Wednesday, October 28, 2015

Kodifikasi Hukum Pemilu


KORAN REPUBLIKA, Senin, 26 Oktober 2015, 13:00 WIB
 
Banyak masalah penerapan hukum pemilu di Indonesia muncul akibat konstruksi kerangka hukum pemilu yang kurang kokoh dan terpisah-pisah. Proses pemilu nasional di Indonesia diatur dalam tiga undang-undang: UU Penyelenggara Pemilu; UU Pemilu DPR, DPD, dan DPRD; serta UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Selain itu, penyelenggaraan pemilihan kepala daerah diatur oleh UU No 1 Tahun 2015 jo UU No 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Pilkada sebelumnya diatur oleh UU Pemerintahan Daerah dan kemudian dipisahkan pada 2014 setelah beberapa kali perubahan.

Semua UU ini telah mengalami banyak uji materi dan perubahan secara terpisah setiap siklus pemilihan akan dimulai. Ditambah lagi, pendekatan ad hoc dalam perubahan hukum mengakibatkan hukum menjadi tidak tetap dan tidak ada harmonisasi di setiap UU.

Kondisi ini cenderung semakin parah dan sering kali mengakibatkan ketidakjelasan prosedur hukum bagi penyelenggara pemilu. Belum lagi, tumpang tindih dan kontradiksi antarketentuan UU, inkonsistensi hukuman dan persyaratan, dan kekosongan hukum yang menyebabkan ketidakpastian penyelenggaraan.

Seharusnya, kerangka hukum pemilu yang ada mampu memberikan ruang bagi penyelenggara pemilu untuk membangun panduan teknis dalam bentuk peraturan secara mudah dan tidak ambigu. Kerangka hukum yang lemah dapat menyebabkan kebingungan bagi pemangku kepentingan dalam menafsirkan prosedur pemilu.

Fakta di atas telah mendorong wacana untuk mengkaji dan memperbarui UU Pemilu serta menyatukan berbagai UU itu menjadi satu UU Pemilu. Ini tindakan fundamental yang dapat mengatasi permasalahan kerangka hukum pemilu di Indonesia, baik di tingkat UU maupun peraturan teknisnya.

Namun, tampaknya para pembuat kebijakan cuma mau mengodifikasi dua UU Pemilu, yaitu UU Pemilu Presiden dan UU Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Hal ini dikarenakan masih adanya perdebatan mengenai posisi pilkada yang tidak berada di bawah rezim pemilu nasional serta argumen yang mengatakan UU Penyelenggara Pemilu harus berdiri sendiri.

Selain adanya pandangan dari Kemendagri sebelumnya bahwa karena upaya desentralisasi, UU, dan isu pilkada harus dibuat terpisah dari UU yang mengatur pemilu nasional. Pandangan ini mengabaikan fakta penyelenggaraan pilkada juga ada di bawah tanggung jawab KPU dan tidak melanggar kewenangan pemerintah daerah. Pilkada juga diselenggarakan dalam asas luber, jurdil, dan demokratis, seperti halnya penyelenggaraan pemilu.

Momentum untuk mengodifikasi UU Pemilu semakin kuat setelah putusan MK No 14/PUU-XI/2013 pada 23 Januari 2014. Putusan ini menyatakan, pemisahan pemilu presiden dan pemilu legislatif tidak konstitusional dan memerintahkan pelaksanaan pemilu serentak pada 2019.

Hal ini memengaruhi pergeseran kerangka hukum pemilu di Indonesia. Karena itu, urgensi untuk menetapkan sebuah UU baru sebagai landasan hukum bagi pemilu serentak nasional pada 2019 adalah waktu yang tepat untuk mengkaji, memperbarui, serta mengodifikasi empat UU pemilu menjadi satu UU pemilu.

Kodifikasi atau penyatuan dalam satu naskah UU sebagai sebuah teknik legislasi terinspirasi oleh tiga prinsip utama: sederhana, koheren, dan lengkap. Idealnya, kodifikasi menjadi cara terbaik untuk mencapai ketiga prinsip tersebut.

Maka itu, seharusnya kodifikasi dapat menyederhanakan sistem hukum dan menjamin perlindungan hak-hak individu yang lebih baik. Sebuah sistem hukum yang terkodifikasi idealnya akan mengatasi masalah, seperti konflik antaraturan yang berbeda, opini berdasar doktrin, dan tidak seragamnya putusan pengadilan.

Dengan memperkenalkan cara baru untuk membuat dan menyusun ketentuan hukum pemilu, ini mewakili titik balik dalam metode pengaturan lewat UU. Dalam pandangan internasional, di negara yang memiliki kecenderungan memperbarui hukum pemilu pada tiap siklus pemilu atau secara berkala sesuai agenda legislasi, kodifikasi akan menjaga konsistensi selama proses pembaruan.

Setelah hukum yang terkodifikasi berlaku, proses kajian dan pembaruan dapat menjadi lebih mudah dan tidak berisiko membuat kerangka hukum menjadi lemah. Namun, meski kodifikasi dianggap sebagai cara terbaik untuk mengatasi masalah di atas, UU Pemilu yang terkodifikasi juga tak bisa dikatakan pasti memberikan jaminan penyelenggaraan pemilu yang lebih baik atau lebih dianjurkan dibandingkan UU Pemilu yang terpisah. Di beberapa negara, proses pemilu yang diatur oleh beberapa UU dapat dilaksanakan dengan baik dan tidak melanggar penerapan UU tersebut.

Dalam menghadapi pemilu serentak nasional pada 2019 dan pilkada serentak pada 2027, satu UU yang mengatur proses pemilu akan membantu perencanaan yang lebih baik dan penerapan yang terintegrasi dalam pemilu. KPU akan lebih mudah dalam menyelenggarakan pemilu, dan peserta pemilu akan lebih mudah memahami dan memprediksi peraturan di dalam satu UU.

Sekarang, kita sudah di akhir 2015, sudah saatnya DPR dan pemerintah bergegas menyiapkan segalanya. Sebab, UU Pemilu inilah yang akan mengatur hajat hidup kontestasi mereka.

Belajar dari pengalaman Pemilu 2014, UU Pemilu harus sudah siap penyusunannya sekurang-kurangnya dua tahun sebelum tahapan pemilu dimulai. Artinya, paling lambat April 2017 UU Pemilu untuk pemilu serentak tahun 2019 harus sudah disahkan oleh DPR bersama pemerintah.

Karena itu, di tengah momentum penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016, DPR dan pemerintah semestinya segera memasukkan kodifikasi hukum pemilu dalam satu naskah UU Pemilu sebagai prioritas legislasi untuk Prolegnas 2016. Harapannya, awal 2016, pembahasan UU Pemilu ini bisa segera dimulai oleh DPR bersama pemerintah.

Jangan sampai di Pemilu 2019 kita kembali mengalami kerangka hukum pemilu yang tambal sulam.

Titi Anggraini
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

No comments:

Post a Comment