Tuesday, May 12, 2015

Novel, Polisi, dan Kerinduan kepada Hoegeng

OPINI > KOLOM > NOVEL, POLISI, DAN KERINDUAN KEPADA HOEGENG

KOLOM POLITIK, Kompas 

Novel, Polisi, dan Kerinduan kepada Hoegeng

Ketika Novel Baswedan ditangkap anggota Badan Reserse Kriminal Polri, pekan lalu, tiba-tiba saya teringat Hoegeng. Nama lengkapnya Hoegeng Iman Santoso, tetapi selalu merendah ingin disebut Hoegeng saja. Pangkatnya jenderal polisi. Jabatan tertingginya di kepolisian adalah Menteri Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak)/Kapolri pada 1968-1971, posisi yang paling diangankan setiap polisi. Tetapi, sebelumnya ia menjabat antara lain Kepala Jawatan Imigrasi (1960), Menteri Iuran Negara (1965), dan Menteri Sekretaris Kabinet Inti (1966).
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan (kiri), didampingi Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK Johan Budi memberikan penjelasan kepada para jurnalis di Kantor KPK, Kuningan, Jakarta, Sabtu (2/5). Novel Baswedan ingin kasus yang menjeratnya diselesaikan dengan tuntas dan siap mengikuti proses hukum yang berjalan.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan (kiri), didampingi Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK Johan Budi memberikan penjelasan kepada para jurnalis di Kantor KPK, Kuningan, Jakarta, Sabtu (2/5). Novel Baswedan ingin kasus yang menjeratnya diselesaikan dengan tuntas dan siap mengikuti proses hukum yang berjalan.
Perawakannya tinggi dan terkesan kurang tegap. Namun, tidak berperut buncit. Di balik tubuhnya itu, ia justru memiliki jiwa yang kuat, teguh, dan jujur. Ketika berkuasa, ia tidak serakah. Ketika kehilangan kuasa, ia juga tak merasa susah. Ia memang tidak haus kuasa. Sebab, kemuliaan dan kehormatan bukan terletak pada kekuasaan. Bagi Hoegeng, kehormatan bersemayam di dalam jiwa. Dan, jabatan Kapolri adalah alat untuk menjaga kehormatan itu. Saya selalu terkagum-kagum membaca kisah biografinya. Pahamlah kita mengapa Gus Dur, sapaan Presiden KH Abdurrahman Wahid yang berkuasa pada 1999-2001, sampai mengatakan, "Di Indonesia hanya ada tiga polisi jujur: polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng."

Apakah di kepolisian tidak ada yang baik atau jujur lagi? Pastinya kita percaya banyak polisi baik, tetapi kita juga yakin banyak polisi kotor. Sayangnya, sekarang ini polisi lebih banyak kontroversial, terlebih terkait hubungan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan, saat Novel ditangkap, Presiden Joko Widodo langsung memerintahkan agar tidak boleh ada tindakan kontroversial. Sejak kasus cicak versus buaya jilid 1 mencuat tahun 2009 dan terlebih kasus korupsi di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri diobok-obok KPK dan komandannya, Irjen Djoko Susilo, dijadikan tersangka tahun 2012 (cicak vs buaya jilid 2), polisi seperti tak berhenti bermanuver.
KPK yang pada sesungguhnya dibentuk membantu pekerjaan Polri yang tidak mampu menangani kasus-kasus korupsi, hubungan dua institusi itu sekarang seperti "Tom and Jerry", hubungan yang selalu gaduh. Padahal, penyidik KPK pun berasal dari Polri, seperti Novel Baswedan yang kini menjadi penyidik KPK. Hubungan panas pun memanas lagi ketika KPK menetapkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka pasca diusulkan Presiden Jokowi sebagai calon Kapolri pengganti Jenderal Sutarman. Memang banyak tudingan KPK berpolitik karena penetapan tersangka BG tampak ujug-ujug dan bertepatan dengan pencalonan sebagai Kapolri. Sampai-sampai sejumlah politisi, khususnya PDI-P, ikut "menabuhkan gendang". Pukulan balik pun menghantam KPK. Ketua KPK Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK Bambang Widjajanto, dua komisioner yang mengumumkan penetapan tersangka BG, akhirnya menjadi tersangka. Abraham dalam kasus pemalsuan dokumen dan Bambang dalam kasus mengarahkan pemberian keterangan palsu. Dan, kemudian keduanya nonaktif dari KPK.
Presiden Jokowi kemudian memerintahkan agar Polri dan KPK bergandengan tangan, saling berkomunikasi, bekerja sama, bukan saling menjatuhkan. Tetapi, ternyata kasus Novel mencuat lagi. Menurut Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, pengusutan kasus Novel dituntaskan karena tahun depan akan kedaluwarsa. Apakah perintah Presiden Jokowi tak digubris? Rasanya publik bisa memahami sendiri. Kasus Novel terjadi tahun 2004 ketika bertugas di Polres Bengkulu. Novel menjadi tersangka kasus penganiayaan terhadap pencuri sarang burung walet.
Padahal, tahun 2012 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa pengusutan kasus Novel kala itu waktunya tidak tepat. Penegakan hukum dalam kasus Novel bisa jadi benar sehingga memang harus diusut untuk menemukan kebenaran. Tetapi, melihat momentumnya saat hubungan KPK dan Polri kurang harmonis, rasa-rasanya siapa pun paham bahwa kriminalisasi terhadap KPK tak jua berhenti.
Apakah kasus-kasus lain yang menyita perhatian publik juga dituntaskan? Jadi ingat peristiwa video di Youtube yang menjadi trending topic beberapa bulan lalu, misalnya memperlihatkan dugaan praktik setoran awak bus (Kopaja) yang menaruh uang di sebuah tempat di sekitar pos polisi di Bundaran HI di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Dugaan setoran itu agar bus Kopaja bisa memutar balik (u-turn) di lokasi terlarang.
Andai saja Hoegeng masih hidup, pasti praktik suap, rekening gendut, dan sejenisnya diberantasnya karena Hoegeng anti korupsi. Ketika ditugaskan ke Sumatera Utara tahun 1950-an, tahu-tahu di rumah dinasnya sudah ada perabotan rumah lengkap. Mulanya ia meminta agar pengirimnya mengambil kembali perabotan itu. Sampai batas akhir yang ditentukan tak diambil juga, Hoegeng akhirnya mengeluarkan perabotan itu dan meletakkannya di tepi jalan di depan rumah. Dia tak mau menikmati barang-barang yang bukan dari keringatnya sendiri. Ia memberikan contoh langsung, bukan perintah apalagi berwacana. Bahkan, pada Juli 1969, di depan kepala kepolisian daerah dan komando pelabuhan se-Indonesia, ia menginstruksikan agar melaporkan kekayaan masing-masing. Semua pejabat tentu kupingnya panas, termasuk Presiden Soeharto.
Sebelum Jaksa Agung membentuk tim pemberantasan penyelundupan tahun 1972, Hoegeng telah bergerak lebih dulu memburu para penyelundup (Abrar Yusra dan Ramadhan KH, 1993, Hoegeng, Polisi Idaman dan Kenyataan). Ketika itu penyelundupan mobil sedang marak. Hoegeng sudah memberantas penyelundupan mobil mewah sejak 1968. Suatu saat dipanggil Presiden Soeharto di Cendana. Hoegeng datang sekalian ingin melaporkan kasus penyelundupan mobil, termasuk Robby Tjahjadi yang banyak dibekingi polisi dan ABRI. Namun, di Cendana ternyata orang tersebut sudah ada. Hoegeng terkejut. Tak pikir panjang lagi, ia pulang ke rumah. Walaupun beberapa kali ditelepon, ia tak mau menemui Presiden Soeharto.
Hoegeng malah diberhentikan sebagai Kapolri saat ia menggebu-gebu mengahajar koruptor dan penyelundup, bahkan pensiun pada usia belum genap 50 tahun. Sungguh usia yang masih sangat produktif dan semangat yang masih menggebu-gebu. Namun, dia menolak dijadikan duta besar. Hoegeng pensiun dengan gaji Rp 10.000 per bulan.
"Namun, Papi hanya menerima Rp 7.500 setiap bulan karena potongan ini-itu. Baru pada 2001 ada perubahan, pensiun Papi naik menjadi Rp 1.170.000 per bulan," kata Didit, putra Hoegeng (Suhartono, 2013, Hoegeng Polisi dan Menteri Teladan).
Hoegeng ibarat mutiara berkilau menyilaukan yang keluar dari institusi kepolisian. Hoegeng mengharumkan korps baju coklat itu, bahkan sampai melampaui usianya yang tutup tahun 2004. Rindu Hoegeng terasa membuncah. Kita butuh sosok seperti Hoegeng untuk membersihkan Polri karena kita menyayangi Polri.
mohamad.subhan@kompas.com

No comments:

Post a Comment