IVANOVICH AGUSTA
KOMPAS Cetak |
Kesulitan pelaporan penggunaan dana desa pada tahap pertama
dan kedua telah memperlambat proses pencairan tahap terakhir (Kompas, 18-19
Desember 2015). Sayang, pemerintah lamban mengantisipasinya sehingga banyak
desa bakal batal menerimanya.
Ketika turun ke lapangan di akhir November, tergali gabus
penyumbat pada cacat prosedur pencairan dana dari pemerintah kabupaten ke desa.
Ini berujung pada keruwetan tata cara pembuktian penggunaan di desa.
Alpa akun transfer
Hasil penelitian dana dan wewenang desa oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Kementerian Dalam Negeri, awal Desember 2015, membelalakkan mata
berbagai pihak. Sumber penyempitan dana desa ternyata belum pernah diduga sejak
awal.
Dana desa dari Kementerian Keuangan kepada pemerintah kabupaten
mengalir lewat keran transfer daerah. Tata cara itu bergantung pada pemberi
transfer. Nawacita Presiden Joko Widodo untuk membangun dari pinggiran serta
amanat UU No 6/2014 tentang Desa kiranya menguatkan kepastian transfer rutin
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sayang, pemerintah pusat alpa mengatur prosedur aliran dana desa
dari pemerintah kabupaten ke pemerintah desa. Tepatnya, ada beragam akun
pemerintah daerah untuk menggunakan dana, tetapi sama sekali tidak ada akun
transfer pemerintah daerah kepada desa.
Akun transfer dana, seperti yang dipraktikkan Kemenkeu, memang
hanya butuh laporan penerimaan dana. Itulah yang dikira pemerintah pusat juga
berlaku dari kabupaten ke desa. Jika itu terjadi, memang pelaporan gampang,
hanya secarik kertas dilampiri bukti tabungan bendahara desa. Kenyataannya,
keran transfer desa tidak tersedia di kabupaten. Pemerintah pusat hanya
membolehkan satu akun yang relevan dibuka, yaitu bantuan pemerintah daerah
kepada desa. Pada titik inilah kerumitan pelaporan dimulai.
Berbeda dari kemudahan keran transfer, realitas pelaporan dana
desa yang mengalir melalui akun bantuan pemerintah daerah harus dilampiri
bukti-bukti penggunaannya sampai dana tersebut habis. Setelah itu, baru desa
berhak mengajukan permintaan dana tahap berikutnya.
Desa yang berpengalaman dengan proyek pemberdayaan mudah
menyiapkan berkas pembuktian anggaran. Apalagi, sebagian pendamping
pemberdayaan masih tinggal di desa hingga November 2015, dan turut menyiapkan
lampiran laporan dana desa.
Namun, aparatur pemerintah desa yang belum berpengalaman menyusun
laporan proyek menjadi beban pemerintah daerah. Karena itu, pemerintah
kabupaten berinovasi guna memastikan dana desa terserap sepenuhnya.
Sebagian kepala badan pemberdayaan masyarakat tingkat kabupaten
mendampingi satu per satu pemerintah desa dari perencanaan hingga penyusunan
lampiran laporan dana desa. Ada pula yang melonggarkan aturan
pertanggungjawaban. Berkas bukti penggunaan ditunda dikumpulkan hingga seluruh
dana desa diterima.
Faktor eksternal jadi kesukaran nyata. Hujan berhari-hari pada
akhir tahun melunturkan semen proyek-proyek prasarana desa. Padahal, Peraturan
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Permendesa PDTT)
No 5/2015 mendesakkan penggunaan dana desa untuk infrastruktur. Tak ada pula
layanan informasi pencairan dana desa, terutama di wilayah terpencil.
Pemerintah desa terlambat menerima informasi tersebut, selanjutnya telat pula
menggunakannya.
Diskresi membebaskan
Karena permasalahan bersumber dari pusat, yang terbaik pemerintah
segera menyusun diskresi pengunduran tenggat pelaporan dana desa. Merujuk PP No
60/2014 Pasal 24, pelaporan dapat diakhiri hingga minggu keempat Januari 2016.
Selama periode diskresi, Kemendagri melalui Ditjen Bina Keuangan
Daerah mesti secepatnya mengumumkan peraturan tambahan akun transfer pada
keuangan pemerintah kabupaten ke pemerintah desa. Akun ini diyakini membuka
pintu transfer dana desa dari APBN ke desa.
Sistem informasi keuangan desa yang telah dirancang Kemendagri
bersama Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan harus segera
diimplementasikan secara daring. Tujuannya, layanan daring dapat segera disusun
sehingga data dari desa senantiasa dikomunikasikan dengan basis data keuangan
daerah di kabupaten dan provinsi, serta basis data anggaran nasional Kemenkeu.
Komunikasi antarbasis data keuangan lintas birokrasi inilah
sebenarnya pokok substansi koordinasi antarkementerian pengurus desa, terutama
Kemendesa PDTT, Kemendagri, Kemenkeu, dan Bappenas.
Materi pelatihan desa ada baiknya ditambah praktik pengumpulan
berkas pendukung laporan dana desa. Peraturan Mendagri tentang pedoman
penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah perlu mencakup arahan
pembiayaan bagi tim pendampingan aparatur pemerintah desa. Mereka berfungsi
membina setiap pemerintah desa menyiapkan, mencairkan, menggunakan, dan
melaporkan dana desa.
Kantor cabang bank
penyalur dana desa sebaiknya turut menyampaikan informasi pencairan dana desa,
terutama ke desa terpelosok. Edukasi phone
banking bisa diarahkan
kepada bendahara desa. Mendagri perlu memastikan aturan tata cara penggunaan
dana desa. Seperti aturan pengadaan barang dan jasa, kerja sama dengan pihak
ketiga, penyertaan modal badan usaha milik desa, bantuan kepada warga miskin,
dan pengembangan aset desa.
IVANOVICH AGUSTA,
SOSIOLOG PEDESAAN IPB
Versi cetak artikel ini terbit
di harian Kompas edisi 18 Januari 2016, di halaman 6 dengan judul "Sumbat
Pelaporan Dana Desa".
No comments:
Post a Comment