Thursday, September 24, 2015

Jiwa Merdeka



Usia republik yang tak terasa sudah 70 tahun seharusnya menjadikannya cukup dewasa dalam mengarungi samudrakehidupan berbangsa dan bernegara.
Memang benar kita berhasil melewati badai topan dengan kekuatan Pancasila—rumusan para pendiri negara yang terbukti melampaui zamannya—dan menjadi perekat keutuhan bangsa. Namun, pada usia yang seharusnya sudah membawa kita semakin aktual sebagai bangsa, justru muncul kecenderungan pragmatisme politik seperti ungkapan do ut des.
Do ut des mengandung pengertian bahwa kita memberikan sesuatu kepada orang lain karena mengharapkan orang lain pun memberikan sesuatu untuk kita. Dengan kata lain, kita memberikan sesuatu kepada orang lain karena mengharapkan imbalan tertentu. Motif yang terkenal dengan ungkapan ”ada udang di balik batu”.
Do ut des tidak saja terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, tetapi juga merasuki kehidupan perpolitikan negeri ini. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa praktik perpolitikan negeri ini sudah keluar dari hakikat politik itu sendiri, yakni mengurus segala sesuatu untuk kepentingan banyak orang. Politik yang hakiki adalah memperjuangkan kebaikan umum. Sayang, politik kita menjadi medan do ut des.
Wajah gelap

Tiongkok, AS, dan Kita

J Soedradjad Djiwandono


Negara-negara dengan ekonomi yang berkembang (emerging markets/EM), termasuk Indonesia, sedang menghadapi tantangan eksternal yang tidak ringan, selain masalah domestik masing-masing.
Seperti sudah banyak disebutkan, kendala eksternal menyangkut dua area: menurunnya harga komoditas atau berakhirnya boom komoditas di sektor riil dan berakhirnya era likuiditas berlimpah di sektor moneter-keuangan. Kendala-kendala itu dipertajam oleh pengelolaan ekonomi-keuangan negara-negara besar dan maju yang kadang membingungkan, tidak mendukung terciptanya kestabilan. Dalam pada itu, hubungan saling ketergantungan menyangkut pula dampak balik perkembangan negara berkembang kepada negara-negara maju, menghambat pemulihan dari resesi yang belum tuntas dengan risiko kembali pada resesi akbar sehabis krisis keuangan dunia.

Polisi, "Ojo Dumeh"



Polisi ojo dumeh, ojo rumongso biso, nanging biso rumongso (polisi jangan sok, jangan merasa bisa, tetapi bisalah merasakan). Merasakan dalam arti tidak meremehkan orang ataupun lingkungannya. Demikian pepatah Jawa mengingatkan.
Setelah Kepala Bareskrim Komjen Suhardi Alius diganti oleh Komjen Budi Waseso, panggung media banyak diwarnai oleh "aksi kepolisian". Penangkapan demi penangkapan dilakukan terhadap koruptor, juga terhadap bandar narkotik, terorisme, membongkar kasus pembunuhan yang menyita perhatian publik, dan sebagainya. Suatu perubahan yang mengesankan dari kemampuan polisi yang semula biasa-biasa saja menjadi progresif dan militan.


Presiden Joko Widodo meminta agar syarat memiliki kemampuan berbahasa Indonesia untuk pekerja asing dihapus. Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan, permintaan Presiden Jokowi itu untuk menggenjot iklim investasi di Indonesia.
"Memang disampaikan secara spesifik oleh Presiden untuk membatalkan persyaratan berbahasa Indonesia bagi pekerja asing di Indonesia," kata Pramono, Jumat, 21 Agustus 2015.
Penghapusan persyaratan kemampuan bahasa Indonesia bagi tenaga kerja asing (TKA) oleh presiden ke-7 RI tersebut jelas merupakan langkah mundur bagi Indonesia. Mengapa demikian? Kita tahu, kini bahasa Indonesia merupakan bahasa yang banyak dipelajari oleh warga ASEAN, juga warga Eropa, Australia, dan Amerika Serikat.

Pertaruhan Jokowi di Beranda Indonesia



Perbatasan suatu negara, bagi seorang pemimpin negara, tak dimungkiri adalah suatu harga diri yang tak dapat dipandang remeh oleh negara lain.
Pasalnya, karena adanya perbatasan itulah, suatu negara memiliki kedaulatan. Karena itu, bisa dimaklumi jika Presiden Joko Widodo, saat sebelum menjadi presiden, dalam acara debat dengan calon presiden Prabowo Subianto kala itu terkesan arogan. "Kita bikin rame," katanya saat itu, terkait tekadnya jika terpilih menjadi presiden, ia akan tanpa ragu melakukan tindakan yang tegas jika kedaulatan RI diancam negara lain.
Meski mengedepankan diplomasi, dia menyatakan siap bertindak jika kedaulatan NKRI diganggu bangsa lain. "Apa pun akan saya lakukan jika kedaulatan kita diganggu, apa pun saya pertaruhkan," katanya saat itu.

Drama Politik Australia


Drama panggung partai politik kembali berlangsung di Australia setelah Tony Abbott dikalahkan oleh Malcolm Turnbull dalam voting internal Partai Liberal pada 14 September dengan hasil perolehan suara 54-44. 
Hasil voting ini mengantarkan Turnbull menjadi pemimpin baru Partai Liberal dan sekaligus menjadi perdana menteri ke-29 Australia menggantikan Tony Abbott yang baru memerintah selama dua tahun. "Kudeta partai" ini sekaligus menambah daftar pergantian kepemimpinan di Australia selama kurun waktu lima tahun terakhir.
Pendahulu Abbott, Kevin Rudd, pernah mengalami hal serupa tahun 2010, dikalahkan penantangnya dari sesama Partai Buruh, Julia Gillard. Pada 2013, Kevin Rudd membalikkan posisi dengan mengalahkan Julia Gillard dalam voting internal Partai Buruh dan kembali memimpin Australia meski hanya singkat. Dalam Pemilu 2013, Partai Buruh akhirnya dikalahkan oleh Partai Liberal yang mengantarkan Tony Abbott menjadi perdana menteri ke-28 Australia.

Sentimen Primordialisme Pilkada

Agustar

Setiap menjelang agenda politik lokal digelar, seperti pemilihan kepala daerah serentak, sentimen primordialisme pun kembali menyubur. Proses rekrutmen elite, misalnya penjaringan calon kepala daerah, selalu dikaitkan dengan semangat reservasi terhadap "putra daerah" (tempatan) dan menolak segala yang berbau "non-putra daerah"
Dikotomi "orang kita" dan "bukan orang kita" diapungkan ke pusaran opini publik. Pada tataran inilah publik sering digiring dan terjebak pada eksklusivisme politik primordial, menafikan semangat pluralisme dan multikulturalisme yang melingkupi atmosfer sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat.
Pengabaian terhadap pluralisme dan multikulturalisme bisa menghambat demokrasi. Karena itu, unsur akomodatif secara inklusif dalam ranah politik elite menjadi kata kunci bagi suksesnya demokratisasi di tingkat lokal. Pengingkaran terhadap aspek-aspek tersebut akan mengaborsi demokrasi yang sedang tumbuh dan berkembang di daerah.

Neotribalisme

Komaruddin Hidayat
Setelah 70 tahun merdeka, bangsa Indonesia perlu membaca ulang moto dan realitas sosial Bhinneka Tunggal Ika, mengingat masyarakat Nusantara berkembang sangat dinamis.
Tulisan ini diinspirasi oleh buku Beyond Tribalism (2012) oleh Celia de Anca, mencoba melihat secara kritis kemunculan komunalisme baru. Istilah tribalisme dalam buku ini dipahami secara netral, positif, merujuk pada ikatan suku, marga, ataupun hubungan darah. Bukan tribalisme dalam konotasi kasar, negatif, tidak beradab. Menurut Celia, sekarang ini di berbagai masyarakat dunia tengah berlangsung proses mengendurnya ikatan sukuisme tradisional.
Jika dahulu individualitas seseorang seakan hilang melebur dalam identitas dan ideologi kesukuan, sekarang seseorang justru berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan dan tekanan kesukuan, lalu membangun komunitas baru dengan mengandalkan kekuatan pribadinya yang ditopang oleh prestasi keilmuan, profesi, dan jejaring sosial baru.

Spirit Kosmopolitanisme Islam

Masdar Hilmy
Tepat pada hari ini, Rabu (23/9), tidak kurang dari 1,4 juta anggota jemaah haji dari penjuru dunia tengah berwukuf di padang Arafah.
Secara leksikal wukuf bermakna berdiam, berhenti, di sebuah tempat. Wukuf adalah bagian dari rukun haji, sebuah ritual wajib dari seluruh rangkaian ibadah haji yang tanpanya ibadah haji seseorang menjadi tak bermakna. Kata Nabi Muhammad SAW, al-hajju ’arafah (inti ibadah haji adalah wukuf di padang Arafah).
Pertanyaannya, pesan esoterik apa yang bisa digali dari ibadah haji, khususnya wukuf di Arafah? Bagaimana agar pesan esoterik tersebut dapat ditransformasikan ke dalam konteks kekinian di tengah meruyaknya spirit parokialisme-kauvinisme keagamaan yang membabi buta? Bagaimana cara mengatasi mengentalnya politik identitas keagamaan yang dimunculkan oleh gerakan-gerakan radikal seperti Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS)? Jawaban terhadap pertanyaan ini terangkum dalam sebuah frasa: kosmopolitanisme Islam!

Negara dalam Deforestasi




Heru Prasetyo
Kompas Cetak | 22 September 2015  
Deforestasi sudah SOS. Diperparah dengan ”penyakit menahun” kabut asap akibat pembakaran hutan dan lahan, kita seperti bukan bangsa pembelajar.
Problem yang menaik sejak awal Orde Baru itu selalu berulang dan kini makin memburuk. Kajian komprehensif Lembaga Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch pada 2001 menyimpulkan, tutupan hutan Indonesia yang pada 1950 masih 162 juta hektar telah menyusut drastis lebih dari separuhnya, yakni menjadi sekitar 98 juta hektar, pada akhir 1990-an.
Bersamanya, turut susut pula harta karun hayati Indonesia yang tiada tepermanai. Bayangkan, Indonesia, yang luas daratannya hanya 1,3 persen dari seluruh daratan dunia, diyakini memiliki 16 persen dari semua jenis burung, 10 persen dari semua jenis mamalia, dan 11 persen dari seluruh spesies tumbuhan di dunia. Posisinya yang menjembatani ekosistem Asia dan Australia—keunikan yang mencengangkan naturalis masyhur asal Britania Raya, Alfred Russel Wallace (1823-1913)—membuat keanekaragaman hayati dan nonhayati Indonesia tiada duanya.

Pengendapan Anggaran




Wahyudi Kumorotomo
Kompas Cetak | 21 September 2015
Di tengah pelambatan ekonomi nasional, berita mengendapnya anggaran publik di daerah tentu kurang menggembirakan.
Data dari Direktorat jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, hingga semester I-2015, baru 25 persen total dana APBD yang dialokasikan. Secara nominal, dana di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota yang belum dialokasikan bagi pembangunan mencapai Rp 255 triliun. Sebagian besar disimpan dalam bentuk giro dan deposito di bank pembangunan daerah ataupun bank komersial.
Dengan asumsi mengendapnya anggaran itu terjadi karena ketakutan kepala daerah dan otoritas anggaran untuk mengalokasikan dana, pemerintah kini tengah merancang produk peraturan anti-kriminalisasi pejabat. Melengkapi UU No 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, tiga produk hukum dalam bentuk peraturan pemerintah, peraturan presiden, atau instruksi presiden tengah disiapkan untuk menjamin agar otoritas anggaran tidak takut mengambil inisiatif kebijakan serta memperlancar alokasi anggaran. Bukan rahasia lagi, banyaknya pejabat daerah yang masuk penjara mendorong aparat "main aman" dengan menghindari posisi sebagai otoritas anggaran atau hanya melakukan alokasi kegiatan rutin, bukan kegiatan pembangunan yang bermanfaat bagi rakyat.

Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030


Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) akan berakhir pada 2015, diganti dengan Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 atau Agenda Pembangunan Pasca 2015 yang berlaku 1 Januari 2016.
Tanggal 25-27 September 2015, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akan menyepakati Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030. Apa tujuan utama Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030? Di manakah posisi Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030 dalam percaturan global?



Renungan Idul Adha
Haedar Nashir                                    
Kompas Cetak,  23 September 2015
Ketika kaum Muslim dari berbagai belahan dunia menunaikan ibadah haji dan berkurban di hari Idul Adha, sejatinya dua ritual Islam itu mengandung nilai terdalam tentang ajaran kepasrahan diri.
Sebuah kepasrahan otentik (al-hanif) yang secara vertikal menjadikan setiap kaum beriman meneguhkan jiwa ketauhidan untuk selalu taat kepada Allah Yang Maha Esa, sekaligus merawat tiap perilaku agar tetap lurus di jalan kebenaran dan tidak terjerembap ke jurang kesalahan.
Insan yang bertauhid akan membenamkan hawa nafsunya pada kehanifan diri, berupa jiwa yang bening dari noda syirik dan dosa. Sumber segala nista di muka bumi ini bermula dari hasrat primitif manusia yang tak terkendali, yang oleh sufi ternama Jalaluddin Rumi disebut ”ibu dari semua berhala”.
Keangkuhan, keserakahan, kesewenangan, korupsi, kebohongan, kekerasan, kebencian, kemunafikan, dan segala wujud tiran adalah pantulan jiwa angkara manusia yang kehilangan sublimasi nilai ketuhanan.Manusia menjelma seolah menjadi tuhan sekaligus hamba dirinya.