Monday, November 2, 2015

Masa Depan ASEAN

Andre Notohamijoyo
Gema tentang Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan berlaku akhir 2015 sudah sangat nyaring. Berbagai pertemuan dan kajian tentang MEA pun sudah sangat banyak dilakukan. 

Sebagai orang yang banyak berkecimpung dalam kerja sama ASEAN, penulis justru tidak tahu harus bagaimana menyikapi MEA. Kerja sama ASEAN tidak pernah dan hanya berkisar seputar rapat, lokakarya, pelatihan, dan seminar. Ada gurauan di antara para delegasi: "Selesai acara, selesai pula persoalan". Bagaimana mewujudkan integrasi ekonomi dengan kondisi demikian? 

Pelajaran dari Gibran

Kurnia JR
Kahlil Gibran diundang ke Kongres Arab I di Paris pada 1913 yang membahas soal pembebasan negeri-negeri Arab dari penjajahan Turki Utsmani. Sang penyair menolak.

Gibran patriot sejati yang sepenuh hati memperjuangkan kemerdekaan negerinya dari penjajahan asing dan kebengisan hukum feodal bangsanya sendiri atas rakyat jelata. Bersama para sastrawan Arab yang bermukim di Boston dan New York, AS, dia menerbitkan puisi dan esai yang memicu revolusi sastra Arab dan menyuarakan sikap politiknya dari AS. Ia juga menggalang dana guna menyokong rakyat yang tertindas di tanah airnya. Sebagai warga diaspora, pelukis-penyair mistik ini seumur hidupnya merindukan reruntuk Biara Mar Sarkis di Wadi Qadisha, Lembah Suci, di desa kelahiran di kaki Gunung Cedar.

Lalu, kenapa dia menolak hadir dalam forum penting itu? Alasannya lugas: para penanggung ongkos perjalanannya ke Paris menitipkan opini politik yang tak dia setujui. Di ajang perang opini, pemimpin seniman-intelektual Suriah di AS ini menolak dijadikan kuda troya.

Pembangunan Pasca Kapitalis


Fachry Ali
Pertanyaan penting yang melatarbelakangi tulisan ini adalah: dalam situasi perekonomian global di bawah cerpu kapitalisme liberal yang "kian tak stabil", dapatkah negara menawarkan optimisme dengan "model pembangunan pasca elite" yang berpengaruh konstruktif terhadap penguatan demokrasi?

Frasa "kapitalisme yang kian tak stabil" ini terinspirasi gugatan Charles Moore, mantan editor The Daily Telegraph dan penulis biografi Margaret Thatcher (Perdana Menteri Inggris, 1979-1990), terhadap model pembangunan kapitalisme liberal yang sejatinya elitis (elite-biased). Sifat elitis ini terkandung pada pertanyaan Moore dalam tulisannya "The Middle Class Squeeze" (The Wall Street Journal, 28/9/2015): "Apa gunanya kapitalisme jika keuntungannya diperuntukkan kepada segelintir dan risikonya ditanggung banyak kalangan?" Apa, sih, hebatnya globalisasi jika itu berarti barang-barang dan jasa yang Anda tawarkan dijual murah melalui persaingan antar-bangsa dan jutaan orang baru bisa datang ke negerimu, mengambil lapangan kerjamu, dan menikmati tunjangan negara (welfare benefits)?

Dan, gugatan Moore berlanjut: "Jangankan merasa beruntung menjadi orang biasa dari sebuah negeri bebas, banyak dari kita mulai merasa seperti orang-orang yang mudah diperdaya (suckers). Harapan, hal tak terpisahkan dari kemajuan, memudar dan berganti kekecewaan, bahkan kegetiran (bitterness). Selama ini dihayati bahwa peluang senantiasa membawa harga ketakamanan (insecurity), tetapi apa yang terjadi jika ketakamanan itu meningkat, sementara peluang menyusut?"