KOLOM POLITIK, Kompas
Novel, Polisi, dan Kerinduan kepada Hoegeng
M SUBHAN SD
Siang |
1613 dibaca
7 komentar
Ketika Novel Baswedan ditangkap anggota Badan Reserse Kriminal Polri, pekan lalu, tiba-tiba saya teringat Hoegeng. Nama lengkapnya Hoegeng Iman Santoso, tetapi selalu merendah ingin disebut Hoegeng saja. Pangkatnya jenderal polisi. Jabatan tertingginya di kepolisian adalah Menteri Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak)/Kapolri pada 1968-1971, posisi yang paling diangankan setiap polisi. Tetapi, sebelumnya ia menjabat antara lain Kepala Jawatan Imigrasi (1960), Menteri Iuran Negara (1965), dan Menteri Sekretaris Kabinet Inti (1966).
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan (kiri), didampingi Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK Johan Budi memberikan penjelasan kepada para jurnalis di Kantor KPK, Kuningan, Jakarta, Sabtu (2/5). Novel Baswedan ingin kasus yang menjeratnya diselesaikan dengan tuntas dan siap mengikuti proses hukum yang berjalan.
Perawakannya tinggi dan terkesan kurang tegap. Namun, tidak berperut buncit. Di balik tubuhnya itu, ia justru memiliki jiwa yang kuat, teguh, dan jujur. Ketika berkuasa, ia tidak serakah. Ketika kehilangan kuasa, ia juga tak merasa susah. Ia memang tidak haus kuasa. Sebab, kemuliaan dan kehormatan bukan terletak pada kekuasaan. Bagi Hoegeng, kehormatan bersemayam di dalam jiwa. Dan, jabatan Kapolri adalah alat untuk menjaga kehormatan itu. Saya selalu terkagum-kagum membaca kisah biografinya. Pahamlah kita mengapa Gus Dur, sapaan Presiden KH Abdurrahman Wahid yang berkuasa pada 1999-2001, sampai mengatakan, "Di Indonesia hanya ada tiga polisi jujur: polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng."