Gema tentang Masyarakat Ekonomi
ASEAN yang akan berlaku akhir 2015 sudah sangat nyaring. Berbagai
pertemuan dan kajian tentang MEA pun sudah sangat banyak dilakukan.
Sebagai
orang yang banyak berkecimpung dalam kerja sama ASEAN, penulis justru
tidak tahu harus bagaimana menyikapi MEA. Kerja sama ASEAN tidak pernah
dan hanya berkisar seputar rapat, lokakarya, pelatihan, dan seminar. Ada
gurauan di antara para delegasi: "Selesai acara, selesai pula
persoalan". Bagaimana mewujudkan integrasi ekonomi dengan kondisi
demikian?
Kahlil Gibran diundang ke
Kongres Arab I di Paris pada 1913 yang membahas soal pembebasan
negeri-negeri Arab dari penjajahan Turki Utsmani. Sang penyair menolak.
Gibran
patriot sejati yang sepenuh hati memperjuangkan kemerdekaan negerinya
dari penjajahan asing dan kebengisan hukum feodal bangsanya sendiri atas
rakyat jelata. Bersama para sastrawan Arab yang bermukim di Boston dan
New York, AS, dia menerbitkan puisi dan esai yang memicu revolusi sastra
Arab dan menyuarakan sikap politiknya dari AS. Ia juga menggalang dana
guna menyokong rakyat yang tertindas di tanah airnya. Sebagai warga
diaspora, pelukis-penyair mistik ini seumur hidupnya merindukan reruntuk
Biara Mar Sarkis di Wadi Qadisha, Lembah Suci, di desa kelahiran di
kaki Gunung Cedar.
Lalu, kenapa dia menolak hadir dalam forum
penting itu? Alasannya lugas: para penanggung ongkos perjalanannya ke
Paris menitipkan opini politik yang tak dia setujui. Di ajang perang
opini, pemimpin seniman-intelektual Suriah di AS ini menolak dijadikan
kuda troya.
Pertanyaan penting yang
melatarbelakangi tulisan ini adalah: dalam situasi perekonomian global
di bawah cerpu kapitalisme liberal yang "kian tak stabil", dapatkah
negara menawarkan optimisme dengan "model pembangunan pasca elite" yang
berpengaruh konstruktif terhadap penguatan demokrasi?
Frasa "kapitalisme yang kian tak stabil" ini terinspirasi gugatan Charles Moore, mantan editor The Daily Telegraph
dan penulis biografi Margaret Thatcher (Perdana Menteri Inggris,
1979-1990), terhadap model pembangunan kapitalisme liberal yang
sejatinya elitis (elite-biased). Sifat elitis ini terkandung pada pertanyaan Moore dalam tulisannya "The Middle Class Squeeze" (The Wall Street Journal,
28/9/2015): "Apa gunanya kapitalisme jika keuntungannya diperuntukkan
kepada segelintir dan risikonya ditanggung banyak kalangan?" Apa, sih,
hebatnya globalisasi jika itu berarti barang-barang dan jasa yang Anda
tawarkan dijual murah melalui persaingan antar-bangsa dan jutaan orang
baru bisa datang ke negerimu, mengambil lapangan kerjamu, dan menikmati
tunjangan negara (welfare benefits)?
Dan, gugatan Moore
berlanjut: "Jangankan merasa beruntung menjadi orang biasa dari sebuah
negeri bebas, banyak dari kita mulai merasa seperti orang-orang yang
mudah diperdaya (suckers). Harapan, hal tak terpisahkan dari kemajuan, memudar dan berganti kekecewaan, bahkan kegetiran (bitterness). Selama ini dihayati bahwa peluang senantiasa membawa harga ketakamanan (insecurity), tetapi apa yang terjadi jika ketakamanan itu meningkat, sementara peluang menyusut?"