Wednesday, December 28, 2016

Indeks Demokrasi Indonesia

OPINI > ARTIKEL > INDEKS DEMOKRASI INDONESIA

Indeks Demokrasi Indonesia

Dapatkah demokrasi diukur? Ya, itu bisa. Setiap tahun sejak tahun 2009, Indeks Demokrasi Indonesia mengukur demokrasi di negeri ini. IDI telah menjadi kisah sukses kontribusi terhadap pembangunan demokrasi di Indonesia, baik di tingkat nasional maupun daerah.
IDI adalah produk nasional yang menyediakan informasi berharga tentang keadaan demokrasi di Indonesia. Indeks ini diciptakan oleh para pemangku kepentingan nasional dan dipimpin oleh sekelompok ahli dalam panel independen. Ini tanda kematangan demokrasi di mana pemerintah dan masyarakat bersedia untuk secara terbuka mengevaluasi diri dan mengukur kinerja lembaga dan sistem. Demokrasi—bahkan di negara-negara dengan demokrasi tertua— tidak pernah bisa ditelantarkan seolah bisa berjalan sendiri.
Demokrasi berkembang dengan kekuatan dan kelemahan. Terdapat berbagai pencapaian dan kadang mengalami kemunduran. Demokrasi perlu selalu dilindungi, dipertahankan dan ditingkatkan untuk kepentingan rakyat dan stabilitas negara.
IDI dapat menjadi alat yang paling berharga untuk mencapai hal ini. IDI mencakup 28 indikator yang berhubungan dengan tiga dimensi penting demokrasi, yaitu kebebasan sipil, hak-hak politik, dan lembaga-lembaga demokrasi. Indeks ini juga menawarkan data terpilah di tingkat provinsi untuk analisis yang lebih mendalam.

Tensi Politik Pasca Ahok Tersangka

dok pri
 Arif Nurul Imam, Peneliti Politik POINT Indonesia.


Wednesday, 16 November 2016, 19:55 WIB

Tensi Politik Pasca Ahok Tersangka

Red: Heri Ruslan
Arif Nurul Imam, Peneliti Politik POINT Indonesia.
REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Arif Nurul Imam*

Calon gubernur pejawat Basuki Tjahaja Purnama atau akrap disapa Ahok akhirnya ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri. Cagub DKI Jakarta nomor urut dua ini, selain ditetapkan sebagai tersangka juga dicegah bepergian ke luar negeri lantaran kasus dugaan penistaan agama terkait surah al-Maidah ayat 51.

Pernyataan Ahok yang dilakukan pada 27 September 2016 di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu tersebut, dinilai melanggar Pasal 156a KUHP dan Pasal 28 Ayat (1) UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Meski demikian, Ahok tidak serta merta digugurkan sebagai kontestan dalam Pilkada sebagaimana aturan yang berlaku.

Sosok kontroversial Ahok menjadi sorotan publik bukan hanya karena tutur katanya yang kerap kasar dan arogan, melainkan juga lantaran kebijakannya seringkali bertentangan dengan aspirasi publik, seperti kebijakan proyek reklamasi dan penggusuran perkampungan warga. Apalagi pasca-pernyataannya di Kepulauan Seribu yang menyinggung sebagian besar umat Islam.

Aksi unjuk rasa 4 November lalu yang diikuti ratusan ribu peserta dari berbagai daerah di Indonesia, secara terang menuntut Ahok untuk segera diproses di meja hijau. Aksi unjuk rasa terbesar sejak Orde Baru tumbang ini didasari oleh dugaan bahwa Ahok dilindungi oleh Presiden Joko Widodo sehingga proses hukum dianggap berjalan lamban.

Dugaan tersebut muncul lantaran Ahok dipandang memiliki “kedekatan khusus” dengan mantan Walikota Solo tersebut, bahkan ada pihak yang menduga Presiden tersandera oleh Ahok sehingga harus melindungi kasus tersebut.

Kearifan Panakawan

INDRA TRANGGONO

Panakawan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong selalu hidup rukun. Meskipun sering berselisih paham dan saling mengkritik serta mengejek, mereka tetap solid dan kompak.
Gareng, Petruk, dan Bagong tak pernah bersekongkol untuk makar dan menggulingkan kepemimpinan Semar agar mereka bisa lebih dekat dan masuk lingkaran kekuasaan Arjuna, bos mereka. Bagi mereka, menghormati pemimpin secara kritis merupakan etika yang mesti disunggi tinggi, termasuk menghormati Semar, sang pemimpin kultural dan spiritual. Semar adalah pengejawatahandewa, yang diturunkan di bumi untuk menuntun ksatria Pandawa.
Selain itu, Gareng, Petruk dan Bagong sangat meyakini bahwa keselarasan mampu menciptakan kerukunan. Prinsip mereka: rukun agawe santosa, crah agawe bubrah (kerukunan menciptakan kekuatan dan permusuhan menimbulkan kehancuran). Gambaran itu bisa didapatkan dalam lukisan kaca pelukis tradisional, seperti Citrowaluyo dan Sastrogambar, antara lain bertajuk ”Rukun Agawe Santosa”.

Penegakan Hukum Pemilu

RAMLAN SURBAKTI

Ketika Komisi Pemilihan Umum menetapkan dan mengumumkan hasil pemilu, kalangan masyarakat umum menilai legitimasi suatu proses penyelenggaraan pemilu dari dua segi. Pertama, apakah hasil pemilu bebas dari manipulasi. Kedua, apakah pelanggaran hukum pemilu ditegakkan secara adil.
Karena itu, efektivitas penegakan hukum dan penyelesaian sengketa pemilu merupakan dimensi yang sangat penting untuk keabsahan suatu pemilu.
Tiga ketentuan yang harus ditegakkan dalam proses penyelenggaraan pemilu adalah ketentuan administrasi pemilu (KAP), ketentuan pidana pemilu (KPP), dan kode etik penyelenggara pemilu (KEPP). Penegakan KEPP selama ini lebih efektif daripada penegakan KAP dan KPP. Namun, penegakan KEPP bukan tanpa masalah karena dalam sejumlah kasus DKPP bertindak melebihi kewenangannya.
Penegakan KAP relatif lebih efektif daripada penegakan KPP, tetapi penegakan KAP juga mengalami banyak masalah. Apa saja yang menjadi KPP, jauh lebih jelas terinci daripada apa saja yang menjadi KAP, tetapi penegakan KPP merupakan yang paling tidak efektif. Penyelesaian sengketa hasil pemilu jauh lebih efektif daripada proses penyelesaian sengketa administrasi pemilu, baik dari segi waktu maupun dari segi putusan. Proses penyelesaian sengketa administrasi pemilu sering kali melewati jadwal tahapan pemilu. Walaupun demikian, proses penyelesaian sengketa hasil pemilu bukan tanpa masalah. Itulah hasil evaluasi secara umum tentang sistem penegakan hukum dan penyelesaian sengketa pemilu pada beberapa pemilu terakhir.

Demokrasi Agonistik


Menyongsong perhelatan demokrasi Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta tahun 2017, suasana politik menegang dan memanas.
Kebebasan bermanuver dan konflik politik pada paruh akhir tahun 2016 bertambah riuh gemanya, lebih-lebih dalam ruang media sosial, seperti Facebook, Twitter, Youtube, atau WhatsApp. Sebagian kalangan, baik akademisi maupun politisi, pun bertanya-bertanya tentang kualitas atau implementasi nilai-nilai demokrasi yang tengah berlangsung di Indonesia pada hari ini.
Pesimisme terhadap masa depan demokrasi pun tak ayal akhirnya bermunculan. Bahkan, skenario konflik terburuk seolah sudah terbayang di depan mata. Betulkah demokrasi di Indonesia sedang mengalami krisis?
Benarkah aksi-aksi politik yang terjadi beberapa waktu belakangan ini menjadi ancaman bagi demokrasi? Masih bisakah kita optimis untuk terwujudnya masa depan demokrasi yang lebih baik di Indonesia?

Realokasi Kursi DPR

OPINI > ARTIKEL > REALOKASI KURSI DPR
Pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia diakui sebagai salah satu yang paling kompleks di dunia. Perekayasaan sistem pemilu (election system engineering) lewat beragam varian perangkat teknis pemilu, seperti besaran daerah pemilihan (district magnitude), ambang batas (threshold), daftar calon, dan cara konversi suara menjadi kursi, telah secara signifikan dicobakan setidaknya sejak Pemilu 1999.
Namun, impian untuk mendapatkan sistem pemerintahan presidensial yang kuat ataupun sistem multipartai yang terbatas belum sepenuhnya terwujud.
Parameter indeks sistem kepartaian (effective number of parliamentary parties) yang meningkat dari 4,72 pada Pemilu 1999, menjadi 7,07 pada Pemilu 2004, dan 8,16 pada Pemilu 2014 memperlihatkan bahwa penciutan daerah pemilihan dan peningkatan ambang batas terbukti tidak mampu menghasilkan konsentrasi partai politik yang efektif.
Kompleksitas sistem terbukti telah menyulitkan peramalan dan/atau pengukuran efek dari perangkat teknis pemilu yang diterapkan. Hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari realitas bahwa, terutama di negara demokratis yang belum mapan, sebuah sistem pemilu merupakan akumulasi kompromi dari beragam kelompok-kepentingan.