KORAN REPUBLIKA, Senin, 26 Oktober 2015, 13:00 WIB
Banyak masalah penerapan hukum pemilu di Indonesia muncul akibat
konstruksi kerangka hukum pemilu yang kurang kokoh dan terpisah-pisah.
Proses pemilu nasional di Indonesia diatur dalam tiga undang-undang: UU
Penyelenggara Pemilu; UU Pemilu DPR, DPD, dan DPRD; serta UU Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden.
Selain itu, penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah diatur oleh UU No 1 Tahun 2015 jo UU No 8 Tahun
2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Pilkada
sebelumnya diatur oleh UU Pemerintahan Daerah dan kemudian dipisahkan
pada 2014 setelah beberapa kali perubahan.
Semua UU ini telah
mengalami banyak uji materi dan perubahan secara terpisah setiap siklus
pemilihan akan dimulai. Ditambah lagi, pendekatan ad hoc dalam perubahan
hukum mengakibatkan hukum menjadi tidak tetap dan tidak ada harmonisasi
di setiap UU.
Kondisi ini cenderung semakin parah dan sering
kali mengakibatkan ketidakjelasan prosedur hukum bagi penyelenggara
pemilu. Belum lagi, tumpang tindih dan kontradiksi antarketentuan UU,
inkonsistensi hukuman dan persyaratan, dan kekosongan hukum yang
menyebabkan ketidakpastian penyelenggaraan.
Seharusnya,
kerangka hukum pemilu yang ada mampu memberikan ruang bagi penyelenggara
pemilu untuk membangun panduan teknis dalam bentuk peraturan secara
mudah dan tidak ambigu. Kerangka hukum yang lemah dapat menyebabkan
kebingungan bagi pemangku kepentingan dalam menafsirkan prosedur pemilu.
Fakta di atas telah mendorong wacana untuk mengkaji dan memperbarui UU
Pemilu serta menyatukan berbagai UU itu menjadi satu UU Pemilu. Ini
tindakan fundamental yang dapat mengatasi permasalahan kerangka hukum
pemilu di Indonesia, baik di tingkat UU maupun peraturan teknisnya.
Namun, tampaknya para pembuat kebijakan cuma mau mengodifikasi dua UU
Pemilu, yaitu UU Pemilu Presiden dan UU Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Hal
ini dikarenakan masih adanya perdebatan mengenai posisi pilkada yang
tidak berada di bawah rezim pemilu nasional serta argumen yang
mengatakan UU Penyelenggara Pemilu harus berdiri sendiri.
Selain adanya pandangan dari Kemendagri sebelumnya bahwa karena upaya
desentralisasi, UU, dan isu pilkada harus dibuat terpisah dari UU yang
mengatur pemilu nasional. Pandangan ini mengabaikan fakta
penyelenggaraan pilkada juga ada di bawah tanggung jawab KPU dan tidak
melanggar kewenangan pemerintah daerah. Pilkada juga diselenggarakan
dalam asas luber, jurdil, dan demokratis, seperti halnya penyelenggaraan
pemilu.
Momentum untuk mengodifikasi UU Pemilu semakin kuat
setelah putusan MK No 14/PUU-XI/2013 pada 23 Januari 2014. Putusan ini
menyatakan, pemisahan pemilu presiden dan pemilu legislatif tidak
konstitusional dan memerintahkan pelaksanaan pemilu serentak pada 2019.
Hal ini memengaruhi pergeseran kerangka hukum pemilu di Indonesia.
Karena itu, urgensi untuk menetapkan sebuah UU baru sebagai landasan
hukum bagi pemilu serentak nasional pada 2019 adalah waktu yang tepat
untuk mengkaji, memperbarui, serta mengodifikasi empat UU pemilu menjadi
satu UU pemilu.
Kodifikasi atau penyatuan dalam satu naskah UU
sebagai sebuah teknik legislasi terinspirasi oleh tiga prinsip utama:
sederhana, koheren, dan lengkap. Idealnya, kodifikasi menjadi cara
terbaik untuk mencapai ketiga prinsip tersebut.
Maka itu,
seharusnya kodifikasi dapat menyederhanakan sistem hukum dan menjamin
perlindungan hak-hak individu yang lebih baik. Sebuah sistem hukum yang
terkodifikasi idealnya akan mengatasi masalah, seperti konflik
antaraturan yang berbeda, opini berdasar doktrin, dan tidak seragamnya
putusan pengadilan.
Dengan memperkenalkan cara baru untuk
membuat dan menyusun ketentuan hukum pemilu, ini mewakili titik balik
dalam metode pengaturan lewat UU. Dalam pandangan internasional, di
negara yang memiliki kecenderungan memperbarui hukum pemilu pada tiap
siklus pemilu atau secara berkala sesuai agenda legislasi, kodifikasi
akan menjaga konsistensi selama proses pembaruan.
Setelah hukum
yang terkodifikasi berlaku, proses kajian dan pembaruan dapat menjadi
lebih mudah dan tidak berisiko membuat kerangka hukum menjadi lemah.
Namun, meski kodifikasi dianggap sebagai cara terbaik untuk mengatasi
masalah di atas, UU Pemilu yang terkodifikasi juga tak bisa dikatakan
pasti memberikan jaminan penyelenggaraan pemilu yang lebih baik atau
lebih dianjurkan dibandingkan UU Pemilu yang terpisah. Di beberapa
negara, proses pemilu yang diatur oleh beberapa UU dapat dilaksanakan
dengan baik dan tidak melanggar penerapan UU tersebut.
Dalam
menghadapi pemilu serentak nasional pada 2019 dan pilkada serentak pada
2027, satu UU yang mengatur proses pemilu akan membantu perencanaan yang
lebih baik dan penerapan yang terintegrasi dalam pemilu. KPU akan lebih
mudah dalam menyelenggarakan pemilu, dan peserta pemilu akan lebih
mudah memahami dan memprediksi peraturan di dalam satu UU.
Sekarang, kita sudah di akhir 2015, sudah saatnya DPR dan pemerintah
bergegas menyiapkan segalanya. Sebab, UU Pemilu inilah yang akan
mengatur hajat hidup kontestasi mereka.
Belajar dari pengalaman
Pemilu 2014, UU Pemilu harus sudah siap penyusunannya
sekurang-kurangnya dua tahun sebelum tahapan pemilu dimulai. Artinya,
paling lambat April 2017 UU Pemilu untuk pemilu serentak tahun 2019
harus sudah disahkan oleh DPR bersama pemerintah.
Karena itu,
di tengah momentum penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
2016, DPR dan pemerintah semestinya segera memasukkan kodifikasi hukum
pemilu dalam satu naskah UU Pemilu sebagai prioritas legislasi untuk
Prolegnas 2016. Harapannya, awal 2016, pembahasan UU Pemilu ini bisa
segera dimulai oleh DPR bersama pemerintah.
Jangan sampai di Pemilu 2019 kita kembali mengalami kerangka hukum pemilu yang tambal sulam.
Titi Anggraini
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)