Pada 22 September 2015, Mahkamah
Konstitusi dalam putusan Nomor 76/PUU XII/2014 telah merekonstruksi
mekanisme pemeriksaan anggota DPR.
Semula, berdasarkan Pasal 245
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD (UU MD3), pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan
terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat
persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Ketentuan ini
kemudian dinyatakan MK inkonstitusional bersyarat sepanjang frase
"persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan" tidak dimaknai
"persetujuan tertulis dari Presiden".
Artinya, pemanggilan dan
permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga
melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari
Presiden. Dalam konteks inilah MK telah merekonstruksi mekanisme "izin
MKD" menjadi "izin Presiden".
Setidaknya terdapat tiga hal yang
menjadi pertimbangan hukum mengapa MK menetapkan pemeriksaan anggota
DPR perlu mendapat izin Presiden.
Ketika lebih dari 110.000 orang
mengalami penyakit pernapasan, seperti infeksi saluran pernapasan akut
dan sejenisnya, serta ratusan ribu orang di lebih dari lima provinsi di
Kalimantan dan Sulawesi berpotensi harus dirawat inap, pemerintah
pusat-termasuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana-masih bingung dan
terjebak dalam tindak apologi yang tidak kreatif.
Mereka
tersesat dalam klaim sepihak yang berlawanan dengan prinsip utama
penanggulangan darurat bencana, yakni secara cepat dan efektif
menyelamatkan manusia dan secara serius mengembalikan situasi krisis
menjadi normal dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Salah satu
argumentasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang perlu
dikritisi adalah bahwa BNPB belum melihat kematian literalis 500 orang.
Ironisnya, BNPB mengklaim, beberapa kriteria, seperti kerugian harta
benda, kerusakan sarana dan prasarana, cakupan luas wilayah yang terkena
bencana, dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan, belum terpenuhi
untuk disebut sebagai bencana nasional.
Syarat ini lalu ditambah
dengan catatan bahwa kerugian lebih dari Rp 1 triliun, cakupannya
beberapa kabupaten/kota lebih dari satu provinsi, serta pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten tidak mampu mengatasinya belum
terjadi. Dari pernyataan itu bisa dikatakan bahwa kategori bencana
nasional versi BNPB hanya menggunakan kriteria kematian literalis yang
hingga kini belum terpenuhi.
Berhitung skala bencana
Secara
epistemologi, pembuktian kematian yang hanya dimaknai sebagai bentuk
fisik mayat menunjukkan mentalitas penanggulangan bencana yang buruk
dan sama sekali tak mencerminkan komitmen pada ketangguhan dan
kedaulatan rakyat. Seolah-olah kita harus menanti 500 mayat untuk
kemudian statusnya baru bisa ditetapkan sebagai bencana nasional. Cara
pandang ini mengkhianati komitmen Indonesia dalam Kerangka Kerja Sendai
untuk Pengurangan Risiko Bencana (Sendai Framework for Disaster Risk
Reduction) 2030.
Selain berfungsi sebagai penunggu kematian, institusi tanggap bencana seharusnya tahu ada cara lain untuk menghitung kematian ex-ante,yang
tidak harus menunggu orang meninggal. Dalam satuan mortalitas versi
lain dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) diperkenalkan istilah quality-adjusted life-year (penyesuaian kualitas hidup/QALY).
Apabila ada kematian 500 anak balita, bisa diperkirakan ekuivalen
dengan QALY adalah sebanyak hampir 54.000 QALY. Sementara bila dilihat
dari laporan Kompas edisi 26 September 2015, ketika indeks polusi mencapai 2,314 (660 persen) dari batas toleransi indeks polusi (PSI 350) dengan exposure harian hingga tahunan, kehidupan rata-rata orang bisa berkurang menjadi 5 persen-15 persen.
Secara
simplistik, apabila umur harapan hidup manusia Indonesia adalah 70
tahun, akibat keterpaparan asap selama 24 jam dengan skala PSI 350, sama
saja dengan membuat terjadinya kehilangan hidup 3,5 tahun per orang (5
persen). Maka, tingkat kehilangan umur hidup manusia yang berjumlah
lebih 20 juta yang terpapar asap dalam sebulan ini bisa mencapai 87 juta
hingga 250 juta QALY (setara minimum di atas 1 juta orang meninggal)
atau jauh lebih tinggi dari standar 54.000 QALY (setara 500 orang
meninggal).
Penghitungan di atas bisa dikoreksi jika Anda merasa
berlebihan. Hal utama yang perlu dicatat adalah penggunaan QALY
(kehilangan tahun hidup) dalam studi bencana bukan hal baru dan bisa
ditemukan dalam Laporan UNISDR 2015 yang diluncurkan dalam Konferensi
Bencana Dunia yang dihadiri delegasi Indonesia.
Sejauh ini,
argumentasi yang dibangun BNPB terkait kebakaran hutan hanya mengantar
orang pada gelombang kekeliruan. Dengan klaim prosedural, BNPB
mengajukan argumentasi bahwa penetapan status kebakaran hutan saat ini
belum layak dijadikan sebagai bencana nasional.
Alasannya,
"Penetapan status dan tingkatan bencana seperti yang diamanatkan UU No
24/2007 tentang Penanggulangan Bencana dalam bentuk peraturan presiden
belum ditetapkan karena dalam praktiknya sulit." Lalu dilanjutkan,
"Hingga saat ini PP tersebut belum ditetapkan karena belum adanya
kesepakatan berbagai pihak. Draf PP atau Raperpres Penetapan Status dan
Tingkatan Bencana ini sudah dibahas lintas sektor dan lembaga
nonpemerintah sejak 2009 hingga sekarang. Berulang kali dibahas dengan
unsur pengarah BNPB, bahkan dilakukan workshop nasional.
Namun, belum ada kesepakatan." Demikian bunyi status Facebook Kepala
Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho di, Rabu
(30/9/2015).
Pernyataan ini seolah-olah menyatakan bahwa Presiden
tak bisa menetapkan status bencana nasional. Landasan status bencana
nasional lewat Keppres No 112/2004 dan Keppres No 66/1992 hanya
didasarkan pada UUD 1945 Pasal 4 Ayat (1) (Presiden memegang kekuasaan
pemerintahan berdasarkan UUD) dan Keppres terkait Badan Koordinasi
nasional (Bakornas). Padahal, seharusnya status bencana nasional sudah
bisa ditetapkan dengan alasan kemanusiaan ataupun kalkulasi potensi
risiko nasional/regional meskipun belum ada PP khusus yang mengatur soal
standar status bencana nasional karena hak menetapkan status bencana
adalah hak prerogatif presiden dan ini tidak semata "perkara prosedur".
BNPB
juga secara historis keliru ketika mengatakan penetapan status
bencana nasional baru sekali terjadi dengan dikeluarkannya Keppres No
112/2004 tentang Penetapan Bencana Alam Gempa Bumi dan Gelombang Tsunami
di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam & Provinsi Sumatera Utara.
Padahal, jauh sebelumnya, dengan skala yang lebih kecil, Presiden
Soeharto pernah mengeluarkan Keppres No 66/1992 tentang Penetapan
Bencana Alam di Flores sebagai Bencana Nasional. Apabila sejarah
penanggulangan bencana secara sadar terlupakan oleh sistem formal, kita
tidak selalu harus menerima argumentasi BNPB.
Solidaritas kawasan
Keterlambatan
tindakan tanggap bencana kebakaran hutan 1997/1998 telah mengakibatkan
kerugian ekonomis yang tinggi, yakni setara 4,5 miliar dollar AS per
1998 atau sekitar Rp 72 triliun kerugian domestik saat itu. Kerugian
riil bisa lebih tinggi, bergantung cara kalkulasi dengan valuasi economic loss, belum termasuk valuasi biodiversity loss, ecosystem services,
dan lain-lain. Jika ditambah kerugian regional (Singapura dan Malaysia)
yang mencapai 11 miliar dollar AS, ini jelas sebuah bencana regional
Asia Tenggara.
Asap mungkin berlanjut hingga Oktober-November
apabila El-Nino bertambah kuat sesuai prediksi BMKG awal September lalu.
Anda tidak harus menunggu agar kelima syarat yang diajukan di atas
terpenuhi secara sempurna karena penetapan bencana nasional tidak harus
bersifat eksklusif-mutual: satu prasyarat menghilangkan prasyarat
lainnya. Sebaliknya, masuknya satu prasyarat seharusnya memberikan
legitimasi kepada Presiden untuk menetapkan suatu peristiwa sebagai
bencana nasional.
Kalaupun rakyat kita begitu tahan menderita
atau pemerintah mampu tega kepada penderitaan rakyat, setidaknya kita
harus mampu menciptakan ruang solidaritas kawasan atas dampak regional
yang sudah dirasakan di tingkat ASEAN. Khusus mengenai bencana asap dan
target emisi rumah kaca, tunjukan bahwa Indonesia pun mampu memainkan
peran dalam environmental stewardship bukan hanya untuk ASEAN, melainkan juga untuk planet ini.
Jonatan A Lassa
Research Fellow di RSIS Nanyang Technological University, Singapore; Fellow di IRGSC Kupang, Indonesia
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas ed
Dua petani yang menolak
penambangan pasir di Lumajang, Jawa Timur, telah dianiaya secara keji
sehingga satu orang tewas dan satu orang luka berat, Sabtu (26/9) lalu.
Penyebabnya,
dua korban ini dianggap sebagai pemimpin gerakan demonstrasi untuk
menentang penambangan pasir di Desa Selo, Awar-awar, Pasirian. Sehari
kemudian, polisi menahan 18 pelaku. Diperoleh keterangan, mereka
menyatakan kesal kepada pelaku yang menggalang aksi demo terus-menerus
untuk menolak kegiatan tambang (Kompas, 29/9/2015).
Sekitar
sebulan sebelumnya, 28 Agustus 2015, pembunuhan juga dilakukan oknum
aparat ketika warga melarangnya melintasi jalan yang sedang ditutup
sebagian untuk acara ritual memukul tifa di Timika, Papua. Larangan itu
menjadi pemicu konflik yang berujung pada penembakan. Dua warga tewas
akibat luka tembak di perut yang tembus hingga punggung dan luka di
bawah telinga, tiga lainnya mengalami luka-luka.
Kontroversi penegakan hukum di
Indonesia ini memang unik dan menarik, apalagi kalau berkaitan dengan
Komisi Pemberantasan Korupsi.
Betapa tidak, penegakan hukum di alam demokrasi ini akan selalu melihat orientasi balanced of interest di antara tiga pilarnya: masyarakat, negara, dan penegak hukum itu sendiri. Eksistensi tiga pilar itu memiliki fungsi checks and balances untuk memperoleh hasil akhir berupa penegakan hukum yang adil dan sejati.
Korupsi sistemik
Sebelum
membahas isu pokok perspektif hukum ini, perlu dikedepankan bahwa
persoalan korupsi tetap akan menjadi fokus monopoli penegakan hukum,
khususnya terkait peran strategis Kejaksaan Agung, Polri, KPK, maupun
pengadilan. Korupsi sistemik atau korupsi kelembagaan merupakan bukti
bentuk kejahatan yang sulit pembuktiannya yang tumbuh subur sejalan
dengan kekuasaan ekonomi, hukum, dan politik. Layaknya penyakit, maka
korupsi jenis ini dikategorikan sebagai penyakit misterius yang kadar
penyembuhannya sangat minim dan selalu jadi uji coba bagi
penanggulangannya. Hasilnya pun kadang kala sudah dapat diprediksi
secara pesimistis, yaitu tidak searah dengan kebijakan masyarakat untuk
memberantas korupsi.