Saturday, October 31, 2015

Meruwat Indonesia

Koran SINDO
Rabu, 21 Oktober 2015
Airlangga Pribadi Kusman



Dalam kosmologi Jawa, tradisi ruwatan adalah rangkaian aktivitas kebudayaan untuk membersihkan diri kita dari beban maupun kesalahan di masa silam yang membatasi langkah kita untuk menatap masa depan.

Prosesi meruwat adalah tradisi ritual yang dilakukan masyarakat Jawa untuk merehabilitasi hidup, baik dalam diri seseorang maupun hubungan antarkelompok dalam sebuah komunitas bersama. Dalam pemahaman akan makna kosmologis dari tradisi ruwatan inilah penting kiranya menghubungkan relevansinya dengan gagasan rekonsiliasi nasional atas peristiwa kekerasan struktural era 1965 yang kita kenang 50 tahun yang lampau.

Seperti halnya prosesi meruwat, perjuangan mewujudkan rekonsiliasi nasional dalam konteks kekerasan struktural negara era 1965 didasari pandangan filosofis bahwa manusia hidup di masa lalu, saat ini, dan masa depan. Kemampuan manusia untuk menuliskan kisah masa depannya kerap kali dibatasi oleh konsekuensi dari perbuatannya di masa lalu.

Hari Santri antara Janji Politik dan Prinsip Keadilan



Home
Politik
Hukum
Pertahanan
Humaniora
Edukasi
Indeks

Beranda
Nasional
Metro
Daerah
Ekbis
International
Sports
Soccer
Autotekno
Lifestyle
Photo
Video
Indeks

Sindonews
Berita Terbaru Seputar Ekonomi dan Bisnis di Indonesia dan Dunia

Home
Politik
Hukum
Pertahanan
Humaniora
Edukasi
Indeks

Nasional Opini

Reportase Koran SINDO
Pemerintah (Belum) Serius Tangani Asap
Terapkan Ilmu untuk Kepentingan Masyarakat
Kelas Menengah & Representasi Publik
more

PHOTO

Rumah Evakuasi di Pelambang Siap Tampung Korban AsapRumah Evakuasi di Pelambang Siap Tampung Korban Asap
Laku Pandai Akses Keuangan untuk SemuaLaku Pandai, Akses Keuangan untuk Semua
more

VIDEO

Minggu Tarif Tol Naik Minggu, Tarif Tol Naik
DPR Sahkan RUU RAPBN 2016 Jadi Undang undang DPR Sahkan RUU RAPBN 2016 Jadi Undang-undang
more

Hari Santri, antara Janji Politik dan Prinsip Keadilan

Koran SINDO
Kamis, 22 Oktober 2015 − 12:52 WIB
Hari Santri antara Janji Politik dan Prinsip Keadilan
Abd Rohim Ghazali
A+ A-

Penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri menyulut kontroversi. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir tidak setuju penetapan ini karena sama artinya dengan mengotakngotakkan umat sebagaimana kategorisasi Clifford Geertz: santri-priyayi-abangan.



Penolakan senada disampaikan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin. Dalam surat pribadi yang disampaikan kepada Presiden Joko Widodo, Din mengusung sejumlah alasan mengapa tidak setuju dengan Hari Santri. Selain seperti yang disampaikan Haedar Nashir, Din juga menekankan penetapan Hari Santri dengan mengaitkannya dengan peristiwa Resolusi Jihad, 22 Oktober 1945, adalah bentuk penyempitan jihad baik dari segi waktu, para pelaku, dan pemaknaannya.



Jika diuraikan lebih jauh, dari segi waktu, dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, jihad sudah berlangsung lama, bahkan sejak jauh sebelum kemerdekaan. Resolusi Jihad hanya satu episode singkat dari proses perjuangan untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan yang kemudian melahirkan sejarah Hari Pahlawan. Ini yang pertama.



Kedua, para pelaku sejarah jihad tidak bisa dibatasi pada mereka yang terlibat dalam Resolusi Jihad. Setiap episode perjuangan sudah pasti ada tokohtokoh pelakunya yang menjadi pelopor dan penggerak perjuangan. Sederetan nama pejuang yang sudah ditetapkan pemerintah sebagai pahlawan nasional menjadi bukti sekaligus rekognisi ketokohan mereka dalam setiap episode sejarah perjuangan yang dilakoninya.



Ketiga, yang paling penting, pemaknaan jihad tidak bisa dibatasipada perjuangan fisik belaka (harbi). Jihad harus dikembangkan maknanya secara lebih luas, seluas cakrawala kiprah kemanusiaan sesuai minat, bakat, dan tuntutan zaman. Perjuangan dibidang ekonomi, politik, hukum, dan iptek adalah bagian dari manifestasi makna jihad dalam spektrumnya yang luas.



Janji Politik



Penetapan Hari Santri merupakan salah satu janji yang disampaikan Jokowi saat kampanye politik saat menjelang pemilihan presiden untuk menjawab tuntutan umat khususnya warga Nahdlatul Ulama. Tuntutan yang diajukan saat kampanye sulit untuk tidak dipenuhi karena tujuan kampanye adalah untuk dipilih.



Mengabaikan tuntutan saat kampanye sama artinya dengan keengganan untuk dipilih. Lantas, mengapa muncul adagium, kampanye adalah satu hal dan memerintah adalah hal yanglain? Karena, antara janji-janji yang disampaikan saat kampanye tidak ekuivalendenganapayangharus dijalankan saat memerintah.



Tugas dan kewajiban saat kampanye, selain menyampaikan program, adalah menjawab pertanyaan dan tuntutan dari khalayak yang terlibat dalam proses kampanye. Sedangkan tugas dan kewajiban pemerintah adalah menjalankan dan mematuhi undang-undang yang disusun dan ditetapkan melalui proses legislasi yang juga diatur dengan undang-undang.



Janji yang disampaikan saat kampanye bisa ditunaikan saat memerintah sepanjang tidak bertentangan dengan undang- undang. Janji kampanye yang bertentangan dengan undangundang tidak boleh ditunaikan saat memerintah. Sedangkan janji kampanye yang tidak bertentangan dengan undang- undang, namun berpotensi melanggar undang-undang (karena bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan misalnya) tidak seharusnya ditunaikan saat memerintah.



Prinsip Keadilan



Penetapan Hari Santri menjadi pelajaran penting baik bagi para pemimpin (pemerintah) maupun masyarakat pada umumnya (rakyat). Bagi pemimpin, apalagi pemimpin nasional, seyogianya tidak terjebak pada kepentingan parokial. Pengutamaan kepentingan parokial sama artinya dengan pengabaian keadilan.



Menurut John Rawls dalam A Theory of Justice (1971), ada dua prinsip utama keadilan, yakni pertama, setiap orang mempunyai hak kebebasan yang sama atas kebebasan yang paling dasar dan luas, yang tidak dibedakan dengan yang lain; dan kedua, hak dalam bidang sosial dan ekonomi yang harus diatur agar tidak mengalami ketimpangan.



Terkait dengan tema tulisan ini, mari kita fokus pada prinsip keadilan pertama, yang berkaitan dengan hak-hak politik baik dalam implementasi maupun rekognisi. Dalam ranah implementasi, setiap orang punya hak untuk memilih dan dipilih dalam menduduki jabatan publik, punya hak kebebasan berbicara, berserikat, berkeyakinan, serta bebas dari perlakuan sewenang- wenang.



Dalam ranah rekognisi, setiap hak itu membutuhkan pengakuan pihak lain, terutama dari pemerintah. Tugas pemimpin adalah menjaga agar implementasi dan rekognisi dari hak-hak itu dilakukan secara adil, tidak mengutamakan yang satu dari yang lain. Dengan kata lain, menegakkan rule of law harus dijalankan dengan prinsip equality before the law.



Artinya, dalam memberikan pengakuan pada hak-hak setiap, atau sekelompok orang, harus dengan kadar yang sama, tanpa mengistimewakan yang satu dari yang lainnya. Bagi masyarakat secara umum (rakyat), penetapan Hari Santri bisa memberi pelajaran bahwa dalam menuntut hak kepada pemimpin pun harus berpijak pada prinsip-prinsip keadilan.



Dalam menuntut hak untuk diakui misalnya tidak boleh didasarkan pada kepentingan individu atau kelompok yang (berpotensi) mengabaikan atau melanggar hak-hak individu atau kelompok yang lainnya. Yang boleh atau bahkan harus dituntut dari pemimpin (pemerintah) adalah hak yang bisa diakui, dijalankan, atau dinikmati oleh semua warga negara, baik secara individual maupun kelompok. Wallahu alam !



Abd Rohim Ghazali

Direktur Eksekutif Yayasan Paramadina,

Wakil Ketua Umum Koornas Fokal IMM












(bhr)
dibaca 1.584x
Follow :
Facebook Share Button
178
Twitter Share Button
13
Google Plus Share Button
0
Feedly Follow Button
0

BERITA TERKAIT
opini

Demokrasi Berlaksa Epos

Candu Kleptokrasi

Drama dan Revolusi Mental

Penegakan Hukum yang Koruptif

Setahun Pemberantasan Korupsi Jokowi-JK

51 Tahun Golkar; Badai Pasti Berlalu

REKOMENDASI :
TERPOPULER

1
Menkumham Akan Patuhi Putusan MA Terkait Golkar dan PPP
2
Bahas RAPBN 2016 Alot, Fadli Dipanggil Prabowo Subianto
3
Pak Raden Tutup Usia
4
KSAU Ingin Indonesia Segera Punya Pesawat Beriev Be-200
5
Anggaran Gedung Baru DPR Rp740 Miliar Muncul di RAPBN 2016

BERITA TERKINI
Cerita Zulkifli Hasan di Balik Dukungan PAN ke Pemerintah

Cerita Zulkifli Hasan di Balik Dukungan PAN ke Pemerintah
TNI AU Tingkatkan Status Tujuh Lanud
Tangkal Terorisme, Menpora Ajak BNPT Goes to Campus
Ketum PAN: Cita-cita Reformasi Belum Sesuai Harapan
Menko Polhukam Sebut Ekonomi Akar Masalah Terorisme
PAN Gembleng 100 Mahasiswa Jadi Kader Muda
Bangun Kedaulatan Informasi, Kemhan Gandeng Perusahaan Antisadap
Kemudahan Memilih Tingkatkan Partisipasi Disabilitas

HOT TOPIC

# Kebakaran hutan
# Korupsi Bansos Sumut
# Dewan Perwakilan Rakyat
# Kabinet Jokowi-JK
# Politik Anggaran

Top
Find Us at :

MNC
CHANNEL

Nasional
Metro
Daerah
Ekbis
International
Sports
Soccer
Autotekno
Lifestyle
Photo
Video

MNC MEDIA

iNews TV
RCTI
Global TV
MNC TV
Koran Sindo
Sindo Weekly
Sindo Trijaya FM

MANAGEMENT

Tentang Kami
Redaksi
Karir
Kode Etik
Disclaimer
Term Of Service
Privacy Policy
Sitemap
Kontak Kami

Copyright © 2015 SINDOnews.com

read/ rendering in 0.3994 seconds
connection by :Biznet


source: http://nasional.sindonews.com/read/1055271/18/hari-santri-antara-janji-politik-dan-prinsip-keadilan-1445493132

Hari Santri, antara Janji Politik dan Prinsip Keadilan

Koran SINDO
Kamis, 22 Oktober 2015 − 12:52 WIB

Abd Rohim Ghazali


Penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri menyulut kontroversi. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir tidak setuju penetapan ini karena sama artinya dengan mengotakngotakkan umat sebagaimana kategorisasi Clifford Geertz: santri-priyayi-abangan.

Penolakan senada disampaikan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin. Dalam surat pribadi yang disampaikan kepada Presiden Joko Widodo, Din mengusung sejumlah alasan mengapa tidak setuju dengan Hari Santri. Selain seperti yang disampaikan Haedar Nashir, Din juga menekankan penetapan Hari Santri dengan mengaitkannya dengan peristiwa Resolusi Jihad, 22 Oktober 1945, adalah bentuk penyempitan jihad baik dari segi waktu, para pelaku, dan pemaknaannya.