Wednesday, November 4, 2015

Potret Euforia Advokat Indonesia

Koran SINDO
Rabu, 4 November 2015 − 07:23 WIB


Hari-hari dalam minggu ini di halaman akun media sosial (medsos) sahabat-sahabat saya ramai dengan foto-foto kebahagiaan dilantik menjadi advokat. Foto-foto dengan latar toga hitam lengkap dengan lidah putih (bef) menjuntai setelah selesai diambil sumpahnya oleh ketua pengadilan tinggi setempat di berbagai daerah di Indonesia. Tak lupa iringan kata-kata selamat secara formal sampai dengan gaya canda terlontar dalam setiap komen di akun-akun medsos tersebut.

Inilah hari ”Lebaran” atau puncak euforia bagi para sahabat yang selama ini bergelut dalam bidang praktisi hukum, namun kesulitan untuk mencari ”nafkah” sesuai profesi karena terbentur dengan berbagai aturan yang tersaji. Mereka selama ini terhambat berbagai macam permasalahan, baik yang di-setting maupun tidak, baik yang diskenariokan oleh para oknum ”senior-senior” sendiri tentu dengan berbagai macam dalil pembenarannya masing-masing, ataupun ihwal lain yang kadang membuat kita para praktisi hukum tersenyum sendiri dengan alasannya.

Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 73/KMA/HK.01/ IX/2015 tanggal 25 September 2015 seakan menjadi naskah ”kemerdekaan” para sarjana hukum yang selama ini sudah bergelut di pengadilan-pengadilan tanpa status ”de-jure ” kalau mereka adalah para pengacara.

Kebakarn Hutan Gambut dan Global Warming

Koran SINDO
Rabu, 4 November 2015 − 07:52 WIB

Wapres Jusuf Kalla di Jakarta menyatakan, pemerintah tengah membahas upaya restorasi gambut yang terbakar secara masif dalam beberapa bulan terakhir ini (27/10/15). Restorasi ini diprediksi akan menelan biaya puluhan triliun rupiah. Apa boleh buat. Kebakaran hutan gambut yang telah berlangsung hampir tiga bulan di Sumatera, Kalimantan, dan Papua ini telah menimbulkan dampak yang luar biasa. Ratusan orang tewas dan jutaan orang terserang infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) akibat asap kebakaran tersebut.

Kebakaran hutan sepanjang 2015 ini, menurut Menko Polhukam Luhut Panjaitan, sebagai kebakaran paling besar yang pernah terjadi di Indonesia. Menurut Luhut, salah satu penyebabnya justru berasal dari kebijakan pemerintah sendiri. ”Inilah kesalahan kebijakan yang kita buat, bukan maksud menyalahkan pemerintahan yang lalu, dengan membagi-bagikan tanah gambut,” katanya dalam pidato pembukaan Rakor Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di Hotel Aryaduta, Jalan Prapatan, Kwitang, Jakarta Pusat, Rabu (21/10/2015). Ia menjelaskan, tanah gambut memiliki kedalaman 5-6 meter. Jika lahan tersebut terbakar, lalu dipadamkan di bagian permukaan, maka api di bagian bawah masih belum padam. Hal itulah yang menyebabkan pemadaman sulit dilakukan.

Presiden Tanpa Pemuda

Udar Rasa

Garin Nugroho
Bulan Agustus 2014 saya memberi catatan khusus dalam kolom ini tentang nilai penting bicara tentang pemuda, mengingat postur penduduk Indonesia usia produktif (15-35 tahun) mencapai lebih dari 60 persen. Kenyataan lain menunjukkan bahwa 50 persen lebih penduduk yang bekerja menanggung beban separuh lainnya, sementara kualitas tenaga kerja Indonesia lebih dari 50 persen didominasi lulusan sekolah dasar. Bisa ditebak, kualitas tenaga kerja Indonesia di bawah tetangga utama di ASEAN, dari Singapura, Malaysia, Filipina, hingga Thailand.

Oleh karena itu, sungguh menyedihkan, di tengah situasi perayaan Sumpah Pemuda yang berlanjut dengan Hari Pahlawan, tidak cukup hadir komunikasi panduan kebangsaan dari Presiden atau juru komunikasi Presiden dan elite politik untuk merenungi pemuda dan masalahnya.

Karakter

OLEH: BRE REDANA

Seberapa jauh sesuatu hal perlu diatur dengan peraturan, kaidah, undang-undang, struktur, organisasi, dan lain-lain? Bekerja di lingkungan jurnalistik sejak masa pers belum berkembang menjadi industri sebesar, sekompleks, dan semulti-platform sekarang, menjadi ingat kata-kata yang sering diucapkan pimpinan kami waktu itu: yang diperlukan karakter.

Itu untuk menjawab hal-hal yang belum sempat terumuskan secara rinci dalam code of conduct, taruhlah misalnya menyangkut suap atau di kalangan wartawan disebut ”amplop”. Wartawan tidak boleh menerima amplop. Persoalannya, bagaimana wartawan yang ditugaskan dalam beat khusus, misalnya ditempatkan di departemen tertentu pemerintah? Ia harus ikut rombongan menteri, dengan pesawat maupun hotel yang disediakan oleh pihak pengajak? Kadang dihadapkan amplop yang sudah ditetapkan dalam anggaran departemen, sebagaimana anggota rombongan lain?

Kekuasaan Minus Tanggung Jawab

Tidak dialokasikannya anggaran penanggulangan bencana di dalam APBD menunjukkan betapa elite politik abai terhadap bencana dan rakyatnya. 

Otonomi hanya menjadi sarana untuk mendapatkan kekuasaan. Setelah kekuasaan diperoleh, pekerjaan menjalankan pemerintahan adalah dalam upaya bagaimana kekuasaan bisa dipertahankan. Dalam semangat itu pulalah sering terjadi perpanjangan izin atau izin baru dkeluarkan menjelang pemilihan kepala daerah atau berakhirnya masa jabatan seseorang. Kondisi itu juga terjadi di pemerintah pusat.

Kekuasaan, minus tanggung jawab, tecermin ketika pemerintah tidak mengantisipasi munculnya kebakaran hutan dan menjadikan 50 juta orang di Sumatera dan Kalimantan terpapar asap. Laporan harian ini menunjukkan, di enam provinsi yang rawan kebakaran hutan dan lahan tidak ada anggaran memadai untuk penanggulangan bencana asap. Bahkan, di Jambi dan Kalimantan Barat, tidak ada sepeser pun anggaran khusus untuk penanganan kebakaran hutan dan lahan. Di provinsi lain, anggaran kebakaran hutan memanfaatkan anggaran tidak terduga.

Bela Negara Progresif

Farouk Muhammad
Kamis, 22 Oktober 2015, pemerintah melalui Kementerian Pertahanan mulai melaksanakan program bela negara yang wajib diikuti semua warga negara Indonesia.
 
Program dimulai secara serentak di 45 kabupaten dan kota dengan 4.500 warga sipil dipersiapkan untuk menjadi kader pembina. Kemenhan juga menargetkan 100 juta kader bela negara dalam 10 tahun ke depan. Menhan Ryamizard Ryacudu mengatakan, program itu dimaksudkan untuk mempersiapkan rakyat dalam menghadapi ancaman militer dan nirmiliter seperti tertera dalam UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan Pasal 27 Ayat 3 UUD 1945. Menhan menegaskan, program bela negara dapat membangkitkan rasa cinta tanah air dan sebagai manifestasi gerakan revolusi mental.

Gagasan itu serentak menuai dukungan dan penolakan. Mereka yang mendukung mengemukakan bahwa program bela negara diyakini mampu memperbaiki mental bangsa melalui pembangunan etos disiplin, terutama dalam memperkuat ketaatan hukum rakyat dan menyelesaikan beragam penyakit sosial. Di sisi lain, meski Menhan menegaskan bahwa program bela negara tak sebatas mengangkat senjata dan akan disesuaikan dengan keahlian setiap peserta, mereka yang menolak bela negara melihat program ini sebagai pendidikan militer atau militerisasi rakyat. Kekhawatiran mereka yang mengkritisi program ini dapat dimaklumi karena luasnya definisi ”ancaman”, risiko munculnya kelompok kekerasan, dan belum terformulasikannya metode pelatihan.

Pilkada Serentak, Reformasi Odasios

Irfan Ridwan Maksum
Pemilihan kepala daerah serentak untuk pertama kalinya akan digelar pada Desember 2015. Waktu yang sangat singkat untuk mempersiapkannya. Pilihan pilkada serentak merupakan respons atas jalannya pilkada langsung selama ini yang bergantung pada periode kepemimpinan masing-masing di tiap daerah otonom. 

Jadilah Indonesia sebagai satu-satunya negara penyelenggara pilkada serentak di dunia ini, kelak. Sistem pilkada baru ini diyakini sukses jika efisiensi dapat diraih sembari mengatasi terjadinya petualang politik sesaat, yang sering kali terjadi pada masa lalu.

Namun, bayang-bayang ketidaksuksesan pilkada serentak pun menghantui, dengan sejumlah dampak buruk yang tidak ringan bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia dapat terjadi. Konflik yang masif adalah bayangan pertama. Kedua, gangguan administrasi peradilan jika gelombang keberatan masuk di Mahkamah Konstitusi menumpuk, dan stagnasi birokrasi sejumlah pemerintah daerah, serta sejumlah dampak lain. Oleh karena itu, kita wajib memikirkannya.

Rumitnya Mengelola Dana Desa

Analisis Politik J Kristiadi
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, selanjutnya disebut Mendesa PDTT, Marwan Jafar, tidak dapat menyembunyikan kekesalannya yang sudah sampai ubun-ubun. Hal itu dapat disaksikan pada acara ”Solusi dan Guyonan Orang Desa” yang ditayangkan Minggu, 1 November, sekitar pukul 13.00, oleh salah satu TV swasta. Beberapa kali ia mengimbau keras kepada para bupati/wali kota yang mempersulit pencairan dana desa.

Ia bahkan mengancam menjatuhkan sanksi berupa penundaan penyaluran dana alokasi umum dan/atau dana bagi hasil. Litani pernyataan keras dengan bumbu ancaman sebenarnya telah berlangsung beberapa bulan, tetapi tampaknya kurang efektif sehingga perlu mengemas rasa geregetan tersebut dalam bentuk drama komedi. Selain lebih ekspresif dan provokatif, penampilan dapat santai, sehingga pesan mudah dicerna masyarakat dan kepala daerah.

Namun, upaya itu belum menjamin kelancaran pencairan dana desa. Sebab, keru- mitan pengelolaan dana desa bertali-temali antara peraturan tumpang tindih, ego sektoral, dan pertarungan politik kekuasaan. Isu ego sektoral bersumber dari kerancuan menjabarkan filosofi eksistensi desa yang dibahasakan dalam Penjelasan Umum UU Nomor 16/2014 tentang Desa sebagai persenyawaan antara self governing community–SGC (masyarakat yang mengatur urusannya sendiri) dan local self government–LSG (pemerintahan lokal yang mandiri).

Anak Muda dan Radikalisme

Andi Rahman Alamsyah
Dalam dua dekade terakhir radikalisme agama menguat di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, dengan ide utama kembali pada ajaran agama yang ”murni” sebagai satu-satunya pijakan dalam seluruh aspek hidup.

Hal menarik adalah rata-rata yang terlibat dalam gejala itu berusia muda, 17-40 tahun.
Pendekatan psikologi melihatnya sebagai persoalan kejiwaan anak muda saat masa peralihan dari kanak-kanakmenuju dewasa, yang kerap memunculkan berbagai kegalauan. Ajaran agama radikal menawarkan kepastian sebagai solusi mengatasi persoalan itu. Ada pula yang berpendapat bahwa penyebabnya adalah pemahaman keagamaan radikal yang dipelajari anak-anak muda dari berbagai sumber.

Perkembangan teknologi informasi-komunikasi (TIK) yang amat pesat kian memudahkan mereka mempelajarinya. Penjelasan lain menempatkan hal itu sebagai hasil dari persentuhan anak-anak muda dengan kelompok radikal, yang dipermudah dengan prasarana dan sarana transportasi yang relatif baik serta perkembangan TIK.

Ketiga hal itu memang memengaruhi perkembangan radikalisme agama di kalangan anak muda, tetapi tidak menentukan munculnya gejala itu. Faktor utamanya: industrialisasi-modernisasi yang melahirkan kondisi sosial bagi terbentuknya prekariat.

Pemuda dan Pembangunan Pertanian

Oleh : Posman Sibuea

Saat ini pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dituntut mampu membawa Indonesia berswasembada beras pada 2017. Sayangnya, dari laporan Sensus Pertanian 2013, pemuda yang bekerja di sektor pertanian menurun dalam 10 tahun belakangan.

Selama satu dekade (2003– 2013) jumlah keluarga petani, termasuk kelompok usia muda di dalamnya, menurun 5,10 juta, dari 31,24 menjadi 26,14 juta.

Urbanisasibesar-besaran kaum muda ke kota tak terbendung. Yang mengurusi pertanian di desa tinggal perempuan, anak-anak, dan para lanjut usia. Lebih ironis lagi, hampir tak ada orangtua dari keluarga petani yang berharap anaknya menggeluti pertanian. Tak mengherankan, kontribusi sektor pertanian makin turun terhadap produk domestik bruto (PDB). Tingginya laju alih fungsi lahan dan menurunnya jumlah tenaga produktif di sektor pertanian membuat produksi padi (2014) menurun 0,45 juta ton (0,63 persen) dibandingkan dengan tahun 2013 (BPS, 2014).

Merekonstruksi Kemiskinan dan Penyebabnya

opini > duduk perkara > Merekonstruksi Kemiskinan dan Penyebabnya

OLEH: LUHUR FAJAR MARTHA

Belum lama ini, Badan Pusat Statistik mengumumkan naiknya angka kemiskinan nasional. Meski telah diprediksi demikian sebelumnya, kenaikan ini tetap mengejutkan banyak pihak. Sebabnya ialah bertambahnya orang miskin dalam jumlah yang relatif besar.
Pemulung  bersama anaknya mencari barang bekas di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta, Senin (12/10). Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5,5 persen, Nota Keuangan RAPBN 2016 menargetkan angka kemiskinan 2016 sebanyak 9,0-10 persen dari total penduduk Indonesia.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWANPemulung bersama anaknya mencari barang bekas di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta, Senin (12/10). Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5,5 persen, Nota Keuangan RAPBN 2016 menargetkan angka kemiskinan 2016 sebanyak 9,0-10 persen dari total penduduk Indonesia.
Dibandingkan dengan kondisi bulan September 2014, jumlah orang miskin di Indonesia pada Maret 2015 meningkat sebanyak 860.000 orang. Dalam lima tahun terakhir, kenaikan ini merupakan kejadian kedua. Sebelumnya, pada September 2013 angka kemiskinan juga meningkat, tetapi tidak sebanyak kali ini.

Kenaikan angka kemiskinan dari 10,96 persen menjadi 11,22 persen ini ditengarai dipicu oleh naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) beberapa bulan sebelumnya. Harga BBM yang meningkat mendorong harga bahan makanan serta transportasi turut naik.

Politik Upah Murah


KORAN REPUBLIKA Selasa, 03 November 2015
 
Sejak lima tahun silam, Indonesia selalu diguncang isu pengupahan yang lazim dibarengi unjuk rasa besar-besaran. Perlu dicatat, dalam setiap unjuk rasa bukan hanya pengusaha yang pusing.

Setiap unjuk rasa selalu melalui proses panjang dan rumit, yang pasti akan menyedot banyak energi. Mulai dari rapat, konsolidasi, sampai penggalangan dana dan perizinan. Jika boleh memilih, buruh pun ingin bekerja tenang. Tapi, dalam banyak kasus, unjuk rasa dan mogok terbukti lebih jitu sebagai instrumen pemenuhan hak-hak buruh.

Keampuhan unjuk rasa tergambar dari data upah minimum periode 2010-2015 yang naik signifikan. Grafiknya eksponensial. Rata-rata pertumbuhan upah minimum di Indonesia pasca-2010 selalu di atas 15 persen. Bahkan pada 2013, DKI Jakarta, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Pasuruan naik masing-masing 43,9 persen, 60,9 persen, dan 37,4 persen. Namun, perlu pula dicatat pertumbuhan itu tetap membuat upah minimum Indonesia masih berada di bawah Malaysia, Thailand, Cina, Filipina, dan Singapura.

Menilai Kebijakan Masa Lalu


KORAN REPUBLIKA, Rabu, 04 November 2015, 

Dalam NU Online ada berita bahwa Yahya Staquf dalam sebuah acara menyampaikan, NU keluar dari Partai Masyumi dan menjadi Partai NU untuk mencegah Partai Masyumi menjadi pemenang lebih dari separuh suara pada Pemilu 1955. Alasan lain karena NU tidak setuju tujuan Masyumi menjadikan Indonesia negara berdasarkan Islam.

Saya tidak tahu Yahya Staquf mendapat informasi itu dari mana. Setahu saya saat NU keluar dari Masyumi pada 1952, NU masih memperjuangkan negara RI berdasarkan Islam. Perjuangan itu bisa kita lihat ketika NU bersama Masyumi, PSII, Perti, dan lainnya memperjuangkan negara berdasarkan Islam di persidangan Konstituante 1956-1959.

Perjuangan itu tidak berhasil setelah pada pemungutan suara pendukung negara berdasarkan Islam hanya memperoleh 43 persen suara. Kira-kira, suara Partai Masyumi kalau NU masih bergabung di dalamnya tidak akan jauh dari angka itu.