Thursday, February 9, 2017

Politik Kemungkinan

Politik Kemungkinan

Seperti digambarkanJohn D Caputo, manusia adalah open-endedness, selalu berada dalam banyak kemungkinan. Bergerak dari satu kemungkinan menuju kemungkinan lain, bahkan tidak menutup kemungkinan yang dianggap mustahil pun bisa menjadi kenyataan.
Sering kali apa yang kita cari tidak ditemukan dan yang tidak dicari malah menghampiri di luar prediksi. Yang diburu habis-habisan kian menjauhi, dan tatkala diam sediam-diamnya, apa yang kita kejar dengan sendirinya datang tak terduga.
Manusia tidak sepenuhnya baik, juga tidak selamanya menggambarkan konsep diri yang jahat. Pada praktiknya bandul kebaikan, sebagaimana keburukan, saling menggeser bahkan sering kali bertukar tempat tanpa terlebih dahulu permisi atau dipersilakan. Ada banyak pengalaman konkret yang menggambarkan orang yang semula baik-baik, tetapi ketika menjadi pejabat berubah wujud menjadi korup sekorup-korupnya, atau sebaliknya setelah turun dari kursi beralih peran menjadi resi.
Manusia berdiri dalam kutub tarik-menarik antara menjadi malaikat dan godaan jatuh menjadi setan.Antara langit agung kudus ketuhanan dan terperosok dalam limbo negatif kebinatangan. Yang ilahi dan yang hewani menjadi bagian yang melekat dalam tubuh sekaligus jiwa manusia. Epos penyaliban Nabi Isaatau hikayat miraj Nabi Muhammad adalah sebagian dari penggalan riwayat kenabian yang berupaya memberikan ruang bagi hadirnya ”jiwa” spiritual dan lepasnya ”tubuh” kedagingan.
Saya kira karya sastra bikinan Attar, penyair abad ke-12, Musyawarah Burung, masih relevan direnungkan dan berhasil membuat sebuah alegori tentang pertempuran tak kenal henti antara tarik-menarik ini. Kemungkinan mencapai gunung Qaf, tempat di mana Raja Burung yang bernama Simugh bersinggasana dan tak sedikit juga satwayang terjerembap di jalan menyimpang karena tak mampu mengendalikan nafsunya, terperangkap dalam gelap, terperosok pesona kekuasaan dan godaan kebendaan, dan tak paham arah jalan keluar.
Maka, pada titik ini kehadiran agama dan etika menjadi dipandang penting, minimal keduanya hadir sebagai interupsi moral ketika seseorang terpelanting dalam kekhilafan.Kelahiran agama selalu dimulai dari kondisi kebatinan manusia yang ambigu, moralitas banal, dan situasi politik yang penuh kepura-puraan.
Pertobatan dan permaafan menjadi pintu agar manusia kembali menemukan optimisme dan kediriannya yang telah tercemar. Istigasah dan upacara ritus lainnya yang boleh dihadiri siapa pun juga—tanpa melihat iman, apalagi asal-usul ormasnya—adalah ekspresi kedaifan manusia dan harapan datangnya kebaikan dari Tuhan.

Ambang Batas dalam Pemilu

Ambang Batas dalam Pemilu

Apakah rencana sebagian partai politik di DPR untuk memberlakukan sistem proporsional tertutup dalam pemilihan umum legislatif tidak melawan putusan Mahkamah Konstitusi? Apakah keinginan parpol-parpol untuk memberlakukan threshold (ambang masuk, ambang batas) dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden juga tidak bertentangan dengan putusan MK? Bukankah putusan MK bersifat final dan mengikat?
Itulah pertanyaan-pertanyaan yang sering kita dengar terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (RUU Pemilu) yang kini sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat.
Pertanyaan-pertanyaan itu wajar muncul karena dua hal. Pertama, berdasarkan Putusan MK Nomor 22-23/PUU-VI/2008, pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2009 dan 2014 diberlakukan sistem proporsional terbuka atau keterpilihan anggota legislatif berdasarkan urutan suara terbanyak.   Kedua, berdasarkan Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013  pada Pemilu 2019, pileg dan pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) harus dilaksanakan secara serentak. Artinya, dilaksanakan pada hari yang sama sehingga tidak diperlukan adanya threshold. 

Menakar Potensi Sengketa Pilkada

Menakar Potensi Sengketa Pilkada

Perhelatan akbar demokrasi Indonesia akan digelar pada pertengahan Februari ini. Tujuh provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota (total 101 daerah) akan menentukan kepala daerah masing-masing melalui pemilihan secara langsung.
Penyakit klasik pemilu sudah tentu harus menjadi perhatian utama penyelenggara dan pengawas pemilu. Bentuk kecurangan berupa politik uang dan penggelembungan suara dalam kotak suara adalah penyakit lama yang seharusnya dapat diantisipasi lebih awal oleh Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilihan Umum. Sebab, keduanya akan menjadi tolok ukur indeks demokrasi di Indonesia.
Di luar itu, dua masalah besar utama pasca pemilihan yang juga harus diantisipasi sejak awal. Dua masalah ini di luar yurisdiksi KPU dan Bawaslu, tetapi tidak lepas dari kinerja kedua lembaga tersebut.
Pertama, konflik horizontal, ikatan primordial dan hubungan darah yang masih begitu kuat di daerah dengan semboyan ”loyalitas tanpa batas” menjadikan sentimen masyarakat daerah begitu besar sehingga konflik antarkelompok kerap kali tidak bisa dihindarkan. Kondisi ini diperparah pula dengan pendidikan politik masyarakat daerah yang masih tergolong rendah.

Kebanalan Korupsi Dinasti Politik

Kebanalan Korupsi Dinasti Politik

TEMPO SENIN, 06 FEBRUARI 2017 | 00:17 WIB
Achmad Maulani
Kandidat Doktor Sosiologi Ekonomi Universitas Indonesia

Hampir tak ada teladan terbaik dalam pengelolaan daerah yang dipimpin oleh mata rantai dinasti politik. Yang nyaris selalu disuguhkan adalah kebanalan korupsi dan pengkhianatan atas mandat kekuasaan. Kasus mutakhir adalah penangkapan Bupati Klaten oleh KPK atas dugaan jual-beli jabatan di lingkungan pemerintah kabupaten.

Karena potensi penyelewengan kekuasaan yang begitu besar karena model hubungan kekerabatan dalam jabatan publik, regulasi yang mengatur soal pengelolaan daerah berdasarkan kekerabatan pun sempat muncul. Tapi itu pun layu sebelum berkembang. Mahkamah Konstitusi membatalkannya atas nama satu hal: hak asasi manusia.

Kasus penangkapan Bupati Klaten itu sekali lagi menegaskan kepada kita akan kebanalan korupsi yang dilakukan penguasa daerah. Praktek semacam inilah yang sesungguhnya memiskinkan rakyat karena sangat terkait dengan seluruh kebijakan publik dan menyangkut hajat hidup orang banyak.

Dari data yang dilansir Indonesia Corruption Watch, pada pemilihan kepala daerah serentak 2017 tercatat ada 12 calon kepala daerah di 11 daerah yang berasal dari dinasti politik. Beberapa daerah tersebut adalah, antara lain, Banten, Gorontalo, Musi Banyuasin, Barito Kuala, Pringsewu Lampung, Kota Batu, Landak Kalbar, Lampung Barat, Kota Cimahi, Kabupaten Mesuji, dan Maluku Tengah.

Ahok dan Sikap Antikebineka

Sabtu , 04 February 2017, 09:58 WIB


Red: Karta Raharja Ucu
doc pribadi
Arif Supriyono
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wartawan Republika, Arif Supriyono
Empat bulan sudah berlalu. Sejak ucapan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 tentang surah al-Maidah ayat 51 -yang kemudian dinyatakan sebagai penistaan agama Islam oleh Majelis Ulama Indonesia- hingga kini kegaduhan itu tak jua surut.

Desakan umat melalui beberapa kali demonstrasi agar Ahok dijadikan tersangka akhirnya terpenuhi. Tepat 51 hari setelah Ahok membahas al-Maidah 51 dan mengaitkannya dengan pilih-memilih dalam Pilkada DKI Jakarta, sang gubernur pengganti itu ditetapkan oleh Mabes Polri sebagai tersangka penistaan agama.

Ya, kegaduhan itu memang bermula dari acara di Kepulauan Seribu. Saat itu sedang ada acara kerja sama Pemprov DKI dengan Sekolah Tinggi Perikanan dan sekaligus penyerahan bantuan 4.000 benih ikan kerapu. Meski kala itu belum masa kampanye dan sang gubernur pun memakai seragam dinas, dengan enteng dia membahas soal pilih-memilih. Walau itu bukan acara keagamaan dan dia pun bukan pemeluk Islam, tanpa ragu Ahok membahas al-Maidah 51 di hadapan massa yang mayoritas Muslim.

Masyarakat kemudian bergolak. Atas saran berbagai pihak, Ahok sempat menyampaikan permintaan maaf. Lalu lebih 500 ribu massa melakukan unjuk rasa pada 4 November 2016. Ahok bukannya mencoba mendinginkan suasana akan tetapi justru kembali menyulut bara api permusuhan.

Seolah tak ingat lagi dengan pemintaan maafnya, Ahok menuding itu sebagai demonstrasi bayaran. Masing-masing peserta unjuk rasa dia tuduh menerima Rp 500 ribu. Tuduhan yang sama sekali tak menggunakan nalar. Rasanya tidak mungkin membuang Rp 250 miliar hanya untuk sekali demo.

Bersikap Adil pada Rizieq dan Ahok

KORAN SINDO Edisi 09-02-2017


Pilkada DKI Jakarta yang akan diselenggarakan pada 15 Februari 2017 agaknya tidak pernah sepi dari berita-berita panas yang menyertainya. 

Kompetisi politik antara tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-DJarot Saepul Hidayat, dan Anies Rasyid Baswedan- Sandiaga Uno, menghadirkan aroma panas. Yang menarik, aroma panas tersebut bukan hanya terkait dengan para calon, tetapi juga dengan tokohtokoh lain. 

Kini ada dua tokoh yang sekarang sedang ramai diperbincangkan publik jelang gelaran pilkada, yaitu Habib Rizieq dan Ahok. Keduanya kini menjadi pusat perhatian, bukan hanya publik Jakarta, atau Indonesia, melainkan juga publik dunia. Rizieq kini telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Jabar atas dugaan penistaan terhadap dasar negara Pancasila. 

Sementara Ahok sudah lebih dahulu ditetapkan sebagai tersangka atas kasus penistaan agama terkait pidatonya di Kepulauan Seribu, bahkan kini sudah menjalani proses hukum di pengadilan. 

Menjaga Momentum Konsolidasi Umat

koran sindo Edisi 09-02-2017

Mundur sedikit ke belakang, beberapa bulan silam, serangkaian gerakan masif umat Islam bertajuk Aksi Bela Islam (ABI) hingga episode atau jilid III (14 Oktober2016,4November2016, dan 2 Desember 2016) memberikan kesempatan kepada umat Islam untuk melakukan konsolidasi.

Aksi seperti ini belum pernah ada presedennya, terhitung sejak Indonesia memasuki fase reformasi. Konsolidasi dalam arti memperkukuh ikatan kesatuan entitas sebagai kelompok mayoritas penting diupayakan. Kendati dari arah yang lain, muncul pula gerakan yang lumayan masif dengan menggunakan isu kebinekaan, seperti ingin menginsinuasi aksi yang berjilid-jilid itu, berpotensi membelah masyarakat dan bangsa dalam berbagai ideologi yang potensial menggerus ikatan kebangsaan.

Munculnya gerakan dari arah sebaliknya tersebut tidak terelakkan jika mempertimbangkan peristiwa yang melatarbelakangi ABI, yakni reaksi atas pernyataan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dalam kunjungan kerjanya ke Kepulauan Seribu yang dianggap menistakan agama.

ABI tentu sangat berpotensi menggerus elektabilitas Ahok sebagai kandidat petahana dalam Pilkada Jakarta yang diusung oleh parpol besar, seperti PDIP, Partai Golkar, Nasdem, dan Hanura. Sulit dimungkiri adanya intervensi kekuatan politik tertentu terkait dengan kemunculan ”Parade Kebinekaan 412”, selang dua hari setelah ABI Jilid III yang fenomenal itu dan populer dengan sebutan Aksi 212. 

Sistem Terbuka atau Tertutup

KORAN SINDO Edisi 09-02-2017
Sistem Terbuka atau Tertutup

Pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu yang dilakukan DPR dan pemerintah memasuki tahapan krusial karena masih adanya beberapa isu penting yang belum dapat disepakati serta semakin sempitnya waktu yang tersedia. 

Satu dari beberapa isu penting tersebut adalah soal penentuan sistem proporsional yang akan dianut, apakah daftar terbuka atau tertutup. Secara teknis kepemiluan, pilihan daftar terbuka atau tertutup setidaknya akan memengaruhi dua hal. Pertama, tata cara pemberian suara oleh pemilih. Jika menggunakan daftar terbuka maka pemilih dapat memberikan suara untuk nama calon dari daftar yang dibuat oleh partai politik.

Jika tertutup, pemilih hanya memberikan suara untuk partai politik peserta pemilu saja. Kedua, tata cara penentuan calon terpilih. Jika menggunakan daftar terbuka, penentuan calon terpilih didasarkan pada suara yang diperoleh calon. Jika menggunakan daftar tertutup, penentuan calon terpilih didasarkan pada nomor urut daftar calon yang disusun oleh partai politik peserta Pemilu.