Menarik untuk menyimak ”di balik” keinginan
Presiden Joko Widodo yang akan merombak ”fungsi” Perum Bulog (Kompas,
28/5/2015). Apakah hanya akan menambah komoditas atau sekadar mengganti
direksi atau ada alasan strategis lain? Catatan ini mudah-mudahan
membantu memahami kemauan Presiden itu.
Sebenarnya Presiden Megawati Soekarnoputri sudah melihat jauh ke depan
nasib Bulog. Pada tahun 2003, Presiden Megawati merombak bentuk Bulog
dari yang sebelumnya lembaga pemerintah nondepartemen (LPND) menjadi
perum. Presiden Megawati melihat Bulog harus diselamatkan. Apabila tetap
sebagai LPND, Bulog hanya menjadi lembaga di tingkat pusat, sedangkan
cabangnya di provinsi dan kabupaten diserahkan kepada pemerintah daerah,
seperti Badan Koordinasi Keluarga Bencana Nasional (BKKBN). Perum Bulog
diberi waktu lima tahun untuk menyiapkan diri menjadi perusahaan yang
kegiatannya tidak tergantung dari tugas pemerintah.
Kita dan semua makhluk hidup membutuhkan
energi untuk sintas dan melaksanakan aneka kegiatan, padahal sumber-
sumber daya energi kian menipis dan akhirnya akan habis.
Memang
dengan habisnya sumber daya energi tidak berarti bahwa energinya juga
habis sebab energi itu kekal. Namun, jika energi sudah dipakai untuk
melakukan usaha, kualitasnya menurun, misalnya menjadi makin tersebar
dan gradien sukunya makin melandai. Maka, walaupun energi itu tetap
masih ada, ia sudah tidak tersedia lagi untuk melakukan usaha.
Begitulah menurut hukum utama termodinamika.
Terbitnya instruksi wali kota
Banda Aceh belum lama ini, yang membatasi jam malam bagi perempuan
berada di luar rumah, kembali "mengonfirmasi" soal serius dalam
kehidupan publik kita.
Selain esensinya yang sulit dicerna nalar
dan tak urgen dari sisi kebutuhan hukum setempat, kebijakan semacam ini
selalu berulang muncul di bumi Tanah Rencong, seperti halnya pula
terjadi di kabupaten/kota lain di Jawa Barat, Sumatera Barat, Sulawesi
Selatan, dan lain-lain tempat, tanpa respons tegas dari pemerintah
pusat.
Engeline yang diduga kuat dibunuh orang
terdekatnya di Bali adalah kisah seorang anak yang tidak dikehendaki.
Unwanted child. Bahkan mungkin sejak ia dikonsepsi.
Mungkin
orangtua biologis Engeline sebenarnya tidak ingin mempunyai anak lagi,
tetapi tidak tahu bagaimana cara mencegahnya. Mungkin tidak ada yang
memberi tahu untuk menggunakan kontrasepsi, atau bahkan orang sekitarnya
menabukan penggunaan kontrasepsi.
Ke mana petugas kesehatan atau
keluarga berencana? Pemerintah memang sudah lama tidak hadir di tengah
orang miskin. Bahkan selama 10 tahun pemerintahan SBY, program KB nyaris
tidak disentuh. Maka, ketika sudah lahir, mereka tinggalkan Engeline di
rumah sakit karena tidak mampu membayar biaya kelahiran Engeline.
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, dua
organisasi massa Islam moderat di Indonesia, hendak bermuktamar Agustus
mendatang. Sekalipun kedua ormas itu dikenal sebagai gerakan masyarakat
sipil yang memfokuskan diri pada pemberdayaan umat, bukan berarti
keduanya tak memainkan peran politik sama sekali.
Memang, peran politik yang dimainkan keduanya bukan dalam pengertian low politics (politik praktis-kekuasaan), melainkan high politics (politik kebangsaan, kemasyarakatan, dan kemanusiaan).
Formula
peran politik semacam ini mengakibatkan kedua ormas tersebut menjaga
jarak dari politik keseharian karena telanjur dianggap wilayah kotor,
dekil, dan korup. Sementara itu, wilayah high politics dianggap
lebih mulia, agung, dan terhormat. Dengan formula tersebut, ormas
terkesan hendak "cuci tangan" dari segala bentuk kebobrokan dan
kekumuhan wilayah low politics. Pendek kata, ormas seakan tidak
mau ambil bagian dalam upaya memperbaiki kondisi politik bangsa dan
membiarkannya memperbaiki dirinya sendiri.
Semasa memimpin Indonesia, Presiden Soekarno
berulang kali mengajarkan pentingnya membangun bangsa yang satu,
setara dalam keberagaman. Namun, seiring berakhirnya Orde Lama,
sejumlah gagasan dan peran Soekarno sempat disamarkan. Tempat kelahiran
Bung Karno pun sempat muncul dalam dua versi, Blitar dan Surabaya, Jawa
Timur.
KOMPAS/AGNES THEODORA WOLKH WAGUNUWarga
dari sejumlah daerah berkunjung dan berziarah ke makam Bung Karno di
Kota Blitar, Jawa Timur, Minggu (31/5). Sejumlah ajaran dan peran Bung
Karno diduga telah dikaburkan.
Tidak hanya tentang Soekarno, penggelapan sejarah juga dilakukan
terhadap sejumlah teman seperjuangan Soekarno. Hal ini, antara lain,
terlihat dari hilangnya nama empat rekan Soekarno di Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yakni Liem Koen Hian,
Oey Tiang Tjoei, Oei Tjong Hauw, dan Tan Eng Hoa. Nama empat orang itu
tak ada dalam buku sejarah nasional sejak 1977.