Labirin Praktik Korupsi
Rabu, 4 Januari 2017 | 23:23 WIB
Oleh: Saldi Isra
Ibarat labirin, korupsi menjadi virus perusak yang terus membelit dan melilit sekujur tubuh Indonesia. Sekalipun telah disuntikkan berbagai vaksin guna menghentikan dan sekaligus mengurangi lajunya, hingga pengujung tahun 2016 belum terlihat tanda-tanda praktik korupsi berkurang. Karena itu, menghentikan laju praktik koruptif akan selalu jadi pekerjaan yang membutuhkan komitmen dan perjuangan panjang nan melelahkan.
Secara kuantitatif, sebagaimana dicatat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga 31 Oktober 2016, perkara korupsi menunjukkan kenaikan tajam dibandingkan 2015. Misalnya, penanganan tindak pidana korupsi tahap penyidikan naik dari 57 menjadi 81 kasus dan penuntutan naik dari 62 menjadi 70 kasus (Kompas, 17/12). Apabila ditambah perkara sampai hari terakhir 2016, kenaikannya pasti semakin memprihatinkan. Cacatan ini akan makin memprihatinkan apabila ditambahkan dengan data kejaksaan dan kepolisian.
Kenaikan itu, misalnya, berasal dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap salah seorang deputi Badan Keamanan Laut dan seorang pejabat eselon III Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dalam batas penalaran yang wajar, sebagai kejahatan yang tidak mungkin bekerja dengan pelaku tunggal, kedua kejadian itu pasti melibatkan pelaku lain. Tambahan lain, banyaknya jejaring korupsi yang berada di sekitar kepala daerah yang terperosok dalam ”pelukan” KPK.
Contoh paling mutakhir, hanya dalam hitungan jam menuju pergantian tahun, KPK disibukkan oleh OTT terhadap Sri Hartini, Bupati Klaten, Jawa Tengah, periode 2016-2021. Penangkapan ini terkait jual-beli jabatan dalam pengisian susunan organisasi dan tata kerja di lingkungan pemerintah daerah. Dari perspektif yang lebih luas, penangkapan Sri Hartini sekaligus menjadi bukti betapa perilaku koruptif-primitif dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah terus berlangsung.