Udar Rasa
Garin NugrohoKOMPAS Siang |
Bulan Agustus 2014 saya memberi catatan khusus dalam kolom ini tentang
nilai penting bicara tentang pemuda, mengingat postur penduduk Indonesia
usia produktif (15-35 tahun) mencapai lebih dari 60 persen. Kenyataan
lain menunjukkan bahwa 50 persen lebih penduduk yang bekerja menanggung
beban separuh lainnya, sementara kualitas tenaga kerja Indonesia lebih
dari 50 persen didominasi lulusan sekolah dasar. Bisa ditebak, kualitas
tenaga kerja Indonesia di bawah tetangga utama di ASEAN, dari Singapura,
Malaysia, Filipina, hingga Thailand.
Oleh karena itu, sungguh menyedihkan, di tengah situasi perayaan Sumpah
Pemuda yang berlanjut dengan Hari Pahlawan, tidak cukup hadir
komunikasi panduan kebangsaan dari Presiden atau juru komunikasi
Presiden dan elite politik untuk merenungi pemuda dan masalahnya.
Perayaan Sumpah Pemuda kali ini terasa adem-ayem. Yang mencolok adalah
berita demonstrasi perburuhan dan peledakan bom, disusul kemudian berita
tentang tenaga kerja Tiongkok, perbatasan yang diklaim Tiongkok, atau
juga kritik tentang isu penyatuan beberapa BUMN untuk mendukung
investasi Tiongkok, sebuah strategi yang dikritik jungkir balik bagai
menggadaikan bangsa, demikian juga tentang Freeport yang diberi komentar
saling berlawanan oleh pembantu Presiden.
Dengan kata lain, pasca setahun pemerintahan, jargon kerja Presiden
yang pragmatis dihadapkan dengan kenyataan kekuatan ekonomi dan politik
dua raksasa dunia: Amerika dan Tiongkok di tengah ledakan jumlah
penduduk muda Indonesia yang kualitasnya di bawah negara-negara ASEAN.
Harap mafhum, masyarakat sipil menuntut panduan sikap kebangsaan
berbasis filosofi bangsa untuk menghilangkan beragam kekhawatiran.
Sebutlah, panduan kebangsaan arah serta strategi politik luar negeri di
tengah persaingan Amerika, Jepang, India, hingga Tiongkok. Atau juga,
panduan kebangsaan perlindungan tenaga kerja lokal ketika tenaga kerja
Tiongkok menyerbu dari tingkat manajemen hingga buruh. Bahkan, panduan
kebangsaan berkait nilai Sumpah Pemuda, seperti bahasa Indonesia yang
dikeluhkan tidak diberi dukungan strategi kebangsaan yang kuat di tengah
kualitas hidupnya yang kehilangan daya tumbuh.
Dalam sebuah diskusi terbatas aktivis budaya dan politik, terbaca
sebuah kejengkelan: ”Pemerintahan sekarang dengan jargon kerja yang
pragmatis, meski diakui menunjukkan nilai kerja, mulai kehilangan
panduan nilai kebangsaan. Pemerintahan hingga DPR bahkan polisi dan
militer terasa cenderung terpisah dari rakyat. Elite politik dan aktivis
yang masuk pemerintahan sibuk dengan proyek, program, dan targetnya
sendiri, terlupa dan gagal mengajak pemimpin nonformal di masyarakat
sipil di berbagai profesi untuk berpartisipasi. Akibatnya, semua
berjalan sendiri-sendiri untuk survival, baik birokrasi yang
berusaha memenuhi segalanya yang serba kelebihan target, demikian juga
atmosfer kritik, demonstrasi, terlebih rakyat yang dibebani harga yang
serba naik. Anehnya, staf komunikasi Presiden tidak juga memunculkan
kemampuan memandu rakyat untuk memberi arah strategi berbangsa.
Haruslah diakui, pemerintahan Jokowi enam bulan terakhir dengan jurus
kerja yang pragmatis, mampu memandu harapan rakyat, terlebih dengan
cerdik Jokowi menggerakkan program populer merakyat, dari kereta api,
bendungan, sepak bola, hingga kapal laut dalam negeri. Namun, sebagai
sebuah bangsa, pragmatisme jargon kerja ternyata tidaklah cukup. Warga
bangsa akan mulai khawatir ketika merasakan kehilangan panduan politik
makro yang menyangkut prinsip filosofi sendi-sendi berbangsa berkait
dengan gagasan dasar pertahanan ekonomi, pertahanan tenaga kerja, agama
hingga bahasa maupun mental berbangsa.
Harus diingat, momentum Sumpah Pemuda ataupun Hari Pahlawan menunjukkan
sejarah tentang pragmatisme kerja pemuda membangun negara dalam
keindahan spirit kebangsaan. Agaknya, ini menjadi PR staf komunikasi
Presiden dan elite politik pasca setahun Presiden Jokowi.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 November 2015, di halaman 12 dengan judul "Presiden Tanpa Pemuda".
No comments:
Post a Comment