Tuesday, January 19, 2016

MEA: Kerja Sama atau Persaingan


M DAWAM RAHARDJO

KOMPAS  

ASEAN adalah organisasi supra-nasional yang dibentuk atas inisiatif pemerintahnegara-negaradi wilayah regional Asia Tenggara. Karena pemrakarsanya pemerintah, walaudengan latar belakang ideologi yang berbeda, kecenderungan tujuannya adalah kerja sama.
Sungguhpun demikian, ketika memasuki masa berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN(MEA) pada 2016, persepsi masyarakat Indonesia pada umumnya adalah bahwa masyarakat negara-negara ASEAN mulai memasuki erapersaingan dalam pasar bebas. Dengan perkataan lain, telah terjadi proses liberalisasi, khususnya dalam perdagangan dan investasi.
Dalam persepsi seperti itu timbul pertanyaan, apakah masyarakat Indonesia telah siap? Di sana tersirat suatu kerisauan, sehingga Presiden Joko Widodo mengimbau agar masyarakat tak risau, tetapi menghadapinya dengan optimisme dan yang penting mempersiapkan diri dalam menghadapi persaingan itu.
Sebenarnya, siap atau tidak, masyarakat di tiap negara telah memiliki kondisi sendiri-sendiri yang mencerminkan tingkat perkembangan dan daya saing ekonomi masing-masing. Misalnya, tingkat tertinggi kesejahteraan menurut Indeks Pembangunan Manusia adalah Singapura, bahkan negara itu tergolong kelompok 10 negara termaju di dunia. Sementara Indonesia jatuh ke nomor 5 di ASEAN. Di lain pihak Indonesia juga di posisi ke-5dalam kebersihannya dari korupsi. Tingkat korupsi ini cermin tingkatefisiensi yang memengaruhi daya saing ekonomi makro.

Sumbat Pelaporan Dana Desa


IVANOVICH AGUSTA

KOMPAS  

Kesulitan pelaporan penggunaan dana desa pada tahap pertama dan kedua telah memperlambat proses pencairan tahap terakhir (Kompas, 18-19 Desember 2015). Sayang, pemerintah lamban mengantisipasinya sehingga banyak desa bakal batal menerimanya.
Ketika turun ke lapangan di akhir November, tergali gabus penyumbat pada cacat prosedur pencairan dana dari pemerintah kabupaten ke desa. Ini berujung pada keruwetan tata cara pembuktian penggunaan di desa.

GBHN dan Amandemen UUD


BAMBANG KESOWO
KOMPAS Cetak | 19 Januari 2016 
Hanya dalam hitungan hari sejak Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri melontarkan pemikiran dalam rakernas partai tentang dibutuhkannya kembali Garis-garis Besar Haluan Negara, muncul begitu banyak tanggapan terhadapnya.
Ada yang mengatakan tidak perlu. Ada yang menyimak dengan sikap kritis. Ada lagi yang mengingatkan perlunya ide tersebut dikelola dengan baik agar tak menjadi bola liar, dan menjadi alat tawar-menawar politik. Sekalipun begitu, banyak pula yang setuju dengan gagasan itu demi keberlanjutan gerak dan pencapaian sasaran, dan demi efisiensi sumber daya, penyelenggaraan negara ini dapat diberi tuntunan yang satu, sama untuk semua, dan berlaku baku. Usulnya juga jelas dan konkret: agar GBHN diadakan kembali.
Masalahnya, bagaimana mewujudkannya. Karena ketiadaan GBHN saat ini berawal dari peniadaan ketentuan dalam UUD, logikanya, ya, mesti mengembalikannya ke dalam UUD. Konsekuensi logika tadi, mengubah lagi UUD. Masalahnya bukan mungkin atau tak mungkin. Banyak yang malah mengantisipasi dengan pertanyaan: akan sesederhana itukah langkah yang diperlukan, atau seberapa besarkah kemampuan kita mengelola kerumitan yang diperkirakan akan mengikutinya?

Deradikalisasi Nusantara


 SAID AQIL SIROJ
KOMPAS Cetak | 20 Januari 2016 

Sebuah buku bertajuk Deradikalisasi Nusantara kembali hadir di awal Januari 2016, buah karya Mayjen TNI Agus Surya Bakti yang kini menjabat Pangdam Wirabuana. Dari judulnya menyiratkan suatu gagasan besar pencegahan terorisme yang digayutkan dengan kearifan budaya Nusantara.
Tampaknya gagasan ini setakat dengan ”Islam Nusantara” yang saat ini terus didengungkan dalam rangka mencegah radikalisme.
Tentu gagasan ini tidak lahir dari ruang hampa. Ia tumbuh membesar karena dipacu oleh kegelisahan tentang negeri tercinta ini yang belakangan terus didera oleh ancaman kekerasan dan terorisme. Benih radikalisme yang sudah kadung ditanam dan disebar oleh para idiolognya sudah menyemai serta memakan banyak korban. Tak gampang menghabisi virus yang sudah menjangkit. Perlu ”rekam medis” dan ”obat penawar” yang tepat guna menghalau sumber penyakit yang akan menggerogoti keindonesiaan kita.