Andi Rahman Alamsyah
Kompas Cetak |
Dalam dua dekade terakhir
radikalisme agama menguat di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia,
dengan ide utama kembali pada ajaran agama yang ”murni” sebagai
satu-satunya pijakan dalam seluruh aspek hidup.
Hal menarik adalah rata-rata yang terlibat dalam gejala itu berusia muda, 17-40 tahun.
Pendekatan psikologi melihatnya sebagai persoalan kejiwaan anak muda
saat masa peralihan dari kanak-kanakmenuju dewasa, yang kerap
memunculkan berbagai kegalauan. Ajaran agama radikal menawarkan
kepastian sebagai solusi mengatasi persoalan itu. Ada pula yang
berpendapat bahwa penyebabnya adalah pemahaman keagamaan radikal yang
dipelajari anak-anak muda dari berbagai sumber.
Perkembangan teknologi informasi-komunikasi (TIK) yang amat pesat kian
memudahkan mereka mempelajarinya. Penjelasan lain menempatkan hal itu
sebagai hasil dari persentuhan anak-anak muda dengan kelompok radikal,
yang dipermudah dengan prasarana dan sarana transportasi yang relatif
baik serta perkembangan TIK.
Ketiga hal itu memang memengaruhi perkembangan radikalisme agama di
kalangan anak muda, tetapi tidak menentukan munculnya gejala itu. Faktor
utamanya: industrialisasi-modernisasi yang melahirkan kondisi sosial
bagi terbentuknya prekariat.
Rentan terlibat
Menurut Standing (2011), prekariat adalah mereka yang kerja dan
hidupnya secara umum tak aman, tak stabil, tak pasti sehingga psikologis
pun cenderung diliputi marah, tanpa pegangan hidup yang kukuh, terasing
dari hidup, rentan terlibat dalam organisasi atau aktivitas ekstremis.
Di Indonesia, ciri prekariat ditemukan pada berbagai jenis pekerjaan,
informal maupun formal, yang mengalami informalisasi (pekerja paruh
waktu, alih daya, dan sebagainya). Meski data yang pasti sulit
diperoleh, tingginya persentase pekerja sektor informal (53,6 persen)
dan pekerja tak penuh (31,20 persen) mengindikasikan besarnya jumlah
prekariat. Mengingat sebagian besar penduduk Indonesia berusia muda,
termasuk para pekerjanya, dapat diduga sebagian besar prekariat adalah
anak-anak muda.
Anak muda prekariat itu produk industrialisasi-modernisasi, khususnya
era Orde Baru. Mereka relatif berpendidikan, memiliki mobilitas dan
jaringan sosial yang lumayan serta tuntutan hidup dan mimpi tentang masa
depan yang lebih tinggi daripada para penganggur, pengemis.
Namun, jenis pekerjaan mereka, yang terpaksa diambil karena terbatasnya
lapangan kerja, tak memberi jaminan memadai memenuhi berbagai tuntutan
hidup, apalagi mewujudkan mimpi itu. Bahkan, mereka bisa sesewaktu
kehilangan pekerjaan atau memperoleh pendapatan yang tak sesuai dengan
yang diharapkan. Negara pun tak hadir untuk memberi jaminan terhadap
mereka. Kondisi ini memunculkan berbagai dampak psikologis pada anak
muda prekariat, khususnya rasa cemas karena ketidakpastian hidup saat
ini dan masa depan.
Dengan kondisi sosiologis dan psikologis seperti itu, agama radikal
lalu hadir sebagai jawaban. Ada beberapa alasan mengapa hal ini
dimungkinkan. Secara teologis, dengan berpijak pada pemahaman yang
hitam-putih atas teks kitab suci, ajaran radikal memberi senjata
pengetahuan tentang mengapa mereka berada dalam posisi saat ini (tak
menja- lankan agama yang ”murni”), solusi yang harus dilakukan (tatanan
yang sesuai dengan ajaran agama yang ”murni”), berbagai sikap dan
keterampilan hidup yang harus dimiliki mewujudkannya (komitmen yang
tinggi atas ajaran agama yang ”murni”, perang suci, dan sebagainya).
Bahkan, saat ajaran itu tak membawa sukses menurut paham awam, hal itu
dianggap ”kegagalan suci”, suatu komitmen tinggi dengan imbalan hidup
yang lebih baik di alam sana. Pemahaman hitam-putih seperti itu penting
dan amat menarik bagi anak-anak muda prekariat yang butuh kepastian.
Secara sosiologis, aktor yang terlibat dalam radikalisme agama adalah
mereka yang paling hadir dalam hidup sehari-hari anak muda prekariat
melalui berbagai aktivitas keagamaan, bantuan sosial, jaringan bisnis
kecil-kecilan, diskursus populis, bahasa yang mudah dipahami. Kaum
agamawan moderat sendiri lebih sibuk dengan politik elite, bersikap
elitis; politisi hanya muncul saat pemilu; aparat negara masih bergulat
dengan problem integritas, kompetensi, dan selalu repot dengan urusan
prosedur.
Radikalisme agama hanya dapat diatasi dengan menata kembali
industrialisasi modernisasi yang jadi lahan subur bagi tumbuhnya anak
muda prekariat. Tanpa penataan seperti itu, radikalisme agama tetap jadi
ancaman Indonesia kini dan nanti karena sebagian besar penduduk
Indonesia berusia muda.
Andi Rahman Alamsyah, Pengajar di Departemen Sosiologi FISIP UI
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 November 2015, di halaman 6 dengan judul "Anak Muda dan Radikalisme".
No comments:
Post a Comment