Sejak nomenklatur peternakan rakyat tidak lagi tercantum dalam UU No 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, nasib dan masa depan peternakan rakyat kian suram. Apakah ini dampak globalisasi perdagangan? Siapa yang efisien dia yang akan bertahan, yang tidak efisien akan tersingkir dengan sendirinya.
Sementara ini, kita sangat paham bahwa di negeri ini, hampir di seluruh komoditas ternak, didominasi usaha peternakan rakyat. Misalnya, lebih dari 90 persen usaha peternakan sapi dan kerbau, unggas lokal, dan domba ataupun kambing dikuasai peternak rakyat. Sementara yang menurun drastis adalah usaha peternakan ayam ras.
Menurut Pataka (2016), dalam 10 tahun terakhir bisnis usaha peternakan ayam ras kian lesu. Pada 2006, peternakan rakyatmenguasai 70 persen pangsa pasar unggas nasional. Namun, pada tahun ini, porsi peternakan rakyat tinggal 18 persen. Tidak sedikit usaha peternak skala usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) ini bangkrut.
Usaha peternakan rakyat di negeri ini sebagian besar masih bersifat subsisten dengan ciri skala usahanya yang kecil, tidak ekonomis, dilakukan dengan cara tradisional dan teknologi sederhana. Pada umumnya, ternak merupakan aset hidup bukan komoditas bisnis, melainkan lebih berfungsi sebagai status sosial, atau juga merupakan sumber tenaga kerja dalam tata kehidupan masyarakat peternak.
Harian Kompas (Jumat, 13/1) menurunkan dua tulisan menarik di halaman yang sama. Pertama, tajuk rencana berjudul ”Ekspor mineral masih diperbolehkan”. Kedua, opini Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berjudul ”Efektivitas APBN”.
Tulisan pertama menunjukkan dilema larangan ekspor mineral seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Lalu, baru saja terbit Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 sebagai revisi dari PP No 1/2014. Intinya adalah merelaksasi larangan ekspor mineral tertentu dari semula dua tahun menjadi lima tahun. Alasannya, larangan ekspor belum siap dilaksanakan saat ini.
Jika dipaksakan, larangan itu dikhawatirkan berimplikasi buruk terhadap perekonomian. Pertama, ekspor akan menurun sehingga memukul penerimaan fiskal. Kedua, dampaknya pada perekonomian daerah bisa sangat buruk karena berisiko menciptakan pengangguran akibat tutupnya perusahaan pertambangan. Harus diakui, dalam hal ini posisi PT Freeport Indonesia seakan diistimewakan. Menurut data korporasi, pada akhir 2015 Freeport Indonesia memiliki sekitar 12.000 pekerja langsung. Jika dihitung dengan semua kontraktor, ada sekitar 32.000 karyawan. Sepanjang 2015, Freeport Indonesia menyumbang dividen kepada pemerintah daerah sekitar 368 juta dollar AS. Sementara manfaat tak langsung yang meliputi gaji karyawan, pembelian dalam negeri, pengembangan masyarakat, pembangunan daerah, dan investasi dalam negeri mencapai 3 miliar dollar AS.
Bisa dibayangkan jika perusahaan ini mengalami guncangan. Dampaknya pada penerimaan pemerintah daerah dan implikasinya pada perekonomian daerah begitu signifikan. Situasi ini tentu tak bisa diterima di tengah pelambatan perekonomian domestik akibat dinamika global yang semakin tak menentu. Kesimpulannya, pemerintah tak punya kemewahan melarang ekspor mineral sekarang ini. Argumen itu dengan elegan diulas dalam opini Menteri Keuangan dengan bertumpu pada narasi tentang sulitnya situasi fiskal kita. Paling tidak, ada dua esensi pokok dari opini Menkeu yang relevan dengan tulisan tajuk. Pertama, melesetnya target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) khususnya penerimaan membuat fiskal kita berada dalam tekanan berat. Kedua, APBN bukan satu-satunya instrumen, melainkan juga diperlukan reformasi (struktural) kelembagaan agar bisa mendongkrak investasi.
Walaupun tidak dikatakan secara eksplisit, korelasinya jelas. Reformasi kelembagaan butuh dukungan fiskal yang kuat. Keduanya bisa bersifat kausalitas sehingga nyaris tak mungkin dimitigasi bersamaan. Implikasi kebijakannya lebih sering bertolak belakang. Melesetnya target APBN harus diikuti dengan langkah konkret menggenjot penerimaan. Salah satunya adalah meningkatkan ekspor dan menjaga agar kinerja sektor swasta tidak menurun. Dalam rangka reformasi struktural diperlukan kebijakan industrial menyeluruh. Salah satu urgensinya adalah membangun basis industri domestik yang kuat dengan implikasi melarang ekspor mineral dan memaksa industri menciptakan nilai tambah di dalam negeri.
Dilema pemerintah
Begitulah dilema yang dihadapi pemerintah sehingga pengambilan keputusan tampak begitu alot. Dalam konstruksi perundangan terjadi kontradiksi antara UU dan aturan turunannya. Di sinilah pemerintah tampak tidak konsisten sehingga membuka ruang kritik begitu lebar. Penerbitan PP No 1/2017 mengenai relaksasi ekspor mineral mesti ditempatkan dalam kerumitan dinamika kontradiktif antara kepentingan jangka pendek dan jangka panjang.
Ketika meminta agar keputusannya dimaklumi, pemerintah tetap wajib menunjukkan langkah mitigasi jangka panjang. Perdebatan tentang ketergantungan terhadap sumber daya alam sudah lama terjadi. Langkah maju sebenarnya sudah tertuang dalam UU No 4/2009. Namun, hingga kini kita masih terkatung-katung dalam ketidakmenentuan arah implementasinya.
Mengurangi ketergantungan sumber daya alam dan mengembangkan nilai tambah industri di dalam negeri adalah sebuah kebijakan industrial yang terasa semakin berat langkahnya belakangan ini. Setelah krisis 1998, kebijakan industrial terasa absen dalam perekonomian kita. Pasalnya, esensi kebijakan industrial sering terjerembab dalam praktik kolusi, mengingat kebijakan ini pada dasarnya adalah soal memilih pemenang. Dalam setiap proses memilih pemenang selalu terjadi transaksi yang berisiko menjadi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Selama puluhan tahun, kita gagal secara konsisten menjalankan kebijakan industrial secara baik. Di era Presiden Joko Widodo arahnya lebih jelas. Namun, ketika menyangkut ekspor mineral, terjadi kompromi yang menunjukkan inkonsistensi. Setelah relaksasi ekspor mineral diputuskan, sekarang perlu dipastikan agar ke depan tak perlu lagi ada berbagai kompromi untuk kepentingan jangka pendek.
A PRASETYANTOKO, EKONOM DI UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Januari 2017, di halaman 15 dengan judul "Ekspor Mineral dan Kebijakan Industrial".
Tahun 2016 merupakan periode yang dinamis dalam pengelolaan fiskal kita. Pemerintah mencoba menargetkan belanja tinggi, Rp 2.080 triliun, yang didu- kung penerimaan pajak yang tinggi pula, Rp 1.539 triliun. Kredibilitas angka-angka ini diragukan, mengingat perekonomian Indonesia dan global masih lesu. Jatuhnya harga minyak dunia ke titik nadir 27 dollar AS per barrel pada Februari 2016 sebenarnya sudah mengindikasikan lesunya perekonomian global. Bagi Indonesia, hal ini kian mencekam karena menyeret harga komoditas, terutama batubara.
Namun, pemerintah tidak menyerah dan mencanangkan program pengampunan pajak yang dimulai pada Juli 2016. Selain untuk memperkuat basis pajak, program ini juga bisa menaikkan penerimaan pajak secara instan. Program pengampunan pajak menunjukkan tanda-tanda keberhasilan. Pada akhir periode II (31 Desember 2016), deklarasi harta mencapai Rp 4.296 triliun, uang tebusan (penerimaan pajak) Rp 103 triliun, dan repatriasi Rp 141 triliun (sekitar 10 miliar dollar AS). Sebagai perbandingan, aset total perbankan kita saat ini Rp 6.400 triliun dan cadangan devisa 111 miliar dollar AS. Dengan demikian, pengampunan pajak cukup signifikan dan bisa disebut sukses.
Namun, keberhasilan ini belum mampu menyelamatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016. Realisasi pajak Rp 1.283 triliun tetap meleset (shortfall) Rp 255 triliun dari target. Sementara defisit APBN mencapai Rp 307 triliun. Berita bagusnya, defisit itu setara dengan 2,46 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), atau lebih baik daripada ekspektasi Menteri Keuangan sebesar 2,7 persen.
Pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi sebenarnya baru merupakan instrumen. Esensi tujuan pembangunan adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, ketersediaan lapangan kerja bagi seluruh masyarakat menjadi prioritas yang jauh lebih penting. Logikanya, dengan pertumbuhan yang tinggi, peluang menciptakan lapangan kerja akan lebih besar. Namun, hal ini akan menjadi masalah ketika pertumbuhan ekonomi lebih didominasi sektor padat modal daripada padat karya.
Hingga triwulan III-2016, pertumbuhan sektor yang menjadi tumpuan sumber pendapatan masyarakat justru menurun. Sektor pertanian dan sektor industri hanya tumbuh 2,67 persen dan 4,61 persen dalam setahun. Padahal, sektor pertanian masih menjadi penyumbang lapangan kerja terbesar. Berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2016, penduduk yang menggantungkan sumber nafkah dari sektor pertanian 37,77 juta orang atau sekitar 32 persen. Sementara seiring dengan deindustrialisasi, sektor industri hanya mampu menyerap 15,54 juta orang. Kontribusi sektor manufaktur digeser sektor perdagangan yang mencapai 26,69 juta orang.
Secara statistik, peningkatan peran sektor perdagangan dalam menyediakan lapangan kerja tentu berdampak positif terhadap penurunan angka pengangguran terbuka. Sayangnya, jumlah tersebut lebih banyak di sektor informal, seperti menjadi pedagang asongan dan jasa ojek. Di Indonesia, pekerja sektor informal masih 57,6 persen dari keseluruhan pekerja. Wajar jika pekerja yang bekerja tidak penuh atau bekerja kurang dari 35 jam per minggu masih mencapai 23,26 juta orang atau 19,64 persen. Jika mengikuti standar Organisasi Buruh Internasional (ILO), jumlah tersebut akan tercatat sebagai angka pengangguran.
Kondisi ketenagakerjaan tersebut tentu tidak terlepas dari kualitas tenaga kerja yang 60 persen tamatan sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) ke bawah. Jumlah tersebut termasuk yang tidak tamat sekolah dasar (SD) dan tidak pernah sekolah sama sekali. Konsekuensinya, kendati investasi masuk ke Indonesia, terutama investasi sektor jasa, itu tidak akan mampu diakses pekerja. Sektor jasa dan industri manufaktur yang berteknologi tinggi memerlukan tenaga kerja terampil dan memiliki keahlian tertentu.
Jika tidak ada gunting pemutus dalam kondisi tersebut, lingkaran setan dalam ketenagakerjaan di Indonesia tidak akan berakhir. Bonus demografi yang dijejali kualitas tenaga kerja rendah justru berpotensi menjadi sumber permasalahan daripada modal pembangunan.
Sudah lebih dari delapan tahun sejak krisis merebak, perekonomian global terus mengalami stagnasi akut. Akhir tahun ini, suasana perekonomian, baik global maupun domestik, sama-sama tak menggairahkan. Bahkan, pada 2017, proyeksinya semakin tak menentu. Kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, beberapa waktu lalu, meskipun sudah diantisipasi sebelumnya, tetap saja memunculkan risiko, khususnya bagi negara berkembang seperti Indonesia.
Dalam suasana global yang lesu, proyeksi pertumbuhan ekonomi domestik pun melemah. Bank Indonesia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dari 5,1-5,5 persen menjadi 5-5,4 persen. Bahkan, pemerintah pada Agustus lalu sudah terlebih dulu menurunkan asumsi pertumbuhan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2017 dari 5,3 persen menjadi 5,1 persen.
Adanya mayoritas diam (silent majority) telah cukup lama menjadi perhatian sekaligus sasaran kritik kalangan aktivis dan Indonesianis. Fenomena ini terkait dengan kenyataan, diamnya warga mayoritas menimbulkan banyak dampak negatif terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam konteks itu, pernyataan Megawati Soekarnoputri tentang silent majority dalam peringatan hari lahir ke-44 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Selasa (10/1) pekan lalu, sangat tepat waktu dan perlu. Megawati dalam pidatonya yang oratoris mengimbau, sudah saatnya silent majority bersuara dan menggalang kekuatan untuk mempertahankan NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Megawati melihat, NKRI dalam kesulitan. Salah satu kesulitan itu adalah memelihara keutuhan eksistensi negara-bangsa (nation- state) Indonesia. Dengan mengisyaratkan bahaya diamnya mayoritas, Megawati percaya, ”mayoritas rakyat Indonesia mencintai NKRI yang ber-Bhinneka Tunggal Ika”.