KOMPAS Cetak |
Genap setahun pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla, revolusi mental yang dicanangkan dalam Nawacita dan
dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 tampaknya
belum dapat dinilai keberhasilannya.
Revolusi
mental memang harus dimulai dari penyelenggara negara: politikus,
penegak hukum, dan pejabat birokrasi. Karena itu, tulisan ini akan
berfokus pada revolusi mental birokrasi dan mengurai persoalan dasar
dalam model mental dan budaya birokrasi kita.
Model mental birokrasi
Mengapa
revolusi mental selayaknya harus dimulai dari biro- krasi? Karena
birokrasi adalah alat negara yang sehari-hari menjalankan pelayanan,
pemerintahan, dan pembangunan. Karena peran dan fungsinya, birokrasi
akan jadi tolok ukur terdepan penampilan negara kepada rakyatnya. Sikap
mental birokrasi yang bersih, melayani dengan profesional tentu akan
meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada negara. Sebaliknya akan
terjadi. Jika birokrasi dipandang korup, pilih kasih, dan tak bisa
diandalkan, akan muncul ketidakpercayaan masyarakat kepada negara.
Kepercayaan masyarakat kepada negara sangat penting dan krusial dalam
perubahan model mental masyarakat keseluruhan.
Untuk melakukan
revolusi mental birokrasi, harus diketahui dan dipahami terlebih dulu
beberapa nilai dasar yang saat ini eksis dalam birokrasi kita. Pertama,
nilai dasar orientasi keku- asaan. Sejarah kolonialisme dan kooptasi
birokrasi oleh politik yang masif telah menyebabkan terbentuknya budaya
kekuasaan. Budaya ini dicirikan dominannya pola pikir dan orientasi para
birokrat pada jabatan dan otoritas, budaya minta dilayani, afiliasi
kepada kekuasaan politik, serta ketiadaan sensivitas atas kebutuhan dan
pelayanan kepada masyarakat. Budaya kekuasaan dalam birokrasi ini
terutama terbentuk dari proses perekrutan dan penempatan jabatan yang
tertutup, tak berbasis kompetensi dan kinerja; melainkan kedekatan
hubungan baik politik, kekerabatan, kekeluargaan, dan kemampuan bayar.
Nilai
dasar kedua dalam birokrasi Indonesia adalah orientasi pada peraturan
perundang-undangan. Para birokrat di Indonesia selalu mendasarkan diri
pada berbagai peraturan perundang-undangan dalam melaksanakan tugas. Ini
menyebabkan kepatuhan yang berlebihan, hilangnya daya kritis, tumpulnya
daya nalar dan inovasi, serta lemahnya kreativitas.
Ketiga,
nilai dasar ego sektoral yang tinggi. Indonesia adalah salah satu negara
yang para biro- kratnya amat mengedepankan kepentingan unitnya,
instansinya, dan sektornya. Mengapa ini bisa terjadi? Ini sebenarnya
dipicu manfaat yang bisa diterima pegawai dan kelompoknya dalam unit
atau instansi dengan tetap bekerja secara sendiri.
Ada semacam
kesulitan mengembangkan budaya berbagi informasi dan kewenangan dalam
menjalankan tugas pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat karena
setiap informasi dan kewenangan berarti hegemoni kekuasaan dan sumber
penghasilan tambahan pegawainya.
Keempat, secara mental
birokrasi, Indonesia adalah korup. Meski sikap mental korup ini produk
dari kelemahan sistem, secara kolektif hal ini mengganggu jalannya
pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Berbagai upaya membangun
akuntabilitas publik kerap sangat formal administratif, bukan dibangun
suatu kesadaran terhadap amanah dan tanggung jawab jabatan. Kejujuran,
tanggung jawab, dan disiplin rusak oleh sikap mental dan sistem korup.
Kelima,
belum terbangunnya nilai budaya kinerja. Banyak sekali program dan
kegiatan yang diadakan dan dilaksanakan birokrasi yang tak memiliki
sasaran strategis, indikator kinerja, dan target kinerja yang jelas.
Membangun nilai dasar
Keseluruhan
model mental birokrasi itu, sesuai dengan penyebabnya, sistemik dan
mengakar. Karena itu, perbaikan yang dilakukan harus menyentuh perubahan
sistem dan nilai dasar. Pada prinsipnya, revolusi mental birokrasi
merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam reformasi administrasi.
Caiden (1969) menyebutnya reformasi budaya.
Sebagaimana prinsip
reformasi administrasi, komitmen dan keteladanan pemimpin secara
kolektif akan jadi syarat dasar keberhasilan. Perubahan model mental
butuh contoh keteladanan pemimpin. Dalam konteks birokrasi Indonesia
yang amat bersifat patronase, sebenarnya revolusi mental lebih mudah
dilakukan jika para pemimpin-baik politikus maupun pejabat senior
birokrasi-memberi contoh dalam ucapan, sikap, pikiran, dan perbuatan.
Acap kali masalahnya justru terletak pada ketidakhadiran keteladanan
pemimpin.
Revolusi mental harus dimulai dengan menentukan nilai
dasar yang akan dicapai. Sampai saat ini pemerintah belum menentukan
nilai dasar itu. Ketiadaan nilai dasar ini membuat kegamangan semua
pihak dalam birokrasi pemerintahan tentang apa dan bagaimana revolusi
mental birokrasi harus dilakukan. Kerap hal ini dibicarakan dan menjadi
jargon pidato para pejabat publik, tetapi tak menemui praktik
implementasinya.
Tak sedikit pula konsep ini menimbulkan mispersepsi dan misinterpretasi (Kesowo, Kompas,
20/10). Penulis mengusulkan kepada pemerintah menetapkan nilai dasar
yang akan dicapai berdasarkan model mental yang eksis: kejujuran,
kedisiplinan, tanggung jawab, dan orientasi kinerja. Setiap nilai dasar
itu harus diturunkan dalam perilaku dan sikap yang mencerminkannya,
serta disusun suatu rencana aksi melakukan internalisasi. Salah satu
rencana aksi yang mungkin dilakukan: membentuk sekolah kader aparatur
sipil negara, mengubah kurikulum diklat jabatan pemimpin tinggi, serta
mempersiapkan agen pengubah mental di setiap instansi.
Revolusi
mental harus dilaku- kan melalui perubahan sistem. Perubahan ini
ditujukan untuk membangun kompetisi dan keterbukaan dalam birokrasi.
Tradisi urut kacang dan senioritas dalam pengisian jabatan harus diubah
dengan sistem promosi yang kompetitif dan terbuka berbasis kompetensi,
sebagaimana mandat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara. Sistem manajemen kinerja harus diterapkan dari tingkat
organisasi, unit, hingga tingkat individu, dengan indikator dan target
kinerja yang jelas dan terukur. Capaian kinerja ini harus terhubung
dengan promosi jabatan, kenaikan kompensasi, dan kesempatan
pengembangan diri.
Untuk mencegah berkembangnya sikap mental
pencari rente dan ego sektoral, pemanfaatan teknologi-terutama teknologi
informasi dan komunikasi-menjadi suatu keniscayaan. Keterbukaan
informasi publik akan memaksa birokrasi: transparan dan akuntabel.
Teknologi informasi dan komunikasi akan membantu terbentuknya budaya
berbagi data dan informasi di antara instansi pemerintah dalam
pengambilan keputusan.
Yang tidak kalah penting ialah bahwa
revolusi mental juga harus didukung oleh sistem pengawasan internal
pemerintah yang kuat. Tidak saja pengawasan terhadap kepatuhan hukum dan
kinerja, tetapi juga terhadap kode etik, kode perilaku, dan integritas
birokrat.
Untuk menjaga semua itu, birokrasi harus berpindah, hijrah, dari orientasi kewenangan kepada orientasi pengetahuan.
Kebijaksanaan hanya akan ada dalam praktik. Semoga.
Eko Prasojo
Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Oktober 2015, di halaman 7 dengan judul "Revolusi Mental Birokrasi".
No comments:
Post a Comment