Wednesday, January 20, 2016

Potret Perilaku Bermedia Sosial

DWI ERIANTO

Bagi para penikmat media sosial (medsos), berbagai layanan aplikasi yang berfungsi menjalin interaksi dengan pihak lain di dunia maya tersebut bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi, medsos mampu menyebarkan informasi dengan cepat dan masif. Namun, di sisi lain, medsos kerap dimanfaatkan sebagai alat untuk menyebarluaskan informasi bohong. Medsos pun berpotensi menjadi alat kejahatan atau teror tanpa disadari penggunanya.
TOTO S
Fenomena masifnya persebaran informasi melalui medsos tergambar jelas dalam peristiwa ledakan bom di kawasan Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, pekan lalu. Hanya dalam hitungan menit, peristiwa tersebut menyebar secara masif dan cepat lewat jejaring medsos. Sebagai suatu fakta, rangkaian informasi peristiwa ledakan bom itu bergulir secara viral, mulai dari informasi lokasi, kronologi kejadian, hingga dugaan pelaku serta korban, lengkap dengan beragam foto dan video.
Akan tetapi, di sisi lain, berbagai versi informasi bercampur opini, dibumbui rumor dan kabar bohong (hoax) dari peristiwa itu, juga berkelindan di dunia maya dan mendorong kecemasan sekaligus menjadi alat teror yang efektif bagi masyarakat. Butuh akal sehat untuk memilah atau menyaring serbuan informasi yang beredar di medsos agar masyarakat tak cepat terpengaruh oleh kabar bohong.
Tak dapat dimungkiri, medsos kini punya andil dalam membentuk opini publik terhadap berbagai isu. Hal itu terkait erat dengan perilaku pengguna medsos itu sendiri. Hasil survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas terhadap 1.414 warga Jakarta dapat dijadikan penanda potret perilaku masyarakat dalam menggunakan medsos perkotaan secara umum. Medsos sudah menjadi bagian dari kebutuhan sehari-hari sebagian masyarakat dalam mengonsumsi informasi.
Bagi warga Jakarta, medsos kini tak lagi hanya untuk berjejaring dengan teman atau kerabat. Sebagian besar penggunanya memanfaatkan medsos untuk mendapatkan informasi terkini. Mereka mendapatkan informasi itu melalui Facebook, Twitter, Instagram, Path, dan platform medsos lainnya. Tidak mengagetkan bila peristiwa peledakan bom dan penembakan yang dilakukan oleh kelompok teroris di Jalan Thamrin, pekan lalu, warga Ibu Kota lebih dahulu mengetahuinya lewat jejaring sosial di gawai mereka.

Kemiskinan Multidimensi, Tantangan Global Baru

Saat ini, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goal (SDG) bergulir memasuki tahun kedua. Perang terhadap kemiskinan ditempatkan sebagai tujuan global yang pertama. Menariknya, ada transformasi definisi kemiskinan dalam kesepakatan global ini.
TOTO S
Sebelumnya, dalam era Tujuan Pembangunan Milenium atau Millennium Development Goal (MDG), kemiskinan masih dipandang sebagai ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup dengan pendekatan konsumsi atau moneter. Kini, kemiskinan didefinisikan lebih luas, yakni dalam segala bentuk atau dimensinya.
Dalam poin SDG Tujuan 1.2 disebutkan bahwa seluruh negara membuat komitmen untuk mengurangi setidaknya separuh proporsi orang miskin, baik laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang tergolong miskin multidimensi berdasarkan definisinya di setiap negara pada 2030. Indonesia telah ikut menandatangani komitmen bersama ini dan akan melaporkan pencapaiannya setiap tahun.
Pada dasarnya, kemiskinan merupakan manifestasi dari ketimpangan kesempatan yang dimiliki setiap manusia. Ketimpangan kesempatan ini disebabkan oleh kapabilitas manusia yang timpang pula. Pengukuran kemiskinan yang memperhitungkan dimensi kapabiltas manusia, seperti pendidikan, kesehatan dan standar kualitas hidup, dapat menjadi acuan untuk mengidentifikasi karakteristik kemiskinan yang sebenarnya.
Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi 1998, dalam bukunya yang berjudulDevelopment as Freedom (1999), mengemukakan bahwa ukuran kemiskinan seseorang bukan hanya dinilai dari kekurangan uang, melainkan juga dari ketidakmampuan untuk mewujudkan potensinya sebagai manusia. Hal yang biasa kita gambarkan sebagai "menjadi manusia seutuhnya".