Tuesday, February 28, 2017

Demokrasi Kita Terlalu Kebablasan



Demokrasi Kita Terlalu Kebablasan
 Pertama, banyak pertanyaan kepada saya. Presiden Jokowi dalam 4-5 bulan akhir ini, kita banyak disuguhkan oleh persoalan-persoalan bangsa yang banyak menjadikan tanda tanya kita. Apakah bangsa kita masih bersatu? Saya jawab bangsa kita masih bersatu.
Memang pemahaman konsep, pemahaman nilai-nilai kebangsaan inilah yang terus harus kita gaungkan. Dan dalam 4-5 bulan ini mengingatkan kita semuanya. Betapa masih banyak yang harus kita perbaiki. Betapa banyak yang masih harus kita benahi. Terutama dalam memahami konsep dan nilai-nilai kebangsaan yang semua rakyat harus tahu betul.
Betapa kita ini sangat beraneka ragam, betapa kita ini sangat majemuk. Dan keanekaragaman yang melekat pada bangsa Indonesia ini menjadi jati diri, menjadi identitas, sekaligus entitas Indonesia sebagai suatu bangsa. Keanekaragaman tersebut telah menyatu dalam kehidupan masyarakat dan menjadi simbol kerukunan dan keharmonisan dari rakyat.
Oleh sebab itu, harus kita jaga terus apa yang sudah menjadi anugerah dari Tuhan kepada kita. Sebagai bangsa yang besar, yang majemuk, yang beraneka ragam.
Banyak juga yang bertanya kepada saya: Apakah demokrasi kita ini sudah terlalu bebas dan sudah keblabasan? Saya jawab, iya. Demokrasi kita ini sudah terlalu kebablasan. Dan praktek demokrasi politik yang kita laksanakan telah membuka peluang terjadinya artikulasi politik yang ekstrim, seperti liberalisme, radikalisme, fundamentalisme, sektarianisme, dan terorisme, serta ajaran yang lain, yang bertentangan dengan ideologi kita Pancasila.

Pelangi Indonesia

Pelangi Indonesia
Yudi Latif
(Kompas, Selasa, 21 Februari 2017)


Di dalam agama cinta (rahman-rahim), kebenaran dan keadilan tak mengenal penganut dan bukan penganut. Cinta memeluk semuanya. Warga bangsa boleh berbeda keyakinan, tetapi cinta menyatukannya. Kekuatan mencintai dengan melampuai perbedaan inilah yang melahirkan pelangi Indonesia yang indah. Dengan ini, pemilihan Kepala Daerah secara serentak berlalu dengan relatif damai, menyisakan Pilkada DKI Jakarta di pusat pertaruhan.
Di 101 daerah yang menyelenggarakan Pilkada, orang dengan berbagai latar agama bisa dipilih dan memilih tanpa diskriminasi dan intimidasi. Di berbagai tempat, bahkan partai Islam, seperti Partai Keadilan Sejahtera, bisa mengusung calon kepala daerah yang agamanya bukan Islam. Situasi ini menggambarkan determinasi peradaban cinta yang masih terpatri pada jatidiri bangsa. Di sekujur tubuh kebangsaan, titik rawan daya cinta ini justru terletak di Ibu kota negara. Di Jakarta, daya pompa jantung politik dalam mengalirkan darah cinta mengalami pelemahan, terdesak penguatan aliran daya benci.
Kehilangan daya cinta di Ibu kota negara bisa menjadi pangkal kehilangan Indonesia. Harmoni dalam kemajemukan adalah kode genetik bangsa ini. Modal unggulan Indonesia yang bisa dibanggakan pada dunia. Dengan kemerosotan daya cinta, Indonesia akan mengalami kerusakan gen.
Berbilang bangsa dalam zona keseragaman terguncang hadapi globalisasi keragaman. Bahkan bangsa maju kembali mengeja multikulturalisme secara tergagap. Tak sedikit gagal, berujung populisme dengan supremasi tribalisme anti asing, anti perbedaan. Berutung, Indonesia banyak makan asam garam. Bangsa maritim di tengah persilangan arus manusia dan peradaban dunia, terbiasa menerima perbedaan. Jauh sebelum merdeka, para pemuda lintas etnis dan agama sudah menemukan penyebut bersama dalam keragaman bangsa. Saat dasar negara dan konstitusi Indonesia dirumuskan, perwakilan berbagai golongan terwakili, menghadirkan negara semua buat semua.

Hunian untuk Rakyat

Hunian untuk Rakyat

Dalam kerasnya pertarungan Pilkada 2017 di DKI Jakarta, salah satu yang mengemuka adalah pemikiran atau janji untuk menghadirkan program penyediaan rumah bagi warga Jakarta dengan uang muka 0 persen.
TOTO S
Janji ini sontak menjadi perdebatan hebat, terutama di media sosial, baik antara pengamat, tim sukses, maupun para pendengung. Keriuhan ini wajar karena janji ini seperti guyuran hujan di tengah kemarau, mengingat semakin mahalnya harga rumah di Jakarta yang membuat warga semakin tidak mampu membeli.
Tulisan ini tidak untuk menyanggah atau mendukung janji tersebut secara buta, tetapi untuk melihat secara komprehensif jika janji tersebut diwujudkan. Oleh karena itu, saya akan menganggap bahwa janji tersebut dilaksanakan dan mencoba melihat apa yang akan terjadi di belakang. Juga akan dilihat kemungkinan-kemungkinan lain dalam upaya penyediaan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Asumsi di awal, skema ini akan diberikan kepada masyarakat berpenghasilan terbatas yang belum memiliki hunian. Skema ini juga diasumsikan ditujukan pada pembelian hunian rumah susun yang sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 diharapkan menjadi solusi pemenuhan kebutuhan masyarakat akan hunian, bukannya rumah tapak.

Ekonomi Politik Pengadaan

Ekonomi Politik Pengadaan

Laporan tahunan Komisi Pemberantasan Korupsi tahun 2016 mengungkap bahwa modus korupsi yang paling banyak ditangani meliputi tindak pidana korupsi terkait suap-menyuap, pengadaan barang dan jasa, serta pencucian uang.
Sudah jamak diketahui publik, pengadaan barang dan jasa masih jadi sektor paling rawan terjadinya korupsi. Bahkan, dalam banyak kasus suap-menyuap selalu beririsan dengan kepentingan untuk mendapatkan proyek-proyek yang dibiayai oleh negara.
Pada satu sisi, pengadaan barang dan jasa (PBJ) adalah bagian dari kebutuhan untuk memberikan pelayanan kepada publik. Di sisi lain, ada potensi kerugian begitu besar jika terjadi penyimpangan. Hal ini semakin mengkhawatirkan ketika sistem PBJ tidak selalu mampu memitigasi terjadinya korupsi.
Masalah ini patut jadi catatan penting bagi rezim Joko Widodo- Jusuf Kalla (Jokowi-Kalla) mengingat program pembangunan infrastruktur yang dicanangkan menggelontorkan dana tidak sedikit, bahkan ada yang dibiayai dari utang. Sementara sistem pengawasan terhadap megaproyek ini hanya disandarkan pada pengawasan konvensional yang selama ini ada.

Seputar Ambang Batas Pilpres

KORAN SINDO Edisi 28-02-2017
Seputar Ambang Batas Pilpres


Setelah membahas pilihan sistem proporsional terbuka atau tertutup di tulisan bulan lalu, saat ini penulis hendak membahas isu lain yang mengemuka dalam pembahasan RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu yang sampai saat ini masih dibahas DPR dan pemerintah. 

Isu tersebut adalah ambang batas perolehan suara partai politik dalam pemilu DPR atau kursi yang diperoleh di DPR yang harus dipenuhi sebagai salah satu persyaratan untuk dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Secara singkat disebut sebagai ambang batas pilpres (presidential treshold). 

Keberadaan ambang batas pilpres diatur dalam UU Pilpres yaitu memperoleh 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional dalam pemilu DPR. Di dalam UUD 1945 memang tidak diatur tentang ambang batas ini. Namun, ambang batas yang telah digunakan sejak Pemilu 2004 ini didalilkan sebagai turunan dari Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang memuat politik hukum mengarah pada sistem kepartaian sederhana. 

Frasa ”pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik...” dimaknai sebagai kehendak agar terjadi penggabungan partai politik sehingga jumlah partai politik tidak terlalu banyak. Ada beberapa instrumen guna mencapai multipartai sederhana antara lain melalui pengaturan pembentukan partai politik, persyaratan mengikuti pemilu, electoral threshold,dan parliamentarythreshold. 

APBD Desa dan Kemiskinan

APBD Desa dan Kemiskinan

Membaca indeks kemiskinan di perdesaan selama dua tahun terakhir memunculkan keprihatinan mendalam.
TOTO S
Indeks kemiskinan di desa mengalami peningkatan meski pemerintah pusat telah melaksanakan program transfer dana desa (DD) Rp 68 triliun. Setiap desa, dari 74.000 desa di seluruh Indonesia, mendapatkan "guyuran" anggaran minimal Rp 750 juta.
Profil keuangan desa, yakni APBDes, cukup memadai karena desa juga dapat jatah dari pos transfer daerah, yakni alokasi dana desa (ADD) serta dana bagi hasil pendapatan dan retribusi daerah (DBHPRD). Alhasil, pemasukan APBDes mayoritas total hampir Rp 1 miliar. Sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri No 113/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, penggunaan DD secara khusus ataupun APBDes secara umum, desa bebas menganggarkan kegiatan program yang terkait dengan kepentingan masyarakat desa. Termasuk kepentingan memfasilitasi pengentasan rakyat dari kemiskinan.

Kecanduan Pembangunan

Kecanduan Pembangunan

koran tempo KAMIS, 23 FEBRUARI 2017 | 01:09 WIB
IGG Maha Adi
Pegiat Ekoliterasi

Dalam literatur pembangunan, kategori kemakmuran negara dibagi menjadi dua: maju dan berkembang, dengan beberapa variannya. Stratifikasi ini juga banyak diyakini para ahli dapat menggambarkan tingkat kebahagiaan penduduk sebuah negara. Namun, dalam teori dampak lingkungan, kemakmuran yang tinggi justru menjadi determinan pokok kerusakan lingkungan hidup.

Pada dekade 1960-an, Leopold Kohr, aktivis dan ilmuwan sosial Austria, menawarkan kategori yang cukup radikal terhadap stratifikasi kemakmuran, yaitu negara-negara yang mengalami kecanduan pembangunan (overdeveloped countries). Terminologi ini umumnya dipakai dalam memahami fenomena pembangunan yang berlebihan tanpa mempertimbangkan daya dukung ekologisnya. Negara pecandu ini terus mengejar pertumbuhan tanpa batas dan memaksa seluruh komponennya untuk memenuhi ambisi itu.

Kategori Kohr juga biasa dipakai untuk menyebut gejala yang sama pada tingkat kota, yang pertumbuhannya cenderung kosmopolitan. Kota Jakarta, Bandung, dan Denpasar adalah tiga kota yang menunjukkan gejala sama. Salah satu ciri fisik yang menonjol pada kota yang mengalami kecanduan pembangunan adalah pembangunan lahan yasan (real estate) dan fasilitas pendukungnya secara masif serta munculnya gejala kecanduan belanja (hyperconsumption) pada barang-barang nonfungsional.