Thursday, June 30, 2016

Pancasila dan Desa

OPINI > ARTIKEL > PANCASILA DAN DESA





Desa telah menjadi altar baru dalam gempita pembangunan nasional. Seusai aneka percobaan pembangunan dijalankan dengan hasil yang sebagian mengecewakan, muncul hasrat baru dengan meletakkan desa sebagai sumbu pembangunan. Namun, di sini muncul pertanyaan kritis: jika desa ditunjuk sebagai titik tumpu pembangunan, apakah desa menjadi sekadar lokus pembangunan ataukah filosofi dan kerangka dasar pembangunan juga berubah?

Religiositas ”Bung Besar”


Juni adalah bulan kelahiran Pancasila. Di tangan Bung Karno sebagai penggalinya,Pancasila mendapatkan rohnya yang paripurna.
Tentang hal ini tentu telah mendapatkan telaah memadai. Satu hal yang sering dilupakan adalah kenyataan bahwa Bung Karno merupakanpribadi yang sangat religius dengan pemikiran keagamaan unik yang menarik dijadikan bahan renungan bersama justru di tengah pemikiran dan tindakan keagamaan akhir-akhiryangbanyak bertentangan dengan akal sehat.
Dua hal menjadi lokus nalar keagamaan Bung Besar itu. Pertama,kewajiban menjadikan akal sebagai daulat utama; kedua, keniscayaan memosisikan agama sebagai kekuatan untuk membangun kesadaran anti kolonial.
Imperatif yang pertama, segala bentuk kepatuhan tak beralasan (taklid) tidak saja harus disingkirkan, tetapi juga dipandang sebagai akar kemunduran. Pemuliaan terhadapakal harus menjadi bagiankeinsafan kolektif umat Islam seperti zamanAl-Farabi, Ibnu Sina, Al-Kindi yang sering disebut abad keemasan. ”Kembali kepada kemurnian, tatkala Islam belum dihinggapi kekotorannya seribu satu takhayul.”

Religiositas ”Bung Besar”


Juni adalah bulan kelahiran Pancasila. Di tangan Bung Karno sebagai penggalinya,Pancasila mendapatkan rohnya yang paripurna.
Tentang hal ini tentu telah mendapatkan telaah memadai. Satu hal yang sering dilupakan adalah kenyataan bahwa Bung Karno merupakanpribadi yang sangat religius dengan pemikiran keagamaan unik yang menarik dijadikan bahan renungan bersama justru di tengah pemikiran dan tindakan keagamaan akhir-akhiryangbanyak bertentangan dengan akal sehat.
Dua hal menjadi lokus nalar keagamaan Bung Besar itu. Pertama,kewajiban menjadikan akal sebagai daulat utama; kedua, keniscayaan memosisikan agama sebagai kekuatan untuk membangun kesadaran anti kolonial.
Imperatif yang pertama, segala bentuk kepatuhan tak beralasan (taklid) tidak saja harus disingkirkan, tetapi juga dipandang sebagai akar kemunduran. Pemuliaan terhadapakal harus menjadi bagiankeinsafan kolektif umat Islam seperti zamanAl-Farabi, Ibnu Sina, Al-Kindi yang sering disebut abad keemasan. ”Kembali kepada kemurnian, tatkala Islam belum dihinggapi kekotorannya seribu satu takhayul.”

Darurat Desentralisasi Fungsional

IRFAN RIDWAN MAKSUM

Bulan April adalah bulan otonomi bagi bangsa Indonesia. Catatan terakhir dalam panggung otonomi daerah di Indonesia tergores akibat persoalan merosotnya perekonomian Kota Batam.
DIDIE SW
Menurut sejumlah pihak, kemerosotan terjadi karena perseteruan Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam yang tak kunjung usai mengenai siapa yang lebih berhak mengelola arus perdagangan di kota tersebut. Juga pada titik-titik mana urusan perdagangan di kota tersebut dapat dibagi-bagi antara pemerintah kota dan pihak Otorita Batam.
Perseteruan tersebut menyeruak ke panggung nasional lantaran dampaknya yang besar. Bahkan, sampai-sampai pertumbuhan ekonomi Indonesia menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN dapat terpengaruhi karena pola kebijakan nasional, seperti di Kota Batam dapat terancam. Untuk itu, ”kasus Batam” patut dicermati.

Post-sekularisme

KOMPAS, F BUDI HARDIMAN

Apakah Eropa sedang pulang ke agama? Pertanyaan ini menarik, tidak hanya untuk ilmu politik internasional, tetapi terlebih untuk filsafat politis kontemporer. Rentetan aksi teror Negara Islam Irak dan Suriah dan gelombang pengungsi Suriah ke pusat-pusat peradaban Eropa tidak hanya menyibukkan para politikus dan menggelisahkan warga masyarakat. Tragedi-tragedi kemanusiaan itu juga ikut mengubah lanskap intelektual di negara-negara yang selama ini dikenal sebagai negara-negara sekuler. Konstelasi intelektual baru itu bernama post-sekularisme.
Apa itu post-sekularisme? Bagaimana kita merespons ”isme” yang masih relatif baru ini?

Politik Pendidikan Tinggi

ANALISIS POLITIK

Mau ke mana pendidikan tinggi Indonesia? Pertanyaan ini patut diajukan karena banyak kalangan kampus, pemikir, dan praktisi pendidikan kian pesimistis terhadap masa depan pendidikan tinggi di Tanah Air. Sebab, politik pendidikan tinggi yang kian bertumpu pada birokratisasi, perguruan tinggi Indonesia tidak memiliki arah yang jelas di tengah kian meningkatnya persaingan.
Satu tahun lebih pendidikan tinggi Indonesia dilepas pengelolaannya dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ke kementerian baru bernama Kemenristek dan Dikti. Kementerian baru dalam kabinet pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla ini sederhananya bermaksud lebih memajukan pendidikan tinggi, terlepas dari beban berat dan kerumitan pendidikan dasar dan menengah.

Desa, Tanah, dan Pasar

AHMAD ERANI YUSTIKA

Harian Kompas telah mengoyak empat isu strategis terkait desa dalam sebulan terakhir.
Pertama, penguasaan lahan di desa sudah tidak dalam genggaman warga desa, tetapi dikuasai pemodal kakap di luar desa (kota). Kedua, desa telah menjadi pasar barang/jasa yang mengalir dari kota (juga komoditas impor) sehingga mekanisme pengisapan ekonomi terus terjadi. Ketiga, rantai distribusi/logistik yang amat panjang dianggap pemicu tingginya harga pangan, sehingga koperasi dan/atau badan usaha milik desa (BUMDes) diharapkan punya daya memperpendek rantai tersebut agar inflasi pangan bisa dikendalikan. Keempat, rasio gini di desa turun drastis setahun terakhir ini dari 0,32 (September 2014) menjadi 0,27 (September 2015).
Sebagian menduga penurunan ini karena terjadi pemiskinan massal sehingga yang berlangsung di desa adalah "pemerataan kemiskinan". Sebetulnya keempat isu itu saling bertautan dan punya daya pukul mematikan jika tak diurus sejak sekarang.

Indonesia 2045

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Sudah menjadi hukum sejarah, dunia berikut tatanan kehidupannya akan terus berevolusi. Demikian juga perjalanan suatu bangsa jika bangsa itu lulus menjaga eksistensinya.
Agustus 2015, dalam acara seminar internasional di Universitas Indonesia, saya menyampaikan refleksi kesejarahan "70 Tahun Indonesia Merdeka". Saya kedepankan dinamika dan pasang surut perjalanan bangsa Indonesia sejak 1945, kemudian apa tantangan dan pekerjaan rumah 70 tahun ke depan.
Di awal 2016, saya juga diminta Universitas Udayana, Bali, untuk memberikan kuliah umum "Indonesia 2045" atau "Satu Abad Indonesia Merdeka". Di hadapan segenap sivitas akademika, saya sampaikan bahwa tahun 2045 Indonesia bisa menjadi negara yang lebih maju, kuat, dan sejahtera. Dengan kerja keras dan pertolongan Tuhan, insya Allah Indonesia bisa. Tentu ini tidak datang dari langit dan jalan yang ditempuh tak selalu lunak.

Optimalisasi APBN Perubahan 2016

APUNG WIDADI

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2016 muncul lagi alokasi dana optimalisasi.
Padahal, nomenklatur dana tersebut punya sejarah menjadi bancakan elite, transaksional, disalokasi dan menjadi pintu masuk korupsi. Hal ini bertolak belakang dengan upaya optimalisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) yang ditujukan untuk menggairahkan perekonomian.
Dalam pembahasan asumsi makro dan pendapatan pada RAPBN-P 2016 di Panja DPR, ditetapkan alokasi dana optimalisasi Rp 58,36 triliun. Angka ini berasal dari pembahasan awal dalam asumsi makro Rp 49,9 triliun, ditambah realokasi belanja pemerintah pusat Rp 8,46 triliun. Dana optimalisasi digelontorkan untuk empat alokasi: Rp 22 triliun untuk 21 kementerian dan lembaga (K/L); Rp 7,4 triliun untuk dana alokasi khusus (DAK) fisik; Rp 2,94 triliun untuk DAK umum; dan Rp 16,6 triliun untuk mengurangi margin defisit RAPBN-P 2016. Asumsinya, dengan dana ini, defisit diharapkan berkurang 0,13 persen, dari 2,48 persen terhadap PDB menjadi 2,35 persen.

Mudik, antara Kebutuhan dan Keinginan

SUMBO TINARBUKO

Kapan mudik? Mudik naik apa? Itulah pertanyaan klasik yang muncul jelang Lebaran awal Juli. Pertanyaan tahunan yang dimunculkan sesama  "mudiker" ini selalu dikumandangkan lewat media sosial atau langsung diucapkan secara gethok tular. Mereka saling berkomunikasi untuk agenda sakral bertajuk mudik bersama menuju kampung halaman tercinta.
Ritual mudik selalu diawali dan diakhiri dengan bersusah payah. Untuk mewujudkannya pun harus diperjuangkan dengan berdarah-darah. Bahkan, nyawa pun rela menjadi taruhannya. Meski menanggung risiko besar, irama ritual mudik selalu berputar kencang  untuk menyedot para pengembara dan perantau setia.
Kencangnya perputaran itu dimaksudkan agar menyegarkan energi yang kerontang akibat digilas mesin waktu kehidupan. Sebuah mesin raksasa yang menjadikan manusia perantau sebagai roh industri kehidupan. Pada titik ini, industri kehidupan diposisikan sebagai  mesin kecil yang berputar riuh guna "memproduksi" uang. Sebuah industri kehidupan yang mensyaratkan produksi massal dengan target untung bergunung-gunung.

Post-sekularisme dan Post-Islamisme

·         

M DAWAM RAHARDJO


KOMPAS  

Klarifikasi mengenai gejala pasca sekularisme yang rumit telah ditulis oleh Frans Budi Hardiman (Kompas, 7/6/2016).
Diungkapkan bahwa Eropa yang mememasuki era itu tidak berarti bahwa Eropa akan meninggalkan orde sekularisme dan kembali kepada orde agama. Dengan kata lain, sekularisme sudah menjadi wacana final. Hanya saja Eropa akan memperhatikan dan merespons aspirasi keagamaan, tetapi tetap dalam kerangka sekularisme.
Sebenarnya pemikiran semacam itu sudah ditulis sebagai teori John Rawls dalam bukunya, Political Liberalism (1993), berdasarkan kerangka dasar kemasyarakatan  berkeadilan yang ditulisnya dalam The Theory of Justice (1991). Liberalisme politik, menurut pengertiannya yang berdasarkan tradisi teori kontrak sosial-sejak John Locke (1632-1704),  Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), dan Immanuel Kant (1724-1804)-itu adalah sebuah gagasan mengenai tata kelola masyarakat majemuk yang lestari dan berkelanjutan, berdasarkan prinsip keadilan.

Puasa dan Kesadaran Resiprokal


FATHORRAHMAN GHUFRON
kompas 30 Juni 2016
Dalam kitab Ihya' 'Ulumuddin, Imam Ghazali membagi tiga golongan orang yang melakukan ibadah puasa.
Pertama, golongan awam (shaumul 'am), yaitu orang yang berpuasa sekadar menahan lapar dan dahaga. Kedua, golongan khusus (shaumul khas), yaitu orang yang berpuasa selain menahan lapar dan dahaga, juga menjaga mata, hidung, telinga, tangan, kaki, dan seluruh tubuh dari perilaku negatif. Ketiga, golongan paling khusus (shaumul khawashil khawash), yaitu orang yang menjalankan puasa seperti pada dua golongan di atas, tetapi juga menambatkan pikiran dan hatinya hanya kepada Allah.
Dalam kaitan ini, laku puasa seperti yang digambarkan Imam Ghazali tentu bergantung pada kapasitas dan kapabilitas masing-masing individu. Orang yang meniatkan puasa sepenuh jiwa dan raga serta memasrahkan segala sesuatunya hanya kepada Allah dimungkinkan akan masuk golongan khusus dan bahkan paling khusus.
Meski demikian, untuk menjalankan ibadah puasa dengan posisi dan tingkatan yang berada pada golongan khas ataupun khawasul khawas tidak serta-merta terjadi begitu saja. Masing-masing levelnya butuh proses dan penahapan yang dinamis. Dan, yang paling penting dalam menjalankan ibadah puasa adalah bagaimana menempatkan diri kita secara resiprokal di antara orang-orang yang menjalani puasa, baik pada tingkatan awam maupun tingkatan apa pun. Tentu saja termasuk berpuasa di tengah masyarakat yang di antara mereka ada yang kurang peduli terhadap aturan main berpuasa, seperti makan-minum di siang  hari serta membuka warung.

Orang-Orang Hebat dan Perubahan

koran sindo Edisi 30-06-2016
Mungkin karena “berada di dalam”, kita kerap tak sadar bahwa perubahan terjadi di mana-mana. Meluas dan dalam skala yang masif. Ada perubahan yang dipicu teknologi, tapi ada juga perubahan yang disebabkan kondisi sosial kemasyarakatan. 

Saya bersyukur sebab dalam beberapa kasus perubahan itu menawarkan nilainilai yang positif. Contohnya berikut ini. Setiap kali bicara tentang polisi jujur dan pemberani, ingatan kita langsung mengarah kepada sosok Hoegeng, Kapolri 1968-1971. Padahal, Hoegeng—nama lengkapnya Hoegeng Imam Santoso— sudah meninggalkan kita sejak 14 Juli 2004. 

Tapi, presiden kita yang jenaka, Abdurrahman “Gus Dur” Wahid, menambahkan dua lagi. Keduanya adalah polisi tidur dan patung polisi. Sayangnya, Gus Dur juga sudah meninggalkan kita pada 30 Desember 2009. Kalau tidak, ia pasti akan punya tambahan daftar polisi jujur lainnya. 

Siapa saja mereka? Namanya Seladi. Ia anggota Satlantas Polres Kota Malang, Jawa Timur, dengan pangkat brigadir polisi kepala (bripka). Jangan lihat kata “kepala”-nya. Meski sudah 39 tahun menjadi polisi, ia sama sekali bukan atasan di sana. Sehari-hari Bripka Seladi bekerja di bagian pengujian SIM A. Gajinya Rp5,7 juta per bulan. Hidup dengan tiga anak, gaji sebesar itu jelas tak cukup. 

Teman Ahok & Ilusi Kebangkitan Masyarakat Sipil

koran sindo, Edisi 29-06-2016
Sepak terjang Teman Ahok dan keberhasilannya mengumpulkan 1 juta KTP untuk mendukung pencalonan Ahok sebagai calon independen dalam Pilgub DKI Jakarta 2017 memunculkan kembali euforia soal peran anak muda dalam politik Indonesia. 


Fenomenalnya sepak terjang Teman Ahok pun kemudian memunculkan berbagai glorifikasi terhadap Teman Ahok. Ada yang menyebutnya sebagai gerakan politik, gerakan relawan, partisipasi politik anak muda, atau bahkan sebagai bentuk penolakan generasi Y terhadap oligarki parpol. 



Ada juga yang menyebutnya sebagai anomali politik dan upaya deparpolisasi partai di Indonesia. Klaim sebagai gerakan relawan (civic voluntarism ) juga beberapa kali disampaikan oleh para pengurus Teman Ahok, yang kemudian juga diafirmasi oleh beberapa kalangan sebagai kekuatan masyarakat sipil.