INVESTASI
Apakah Risiko Kredit?
ADLER HAYMANS MANURUNG
Siang |
110 dibaca
0 komentar
Risiko kredit merupakan salah satu bagian risiko dalam risiko keuangan selain risiko pasar. Bouteille dan Pushner (2013) dalam The Handbook of Credit Risk Management: Originating, Assessing, and Managing Credit Exposures mendefinisikan risiko kredit, yaitu kemungkinan hilangnya uang dikarenakan ketidakmampuan, ketidakinginan, atau tidak waktunya dari pihak lain atau pihak ketiga untuk membayar kewajiban keuangannya.
Berdasarkan definisi risiko kredit ini, ada dua pihak yang melakukan perjanjian, yaitu pihak yang menerbitkan utang dikarenakan memerlukan dana dan pihak yang memberikan pinjaman (utang). Pihak yang menerbitkan utang hanya satu pihak, sedangkan pihak yang membeli atau memberikan pinjaman bisa lebih dari satu pihak. Jika satu pihak menerbitkan atau meminjam dana kepada satu pihak, itu disebut pinjaman privat.
Bahkan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal menyebutkan, pihak yang memberikan pinjaman kurang dari 50 pihak kepada satu pihak masih disebut pinjaman privat. Sementara pihak yang memberikan pinjaman dana melebihi 50 pihak dan melakukan ekspose publik melebihi 100 pihak secara berkesinambungan dikatakan merupakan pinjaman publik.
Proses pinjaman publik harus mengikuti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan Peraturan yang dikeluarkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)—sebelumnya Bapepam. Artinya, pihak yang membutuhkan dana harus mengajukan pendaftaran penerbitan surat utang tersebut ke OJK. Surat utang yang diajukan kepada OJK ini lebih dikenal dengan obligasi, di mana ketika menerbitkannya perlu jasa pendukung profesi pasar modal, seperti perusahaan penilai, perusahaan pemeringkat, akuntan publik, dan konsultan hukum serta notaris.
Risiko kredit ini biasanya yang mengalami ialah pihak-pihak yang membeli atau memberikan pinjaman kepada pihak penerbit. Bila pemberi pinjaman adalah bank, bank tersebut akan menderita kerugian. Tetapi, bank biasanya mensyaratkan agunan yang besarnya 30 persen dari nilai pinjaman. Bank Indonesia mengeluarkan peraturan mengenai pinjaman dengan agunan properti yang dikenal dengan peraturan loan to value (LTV). Bila bank mengalami kerugian dalam memberikan pinjaman dan harga agunan tidak sesuai dengan peraturan, ada pihak-pihak yang bermain dalam pemberian pinjaman tersebut sehingga melanggar aturan.
Jika pinjaman bukan kepada bank melainkan kepada pihak lain, seperti leasing atau multifinance , kerugian terjadi di pemegang kredit dikarenakan kesalahannya sendiri. Bila pinjaman dalam bentuk surat utang publik (termasuk obligasi), banyak pihak yang menanggung risiko atas tidak terbayarnya surat utang tersebut. Pada awalnya, surat utang ini tidak mempunyai agunan karena penerbitan surat utang ini berdasarkan kepercayaan (trust ), tetapi belakangan ini hampir semua surat utang ini mempunyai agunan.
Pihak ketiga
Sebelumnya diuraikan bahwa pihak lain atau juga disebut pihak ketiga tidak mempunyai keinginan atau tidak mampu membayar utang yang diciptakannya. Ketidakmampuan penerbit utang pertama kali dikarenakan penerbit utang mengalami persoalan dalam bisnisnya. Perusahaan mengalami penurunan penjualan sehingga laba sebelum bunga dan pajak (sering disebut EBIT) tidak mampu untuk membayar bunga pinjaman. Padahal, ketika pinjaman diajukan kepada pemilik dana, perusahaan dinilai mampu membayar bunga dan termasuk cicilan utang dengan alat ukur rasio EBIT terhadap bunga pinjaman yang melebihi dari aturan yang telah ditetapkan pemberi pinjaman (misalnya bank).
Bagi perusahaan yang menerbitkan surat utang publik (salah satunya obligasi), pembayaran pokok utang di akhir periode merupakan disebutkannya kegagalan sehingga risiko kredit baru muncul. Sementara pada bank, pertama kali tidak membayar cicilan, maka sudah mulai ada risiko kredit bagi bank yang bersangkutan, walaupun nantinya lima kali tidak terbayar cicilan maka risiko kredit sudah diperhitungkan. Tetapi, pembayaran bunga pinjaman yang teratur oleh perusahaan masih dipertimbangkan belum ada risiko kredit. Jika biaya bunga belum diterima oleh pemberi pinjaman, maka risiko kredit sudah mulai muncul pada pemberi pinjaman.
Perusahaan tidak mampu membayar dikarenakan biaya bisnis yang dialami perusahaan sangat besar sehingga EBIT sangat kecil. Perusahaan tidak melakukan efisiensi sehingga biaya sangat besar dan berujung pada EBIT yang kecil. Biasanya, pengusaha mengatasinya dengan melakukan efisiensi dan pihak pemberi pinjaman (bank) akan memberikan nasihat agar bisnisnya bisa berjalan dengan baik.
Tetapi, ada juga ketidakmampuan membayar dikarenakan perusahaan tidak ingin membayar. Perusahaan lebih memilih tidak membayar dibandingkan keinginan keberlanjutan perusahaan. Pengusaha yang baik akan menghubungi pemberi pinjaman dan menjelaskan kenapa tidak mau membayar bunga dan pinjaman. Tindakan ini dilakukan dalam rangka memberikan kejelasan kepada pihak pemberi pinjaman dan hubungan baik dan reputasi dari perusahaan.
Ada juga perusahaan yang diam saja, tidak menjelaskan bahwa perusahaan tidak mampu membayar bunga dan cicilan. Kasus ini perusahaan memilikimorale hazard dan pada periode berikutnya perusahaan ini tidak akan pernah mendapatkan pinjaman lagi dari pihak-pihak yang telah memberikan pinjaman. Sebaiknya, para pihak harus memberikan pengertian ketika pinjaman dibuat agar tidak terjadi keinginan yang buruk tersebut.
Bila perusahaan tidak mampu membayar dikarenakan bisnis perusahaan yang mengalami penurunan, hal itu bukan menjadi persoalan karena ada tindakan yang bisa dilakukan. Pemberi pinjaman akan melakukan restrukturisasi atas pinjaman tersebut. Penerima pinjaman yang lebih tahu secara jelas usahanya sehingga proposal restrukturisasi pinjaman harus datang dari peminjam, bukan dari pemberi pinjaman. Para pemberi pinjaman hanya menilai proposal dan bila dilihat proposal sangat wajar, maka restrukturisasi utang akan diterima. Penerimaan atas restrukturisasi utang merupakan lampu hijau bagi perusahaan untuk keberlangsungan perusahaan.
Semua tindakan yang dilakukan harus menggunakan saling percaya dan penerima pinjaman harus menunjukkan kejujurannya secara jelas agar semua pihak mau menerima keinginannya. Tetapi, ada juga pihak yang tidak peduli karena keinginan awal sudah mempunyai morale hazard.
No comments:
Post a Comment