abangan, santri, dan priyayi) ini dipertanyakan keabsahannya. Selain tidak mampu mengelaborasi makna santri dan abangan, antropolog asal Amerika Serikat ini juga tidak konsisten menetapkan variabel santri, abangan, dan priyayi.

Mafia Asap Vs Pelestarian Lingkungan


KORAN REPUBLIKA Senin, 26 Oktober 2015, 13:00 WIB
 
Ditengarai sukarnya pemberantasan kabut asap di Sumatra dan Kalimantan karena ada mafia (kita sebut saja mafia asap) dalam sistem pengelolaan hutan di negeri ini. Apa pun usaha dan program untuk memberantasnya selalu berakhir sesuai dengan kehendak sang mafia. Maka dalam konteks ini bolehlah negeri kita disebut negeri para mafioso, suatu istilah yang lebih dikenal dalam kartel perdagangan narkotika di Meksiko.

Sang mafia karena dibekali dana berlimpah dan jaringan kekuasaan, dapat mengatur dan mengendalikan semuanya di balik layar. Tinggal perintah dan tekan tombol. Jika pun ada yang tertangkap, si pelaku pembakaran hutan dan lahan (karhutla) hanyalah orang suruhan (kroco) sekaligus menjadi tumbal yang dapat dikambinghitamkan oleh manusia-manusia yang kehilangan nurani.

Kodifikasi Hukum Pemilu


KORAN REPUBLIKA, Senin, 26 Oktober 2015, 13:00 WIB
 
Banyak masalah penerapan hukum pemilu di Indonesia muncul akibat konstruksi kerangka hukum pemilu yang kurang kokoh dan terpisah-pisah. Proses pemilu nasional di Indonesia diatur dalam tiga undang-undang: UU Penyelenggara Pemilu; UU Pemilu DPR, DPD, dan DPRD; serta UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Selain itu, penyelenggaraan pemilihan kepala daerah diatur oleh UU No 1 Tahun 2015 jo UU No 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Pilkada sebelumnya diatur oleh UU Pemerintahan Daerah dan kemudian dipisahkan pada 2014 setelah beberapa kali perubahan.

Semua UU ini telah mengalami banyak uji materi dan perubahan secara terpisah setiap siklus pemilihan akan dimulai. Ditambah lagi, pendekatan ad hoc dalam perubahan hukum mengakibatkan hukum menjadi tidak tetap dan tidak ada harmonisasi di setiap UU.

Kondisi ini cenderung semakin parah dan sering kali mengakibatkan ketidakjelasan prosedur hukum bagi penyelenggara pemilu. Belum lagi, tumpang tindih dan kontradiksi antarketentuan UU, inkonsistensi hukuman dan persyaratan, dan kekosongan hukum yang menyebabkan ketidakpastian penyelenggaraan.

Seharusnya, kerangka hukum pemilu yang ada mampu memberikan ruang bagi penyelenggara pemilu untuk membangun panduan teknis dalam bentuk peraturan secara mudah dan tidak ambigu. Kerangka hukum yang lemah dapat menyebabkan kebingungan bagi pemangku kepentingan dalam menafsirkan prosedur pemilu.

Fakta di atas telah mendorong wacana untuk mengkaji dan memperbarui UU Pemilu serta menyatukan berbagai UU itu menjadi satu UU Pemilu. Ini tindakan fundamental yang dapat mengatasi permasalahan kerangka hukum pemilu di Indonesia, baik di tingkat UU maupun peraturan teknisnya.

Namun, tampaknya para pembuat kebijakan cuma mau mengodifikasi dua UU Pemilu, yaitu UU Pemilu Presiden dan UU Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Hal ini dikarenakan masih adanya perdebatan mengenai posisi pilkada yang tidak berada di bawah rezim pemilu nasional serta argumen yang mengatakan UU Penyelenggara Pemilu harus berdiri sendiri.

Selain adanya pandangan dari Kemendagri sebelumnya bahwa karena upaya desentralisasi, UU, dan isu pilkada harus dibuat terpisah dari UU yang mengatur pemilu nasional. Pandangan ini mengabaikan fakta penyelenggaraan pilkada juga ada di bawah tanggung jawab KPU dan tidak melanggar kewenangan pemerintah daerah. Pilkada juga diselenggarakan dalam asas luber, jurdil, dan demokratis, seperti halnya penyelenggaraan pemilu.

Momentum untuk mengodifikasi UU Pemilu semakin kuat setelah putusan MK No 14/PUU-XI/2013 pada 23 Januari 2014. Putusan ini menyatakan, pemisahan pemilu presiden dan pemilu legislatif tidak konstitusional dan memerintahkan pelaksanaan pemilu serentak pada 2019.

Hal ini memengaruhi pergeseran kerangka hukum pemilu di Indonesia. Karena itu, urgensi untuk menetapkan sebuah UU baru sebagai landasan hukum bagi pemilu serentak nasional pada 2019 adalah waktu yang tepat untuk mengkaji, memperbarui, serta mengodifikasi empat UU pemilu menjadi satu UU pemilu.

Kodifikasi atau penyatuan dalam satu naskah UU sebagai sebuah teknik legislasi terinspirasi oleh tiga prinsip utama: sederhana, koheren, dan lengkap. Idealnya, kodifikasi menjadi cara terbaik untuk mencapai ketiga prinsip tersebut.

Maka itu, seharusnya kodifikasi dapat menyederhanakan sistem hukum dan menjamin perlindungan hak-hak individu yang lebih baik. Sebuah sistem hukum yang terkodifikasi idealnya akan mengatasi masalah, seperti konflik antaraturan yang berbeda, opini berdasar doktrin, dan tidak seragamnya putusan pengadilan.

Dengan memperkenalkan cara baru untuk membuat dan menyusun ketentuan hukum pemilu, ini mewakili titik balik dalam metode pengaturan lewat UU. Dalam pandangan internasional, di negara yang memiliki kecenderungan memperbarui hukum pemilu pada tiap siklus pemilu atau secara berkala sesuai agenda legislasi, kodifikasi akan menjaga konsistensi selama proses pembaruan.

Setelah hukum yang terkodifikasi berlaku, proses kajian dan pembaruan dapat menjadi lebih mudah dan tidak berisiko membuat kerangka hukum menjadi lemah. Namun, meski kodifikasi dianggap sebagai cara terbaik untuk mengatasi masalah di atas, UU Pemilu yang terkodifikasi juga tak bisa dikatakan pasti memberikan jaminan penyelenggaraan pemilu yang lebih baik atau lebih dianjurkan dibandingkan UU Pemilu yang terpisah. Di beberapa negara, proses pemilu yang diatur oleh beberapa UU dapat dilaksanakan dengan baik dan tidak melanggar penerapan UU tersebut.

Dalam menghadapi pemilu serentak nasional pada 2019 dan pilkada serentak pada 2027, satu UU yang mengatur proses pemilu akan membantu perencanaan yang lebih baik dan penerapan yang terintegrasi dalam pemilu. KPU akan lebih mudah dalam menyelenggarakan pemilu, dan peserta pemilu akan lebih mudah memahami dan memprediksi peraturan di dalam satu UU.

Sekarang, kita sudah di akhir 2015, sudah saatnya DPR dan pemerintah bergegas menyiapkan segalanya. Sebab, UU Pemilu inilah yang akan mengatur hajat hidup kontestasi mereka.

Belajar dari pengalaman Pemilu 2014, UU Pemilu harus sudah siap penyusunannya sekurang-kurangnya dua tahun sebelum tahapan pemilu dimulai. Artinya, paling lambat April 2017 UU Pemilu untuk pemilu serentak tahun 2019 harus sudah disahkan oleh DPR bersama pemerintah.

Karena itu, di tengah momentum penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016, DPR dan pemerintah semestinya segera memasukkan kodifikasi hukum pemilu dalam satu naskah UU Pemilu sebagai prioritas legislasi untuk Prolegnas 2016. Harapannya, awal 2016, pembahasan UU Pemilu ini bisa segera dimulai oleh DPR bersama pemerintah.

Jangan sampai di Pemilu 2019 kita kembali mengalami kerangka hukum pemilu yang tambal sulam.

Titi Anggraini
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

Kaum Muda dan Kesadaran Sejarah


KORAN REPUBLIKA, Selasa, 27 Oktober 2015, 14:00 WIB
 
Adalah kenyataan sejarah bahwa lintasan dan momentum sejarah perjuangan bangsa senantiasa dipelopori oleh kaum muda. Sejarah Indonesia modern mencatat, gagasan besar dan tindakan heroik dilontarkan dan dilakukan oleh kaum muda. Formulasi gagasan dan wujud konkret gerakan kaum muda yang fenomenal terdokumentasi sangat heroik dan apik dalam kebulatan tekad sebagai sebuah bangsa yang baru bertajuk "Sumpah  Pemuda".

Peristiwa Sumpah Pemuda yang dikumandangkan pada 1928 menjadi tonggak sejarah baru dalam perjalanan sejarah bangsa. Peristiwa ini menandai suatu fase di mana proses integrasi bangsa menjadi lebih nyata yang ditandai dalam suatu ikrar kebulatan tekad sebagai sebuah bangsa. Peristiwa ini adalah klimaks dari pencarian identitas baru yang telah bermula sejak awal abad 20 dan manifestasi puncak dari peranan kaum muda sebagai aktor sejarah.

Tidak hanya itu, momentum ini sekaligus jawaban terhadap praktik kolonialisme Belanda yang melakukan politik ekspansi ke seluruh wilayah Nusantara yang kemudian menjelma Hindia Belanda. Dengan kata lain, Sumpah Pemuda adalah aktualisasi gagasan nasionalisme vis a vis kolonialisme.

Genealogi Jihad Konstitusi

Koran Republika, Selasa, 27 Oktober 2015
 
Muhammadiyah merupakan organisasi Islam besar di Indonesia yang punya sejarah panjang dalam kehidupan sosial dan politik nasional. Dalam sejarahnya yang sudah lebih dari satu abad di bumi Nusantara, Muhammadiyah sedikit banyak berinteraksi dengan institusi politik formal, baik itu partai politik, pemerintah, parlemen, dan institusi peradilan.

Dalam kaitan berinteraksi dengan institusi negara, Saud El Hujaj membagi dalam tiga model. Pertama, Muhammadiyah tidak ikut campur perpolitikan negara seperti pada masa Hindia Belanda. Muhammadiyah bukan agen negara dan bukan musuh negara.