SAID
AQIL SIROJ
KOMPAS Cetak | 20
Januari 2016
Sebuah buku bertajuk Deradikalisasi
Nusantara kembali hadir di awal Januari 2016, buah karya Mayjen TNI Agus Surya
Bakti yang kini menjabat Pangdam Wirabuana. Dari judulnya menyiratkan suatu
gagasan besar pencegahan terorisme yang digayutkan dengan kearifan budaya
Nusantara.
Tampaknya
gagasan ini setakat dengan ”Islam Nusantara” yang saat ini terus didengungkan
dalam rangka mencegah radikalisme.
Tentu
gagasan ini tidak lahir dari ruang hampa. Ia tumbuh membesar karena dipacu oleh
kegelisahan tentang negeri tercinta ini yang belakangan terus didera oleh
ancaman kekerasan dan terorisme. Benih radikalisme yang sudah kadung ditanam
dan disebar oleh para idiolognya sudah menyemai serta memakan banyak korban.
Tak gampang menghabisi virus yang sudah menjangkit. Perlu ”rekam medis” dan
”obat penawar” yang tepat guna menghalau sumber penyakit yang akan menggerogoti
keindonesiaan kita.
Wabah kebiadaban
Ancaman aksi
terorisme masih menjadi bayangan kelam di 2016. Kasus-kasus hilangnya beberapa
orang dengan ragam profesi diduga terjerat jaringan radikalisme. Tiba-tiba kita
dihebohkan oleh kehadiran kelompok Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara) yang
ditengaraisebagai ”NII gaya baru”.
Senyampang itu, mata dunia terus terbelalak dengan
berbagai tindakanngawur para teroris seperti polah biadab ISIS.
Sungguh suatu perbuatan yang tak masuk akal yang mengusik tanya, ajaran apa
yang membuat mereka ini bertindak sedemikian kacau. Cobalah kita baca, seorang
pemuda di Suriah menembak mati ibu kandungnya di hadapan khalayak ramai
lantaran ibunya melarangnya bergabung dengan ISIS.
Di negeri
kita, ”aroma” seperti itu sudah mulai tercium walaupun tidak sebiadab di Timur
Tengah. Terjadinya ”pecah kongsi” antara anak dan orangtuanyaakibat perbedaan
pandang keagamaan. Atau menghilangnya beberapa orang yang terbuai rayuan
kelompok radikal tanpa hirau dengan nasihat keluarganya lantaran keluarganya
sudah dianggap ”kafir”.
Sikap dan tindakan radikal (tanathu’, tasyaddud)
memang bukan barang baru. Ia tak pernah mati gaya. Ibarat dunia fashion akan
terus melahirkan gaya yang baru yang bisa membuat orang akan mudah terpana.
Radikalisme bak ”korporasi”, banyak akal untuk menciptakan sesuatu yang dalam
penampakannya ”baru”. Ada daya upaya untuk menyiasati agar produknya bisa laku
keras di pasaran.
Para
”inovator” radikalisme akan selalu berusaha menciptakan penampilan baru, papan
nama baru, busana baru, atau bendera baru. Soal ”isi” tak penting karena bisa
mencomot yang sudah ada dan diyakini ”baku” (dogma). Para penggerak radikalisme
ini bisa mengendus ”permintaan pasar”, apa yang dibutuhkan masyarakat, di
saat-saat adanya kesenjangan ekonomi, kekisruhan politik, krisis keteladanan,
ketidakadilan, atau juga kekaburan masalah keagamaan. Mereka dengan sigap
tampil menyodorkan ”solusi” yang tampak menjanjikan.
Produk-produk
yang mereka lahirkan pun tampak ”diversifikatif” kendati itu hanya pada tataran
permukaan. Mereka memandang dengan ”mata elang”-nya bahwa ajaran Islam telah
banyak terselewengkan. Mereka meracau dan mengecam tatanan modern sebagai biang
keladi kekeruhan sosial dan agama.
Dengan kelebihan ”hormon” literalismenya, mereka
memandang bahwa segala tafsir terhadap ajaran Islam selama ini telah melenceng
jauh dari kebenaran. Namun, anehnya, mereka menampilkan rujukan sosok yang
mereka pandang sebagai ”mu’tabar” (otoritatif). Seperti halnya pemimpin
ISIS, yaitu Abdurrahman al-Baghdadi yang tidak jelas ”sanad’-nya, justru
dipandang sebagai ”amirul mukminin”.
Begitulah, penampakan kelompok-kelompok radikal
senantiasa beragam rupa. Mereka ada yang hanya fokus pada masalah ”pemurnian”
ajaran Islam dengan slogannya mengganyang segala bentuk bid’ah atau khurafat yang
tampil dalam tradisi masyarakat. Menurut keyakinan mereka, Islam akan menjadi
”jaya dan besar” (ya’lu wa la yu’la ’alaihi) bila dakwah diarusutamakan
pada pemberangusan apa yang mereka sebut sebagai bid’ah.
Dalam level gaya yang lain, mereka ada yang lebih
mengedepankan jalan ”militansi” dengan cara membuat gerakan militeristik (I’dad
askari) demi menghancurkan segala bentuk penampakan yang mereka kutuk
sebagai ”thoghut”.
Betapapun gaya mereka tampak beda, ada common
platform yang menyatukan pandangan mereka. Mereka sama-sama menolak
terhadap segala hal yang berbau bid’ah. Maksudnya, baik yang tampil
gaya ”moderat” maupun yang jelas-jelas radikal, sama-sama digelorakan oleh
semangat ”jihad” pemurnian agama. Mereka menolak segala bentuk ”inovasi budaya”
terutama bila disangkutkan dengan agama. Ya, mereka mengalami ”kebutaan budaya”
karena pemahaman picik. Coba kita lihat, apa yang telah dilakukan ISIS saat
berhasil menguasai suatu daerah. Mereka menghancurkan situs-situs purbakala
karena dipandang sebagai tempat syirik.
Kebajikan Nusantara
Negeri kita
punya ”warisan” radikalisme. Tak perlu banyak jabaran, kita cukup menatapi hingga
kini banyak ”area” yangmenjadi ”lahan” persemaian puritanisme dan radikalisme.
Semakin membesarnya kelompok radikal, semakin besar pula penolakan mereka
terhadap budaya Nusantara. Seolah inilah ”nasib” kita yang sampai detik ini tak
pernah sepi dari munculnya kelompok radikal baik radikal ”kelas pinggiran”
maupun radikal ”kelas eksekutif”. Tak heran,ketikaada ”ekspor” paham keagamaan
anti budaya seperti ISIS yang terus menabur badai, maka selalu ada yang
menuainya.
Saatnyakita menoleh pada moderatisme pesantren yang
senantiasa disinari oleh sebuah kredo ”almuhafadztu ’alal qodim al-sholih
wal akhdzu bi al-jadid al-ashlah”, yaitu melestarikan tradisi lama dan
mengambil hal-hal baru yang bermanfaat. Kredo ini melahirkan sikap ”melek
budaya” sehingga agama mampu bersanding harmonis dengan budaya lokal. Kearifan
lokal yang tersebar di Nusantara menjadi ”pasangan” bagi agama yang perlu
dirawat dan diruwat karena di dalamnya mengandung ajaranyang adiluhung.
Di sinilah
pentingnya mengembalikan anak bangsa yang terserang virus radikalisme pada
akarnya, yaitu budaya bangsa. Kearifan lokal, seperti tradisi gotong royong,
sikap harmoni dan toleransiadalah laksana sumur yang tak pernah kering
betapapun di musim kemarau. Ia akan selalu memancarkan mata air keteduhan di
tengah sengatan kegalauan.
Pendekatan
keagamaan ternyata tak niscaya mampu meredam radikalisme. Kadang kala justru
makin ”berkobar’ karena perbedaan pijakan dalil keagamaan. Masing-masing
bersikukuh lantaran merasa paling benar. Walhasil, ”kebajikan Nusantara” harus
menjadi ”obat penawar” bagi upaya deradikalisasi terhadap mereka yang galau dan
radikal. Para aktor radikal harus diberi pencerahan melalui nilai-nilai budaya
bangsa. Inilah keindonesiaan kita, kesadaran kita.
SAID AQIL
SIROJ, KETUA UMUM PBNU
Versi cetak artikel ini terbit di harian
Kompas edisi 20 Januari 2016, di halaman 6 dengan judul "Deradikalisasi
Nusantara".
A
No comments:
Post a Comment