Saturday, December 12, 2015

Keluar dari Jebakan Involusi

Oleh Ignas Kleden

Setiap bangsa mengalami bahwa tidak ada perkembangan sosial yang bersifat unilinear, bagaikan jalan lurus ke depan dengan gerak maju yang serba mulus. Selalu ada faktor-faktor obyektif yang dapat menghambat. Sekalipun demikian, kemajuan tak hanya ditentukan oleh faktor-faktor obyektif, tetapi juga oleh peranan subyektivitas orang-orang yang terlibat di dalamnya, Kemajuan demokrasi di Indonesia yang tadinya banyak dipuji dunia luar telah menandai tahun-tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Peralihan pimpinan nasional yang berlangsung tanpa krisis politik adalah hal baru dalam sejarah politik Indonesia. Tak ada lagi ”perang suksesi”.
Memang, konflik horizontal masih muncul di sana-sini, dan beberapa aksi teroris masih terjadi, demikian pula ketegangan sektarian antarkelompok. Meski demikian, pemerintahan berjalan tanpa krisis politik. Rakyat menikmati kebebasan menyatakan pendapat, sementara pers Indonesia tak lagi diintimidasi intervensi penguasa. Di atas semuanya, dunia menaruh hormat yang tinggi karena rakyat Indonesia dapat memilih pemimpin dan wakil-wakil rakyat secara langsung, mulai tingkat tertinggi menyangkut presiden dan anggota DPR hingga tingkat paling bawah dalam pemilihan kepala desa.
Kemudian dalam kampanye calon presiden di televisi tahun ini muncul pertanyaan dari pihak Prabowo Subianto-Hatta Rajasa kepada pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, apakah pemilihan kepala daerah masih perlu diteruskan secara langsung atau sebaiknya melalui DPRD. Alasannya, pemilihan langsung banyak bersangkut paut dengan hubungan kedaerahan dan kekerabatan serta mudah menimbulkan konflik horizontal, di samping membutuhkan biaya amat besar. Pemilihan tak langsung oleh DPRD akan menghemat triliunan rupiah. Jokowi menjawab, hal terpenting dalam pemilihan langsung adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat. Persoalan biaya dan penyelesaian konflik horizontal adalah masalah teknis yang harus diselesaikan dan bisa diselesaikan.
Dengan argumen-argumen yang solid, banyak penulis telah membantah keberatan terhadap pemilihan kepala daerah secara langsung. Dengan pasti bisa dikatakan, politik uang berawal dari para elite politik karena merekalah yang mempunyai dana dan kemudian percaya bahwa kehendak rakyat dapat dibeli dengan uang. Lalu terjadilah transaksi, lalu berkembanglah jual-beli suara. Dalam jual-beli ini, lambat laun permintaan suara oleh para elite politik terus meningkat sehingga, sesuai dengan mekanisme pasar, permintaan yang meningkat akan menaikkan harga suara pemilih. Transaksi jadi mahal dan menyebabkan pemilihan kepala daerah memerlukan biaya tinggi, bahkan sangat tinggi.
Namun, biaya tinggi hanyalah akibat politik transaksional yang diperkenalkan elite politik. Ironis sekali bahwa yang merupakan akibat ini kemudian dijadikan sebab dan alasan dalam menolak pemilihan langsung dan menggantinya dengan pemilihan tak langsung oleh DPRD. Padahal, biaya tinggi itu bisa diatasi kalau para elite politik menghentikan praktik politik uang, sambil mendidik masyarakat bahwa pemilihan bukanlah pasar gelap dengan tawar-menawar secara liar, tetapi hak dan kesempatan bagi rakyat untuk menentukan siapa yang layak dan sanggup memimpin mereka meningkatkan taraf hidup dan menciptakan kesejahteraan dengan keadilan.

Tentu saja setiap kampanye perlu biaya  (untuk transportasi, iklan, atribut, konsumsi pertemuan, dan lain-lain). Namun, biaya kampanye tidak perlu mencakup dana untuk membujuk konstituen dan membeli suara mereka. Sayangnya, setelah politik transaksional ini menjadi amat mahal, rakyat kembali dipersalahkan seakan mereka belum cukup matang untuk memilih secara langsung sehingga pemilihan kepala daerah harus diserahkan kembali ke DPRD.
Dapat dibayangkan jadinya kalau pilkada akan dilaksanakan lembaga dengan kinerja yang paling buruk ini. Pengandaian bahwa pemilihan kepala daerah oleh DPRD bakal lebih murah biayanya dan lebih baik hasilnya sudah dapat ditolak sejak awal. Selain itu, pilkada oleh DPRD akan membuat posisi politik kepala daerah tak independen terhadap DPRD dan menghilangkan kesetaraan Trias Politika di daerah.
Ignas Kleden Sosiolog; Ketua Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
Selengkapnya: Kompas 31 Oktober 2014

Menerapkan Revolusi Mental (Ignas Kleden)

Kamis, 25 September 2014 Menerapkan Revolusi Mental (Ignas Kleden) TATKALA Joko Widodo sebagai calon presiden melansir pemikirannya tentang revolusi mental, mungkin banyak orang belum menyadari bahwa gagasan itu akan dikembangkan menjadi suatu teori pembangunan kalau dia terpilih sebagai Presiden Indonesia.


 Revolusi mental segera menarik perhatian karena pemikiran itu merupakan suatu kejutan di tengah maraknya pragmatisme politik selama masa reformasi. Lagi pula, masalah mental banyak diremehkan tatkala konsep perubahan struktural merebut perhatian utama sebagai mode dalam wacana pembangunan di Indonesia. 
Karena itu, kita dikejutkan oleh beberapa pertanyaan. Mengapa masalah mental menjadi sentral dalam pemikiran seorang pemimpin politik? Apakah dimungkinkan suatu revolusi dalam bidang mental, yang sanggup mendorong perubahan institusional?

Demokrasi dan Partai Politik

Oleh: Ignas Kleden

JAKARTA, KOMPAS - Sudah bukan rahasia lagi bahwa di mata banyak pengamat asing, demokrasi Indonesia saat ini berada dalam tahap perkembangan yang positif dan layak diapresiasi. Pendapat ini merujuk beberapa realitas politik seperti pelaksanaan pemilu yang demikian banyak pada tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan akhirnya pada tingkat nasional, yang berlangsung relatif aman dan terkendali, tanpa menimbulkan gejolak atau kekerasan dan tidak membawa kekacauan.

Dalam pada itu, pers Indonesia relatif bebas dan tidak mengalami kekangan atau hambatan politik sebagaimana yang dapat dilihat pada beberapa negara tetangga. Kebebasan berpendapat dan berkumpul dijamin, sementara pemerintahan sepenuhnya berada di tangan sipil tanpa direcoki intervensi militer. Ada beberapa aksi teroris yang muncul secara sporadis di sana-sini, tetapi keamanan umum tetap terjaga dan stabilitas politik tidak terganggu. Secara rata-rata pendapat pengamat dan analis asing lebih optimistis dibandingkan dengan opini dan kritik pengamat dalam negeri yang setiap saat mempertanyakan pelaksanaan demokrasi.

Presiden Tanpa Mahkota

Presiden Tanpa Mahkota

Saat ini, Presiden Joko Widodo harus segera mengonsolidasikan kekuasaan (resume power). Apabila terlambat, pemerintah bisa tidak sanggup menghadapi merosotnya kinerja kabinet dan tergerusnya kewibawaan Presiden.
Banyak hal bisa menjadi pemicu. Utamanya anomali kasus hukum dan pelanggaran etika pejabat publik. Dari polemik antarmenteri di ruang publik sampai skandal "papa minta saham" yang mencatut nama Presiden.
 Karena itu, Presiden tidak cukup hanya menegur dan meminta menterinya agar solid bekerja untuk rakyat dan bukan kontestasi kelompok kepentingan. Presiden Jokowi harus menyadari bahwa sejak hari pertama dilantik sebagai Presiden, pemerintahannya terus "digoyang" oleh lawan politik, mungkin juga dari lingkarnya sendiri. Presiden sudah bekerja keras, tetapi episentrum masalah berada di pembantu-pembantu Presiden dan partai pendukung.
Karena itu, kalau Presiden Jokowi tidak segera menghimpun kembali kekuasaannya, resume power sampai tingkat substantif, tidak tertutup kemungkinan derasnya arus kekecewaan publik akan ikut "menggoyang".