Home
Politik
Hukum
Pertahanan
Humaniora
Edukasi
Indeks
Beranda
Nasional
Metro
Daerah
Ekbis
International
Sports
Soccer
Autotekno
Lifestyle
Photo
Video
Indeks
Sindonews
Berita Terbaru Seputar Ekonomi dan Bisnis di Indonesia dan Dunia
Home
Politik
Hukum
Pertahanan
Humaniora
Edukasi
Indeks
Nasional Opini
Reportase Koran SINDO
Pemerintah (Belum) Serius Tangani Asap
Terapkan Ilmu untuk Kepentingan Masyarakat
Kelas Menengah & Representasi Publik
more
PHOTO
Rumah Evakuasi di Pelambang Siap Tampung Korban AsapRumah Evakuasi di Pelambang Siap Tampung Korban Asap
Laku Pandai Akses Keuangan untuk SemuaLaku Pandai, Akses Keuangan untuk Semua
more
VIDEO
Minggu Tarif Tol Naik Minggu, Tarif Tol Naik
DPR Sahkan RUU RAPBN 2016 Jadi Undang undang DPR Sahkan RUU RAPBN 2016 Jadi Undang-undang
more
Hari Santri, antara Janji Politik dan Prinsip Keadilan
Koran SINDO
Kamis, 22 Oktober 2015 − 12:52 WIB
Hari Santri antara Janji Politik dan Prinsip Keadilan
Abd Rohim Ghazali
A+ A-
Penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri menyulut kontroversi. Ketua
Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir tidak setuju penetapan
ini karena sama artinya dengan mengotakngotakkan umat sebagaimana
kategorisasi Clifford Geertz: santri-priyayi-abangan.
Penolakan senada disampaikan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din
Syamsuddin. Dalam surat pribadi yang disampaikan kepada Presiden Joko
Widodo, Din mengusung sejumlah alasan mengapa tidak setuju dengan Hari
Santri. Selain seperti yang disampaikan Haedar Nashir, Din juga
menekankan penetapan Hari Santri dengan mengaitkannya dengan peristiwa
Resolusi Jihad, 22 Oktober 1945, adalah bentuk penyempitan jihad baik
dari segi waktu, para pelaku, dan pemaknaannya.
Jika diuraikan lebih jauh, dari segi waktu, dalam sejarah perjuangan
bangsa Indonesia, jihad sudah berlangsung lama, bahkan sejak jauh
sebelum kemerdekaan. Resolusi Jihad hanya satu episode singkat dari
proses perjuangan untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan yang
kemudian melahirkan sejarah Hari Pahlawan. Ini yang pertama.
Kedua, para pelaku sejarah jihad tidak bisa dibatasi pada mereka
yang terlibat dalam Resolusi Jihad. Setiap episode perjuangan sudah
pasti ada tokohtokoh pelakunya yang menjadi pelopor dan penggerak
perjuangan. Sederetan nama pejuang yang sudah ditetapkan pemerintah
sebagai pahlawan nasional menjadi bukti sekaligus rekognisi ketokohan
mereka dalam setiap episode sejarah perjuangan yang dilakoninya.
Ketiga, yang paling penting, pemaknaan jihad tidak bisa dibatasipada
perjuangan fisik belaka (harbi). Jihad harus dikembangkan maknanya
secara lebih luas, seluas cakrawala kiprah kemanusiaan sesuai minat,
bakat, dan tuntutan zaman. Perjuangan dibidang ekonomi, politik, hukum,
dan iptek adalah bagian dari manifestasi makna jihad dalam spektrumnya
yang luas.
Janji Politik
Penetapan Hari Santri merupakan salah satu janji yang disampaikan
Jokowi saat kampanye politik saat menjelang pemilihan presiden untuk
menjawab tuntutan umat khususnya warga Nahdlatul Ulama. Tuntutan yang
diajukan saat kampanye sulit untuk tidak dipenuhi karena tujuan kampanye
adalah untuk dipilih.
Mengabaikan tuntutan saat kampanye sama artinya dengan keengganan
untuk dipilih. Lantas, mengapa muncul adagium, kampanye adalah satu hal
dan memerintah adalah hal yanglain? Karena, antara janji-janji yang
disampaikan saat kampanye tidak ekuivalendenganapayangharus dijalankan
saat memerintah.
Tugas dan kewajiban saat kampanye, selain menyampaikan program,
adalah menjawab pertanyaan dan tuntutan dari khalayak yang terlibat
dalam proses kampanye. Sedangkan tugas dan kewajiban pemerintah adalah
menjalankan dan mematuhi undang-undang yang disusun dan ditetapkan
melalui proses legislasi yang juga diatur dengan undang-undang.
Janji yang disampaikan saat kampanye bisa ditunaikan saat memerintah
sepanjang tidak bertentangan dengan undang- undang. Janji kampanye yang
bertentangan dengan undangundang tidak boleh ditunaikan saat
memerintah. Sedangkan janji kampanye yang tidak bertentangan dengan
undang- undang, namun berpotensi melanggar undang-undang (karena
bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan misalnya) tidak seharusnya
ditunaikan saat memerintah.
Prinsip Keadilan
Penetapan Hari Santri menjadi pelajaran penting baik bagi para
pemimpin (pemerintah) maupun masyarakat pada umumnya (rakyat). Bagi
pemimpin, apalagi pemimpin nasional, seyogianya tidak terjebak pada
kepentingan parokial. Pengutamaan kepentingan parokial sama artinya
dengan pengabaian keadilan.
Menurut John Rawls dalam A Theory of Justice (1971), ada dua prinsip
utama keadilan, yakni pertama, setiap orang mempunyai hak kebebasan
yang sama atas kebebasan yang paling dasar dan luas, yang tidak
dibedakan dengan yang lain; dan kedua, hak dalam bidang sosial dan
ekonomi yang harus diatur agar tidak mengalami ketimpangan.
Terkait dengan tema tulisan ini, mari kita fokus pada prinsip
keadilan pertama, yang berkaitan dengan hak-hak politik baik dalam
implementasi maupun rekognisi. Dalam ranah implementasi, setiap orang
punya hak untuk memilih dan dipilih dalam menduduki jabatan publik,
punya hak kebebasan berbicara, berserikat, berkeyakinan, serta bebas
dari perlakuan sewenang- wenang.
Dalam ranah rekognisi, setiap hak itu membutuhkan pengakuan pihak
lain, terutama dari pemerintah. Tugas pemimpin adalah menjaga agar
implementasi dan rekognisi dari hak-hak itu dilakukan secara adil, tidak
mengutamakan yang satu dari yang lain. Dengan kata lain, menegakkan
rule of law harus dijalankan dengan prinsip equality before the law.
Artinya, dalam memberikan pengakuan pada hak-hak setiap, atau
sekelompok orang, harus dengan kadar yang sama, tanpa mengistimewakan
yang satu dari yang lainnya. Bagi masyarakat secara umum (rakyat),
penetapan Hari Santri bisa memberi pelajaran bahwa dalam menuntut hak
kepada pemimpin pun harus berpijak pada prinsip-prinsip keadilan.
Dalam menuntut hak untuk diakui misalnya tidak boleh didasarkan pada
kepentingan individu atau kelompok yang (berpotensi) mengabaikan atau
melanggar hak-hak individu atau kelompok yang lainnya. Yang boleh atau
bahkan harus dituntut dari pemimpin (pemerintah) adalah hak yang bisa
diakui, dijalankan, atau dinikmati oleh semua warga negara, baik secara
individual maupun kelompok. Wallahu alam !
Abd Rohim Ghazali
Direktur Eksekutif Yayasan Paramadina,
Wakil Ketua Umum Koornas Fokal IMM
(bhr)
dibaca 1.584x
Follow :
Facebook Share Button
178
Twitter Share Button
13
Google Plus Share Button
0
Feedly Follow Button
0
BERITA TERKAIT
opini
Demokrasi Berlaksa Epos
Candu Kleptokrasi
Drama dan Revolusi Mental
Penegakan Hukum yang Koruptif
Setahun Pemberantasan Korupsi Jokowi-JK
51 Tahun Golkar; Badai Pasti Berlalu
REKOMENDASI :
TERPOPULER
1
Menkumham Akan Patuhi Putusan MA Terkait Golkar dan PPP
2
Bahas RAPBN 2016 Alot, Fadli Dipanggil Prabowo Subianto
3
Pak Raden Tutup Usia
4
KSAU Ingin Indonesia Segera Punya Pesawat Beriev Be-200
5
Anggaran Gedung Baru DPR Rp740 Miliar Muncul di RAPBN 2016
BERITA TERKINI
Cerita Zulkifli Hasan di Balik Dukungan PAN ke Pemerintah
Cerita Zulkifli Hasan di Balik Dukungan PAN ke Pemerintah
TNI AU Tingkatkan Status Tujuh Lanud
Tangkal Terorisme, Menpora Ajak BNPT Goes to Campus
Ketum PAN: Cita-cita Reformasi Belum Sesuai Harapan
Menko Polhukam Sebut Ekonomi Akar Masalah Terorisme
PAN Gembleng 100 Mahasiswa Jadi Kader Muda
Bangun Kedaulatan Informasi, Kemhan Gandeng Perusahaan Antisadap
Kemudahan Memilih Tingkatkan Partisipasi Disabilitas
HOT TOPIC
# Kebakaran hutan
# Korupsi Bansos Sumut
# Dewan Perwakilan Rakyat
# Kabinet Jokowi-JK
# Politik Anggaran
Top
Find Us at :
MNC
CHANNEL
Nasional
Metro
Daerah
Ekbis
International
Sports
Soccer
Autotekno
Lifestyle
Photo
Video
MNC MEDIA
iNews TV
RCTI
Global TV
MNC TV
Koran Sindo
Sindo Weekly
Sindo Trijaya FM
MANAGEMENT
Tentang Kami
Redaksi
Karir
Kode Etik
Disclaimer
Term Of Service
Privacy Policy
Sitemap
Kontak Kami
Copyright © 2015 SINDOnews.com
read/ rendering in 0.3994 seconds
connection by :Biznet
source: http://nasional.sindonews.com/read/1055271/18/hari-santri-antara-janji-politik-dan-prinsip-keadilan-1445493132
Hari Santri, antara Janji Politik dan Prinsip Keadilan
Koran SINDO
Kamis, 22 Oktober 2015 − 12:52 WIB
Abd Rohim Ghazali
Penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri menyulut kontroversi. Ketua Umum
Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir tidak setuju penetapan ini karena
sama artinya dengan mengotakngotakkan umat sebagaimana kategorisasi Clifford
Geertz: santri-priyayi-abangan.
Penolakan senada disampaikan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin.
Dalam surat pribadi yang disampaikan kepada Presiden Joko Widodo, Din mengusung
sejumlah alasan mengapa tidak setuju dengan Hari Santri. Selain seperti yang
disampaikan Haedar Nashir, Din juga menekankan penetapan Hari Santri dengan
mengaitkannya dengan peristiwa Resolusi Jihad, 22 Oktober 1945, adalah bentuk
penyempitan jihad baik dari segi waktu, para pelaku, dan pemaknaannya.