Thursday, January 5, 2017

Tinjauan BUMN 2016


 Rhenald Kasali (Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bi 

 Selasa, 27/12/2016 07:11 WIB
Rhenald Kasali
Banyak prestasi yang dicapai oleh BUMN sepanjang tahun 2016, tetapi kalau kita telisik ke belakang, yang paling banyak menjadi sorotan adalah soal pembentukan holding. Dan dari enam holding sektor (pertambangan, migas, pangan, perbankan-jasa keuangan, jalan tol & kontruksi dan perumahan), hanya satu yang selalu heboh, yaitu migas.  Mungkin di situ ada banyak pihak yang berkepentingan juga.
Padahal tahun 2016 Indonesia menyaksikan gegap gempita BUMN dalam pembangunan infrastruktur. Itu terjadi di Papua (381 Km), Sumatra (Medan-Binjai, Palembang-Indralaya, Bakauheni-Terbanggi besar, Pekanbaru-Dumai), sejumlah pelabuhan (yang paling menonjol adalah Kuala Tanjung yang menjorok ke Malaka dan Singapura), bendungan di NTT, serta bandara-bandara (misalnya Silangit Sumatra Utara, Belitung, Jambi, dan Labuan Bajo).
Tak ketinggalan di Jakarta dan sekitarnya. Seperti pembangunan kembali jalan layang Bekasi–Cawang Kampung Melayu yang mangkrak selama 17 tahun dan kini dikerjakan Waskita Karya. Tentu juga jalan raya Bogor-Sukabumi yang lama ditunggu pelaku ekonomi. Baru kali ini BUMN mengambil alih pembangunan yang dibiarkan mangkrak swasta. 
Tercatat sejumlah kehebohan dari industri migas. Pertama, soal holding dan kedua soal Undang-undang Migas.
Dalam soal holding kita tinggal menunggu revisi PP No. 44 (2005) tentang Penyertaan Modal Negara agar payung hukum holding ini bisa segera dieksekusi. Bila akhir tahun ini PP itu sudah bisa keluar, maka inbreng saham antar-BUMN bisa menjadi opsi PMN untuk memperbaiki struktur BUMN. Maka saya berharap pada awal 2017, Kementerian BUMN setidaknya sudah mulai bisa mengeksekusi holding migas dan tambang.
Ini menjadi penting karena untuk mengejar pertumbuhan yang tinggi, industri Indonesia memerlukan pasokan energi dan bahan baku dan setengah jadi olahan tambang dalam jumlah besar. Hal itu juga sekaligus untuk mengurangi impor dari barang-barang yang bahan bakunya ada di sini.
Selain holding, Indonesia perlu segera mengeluarkan undang-undang migas yang lebih menjamin masa depan pasokan dalam negeri. Kita ketahui, pascareformasi, atas desakan IMF, peran NOC (national oil company) khususnya Pertamina terus dikecilkan.

Produktivitas dan Daya Saing Manufaktur

KORAN BISNIS INDONESIA, 

Makmun Syadullah*)  Selasa, 03/01/2017 00:50 WIB














Salah satu permasalahan yang menjadi catatan akhir tahun 2016 adalah masalah daya saing Indonesia di pasar global. Menurut laporan Indeks Daya Saing Global 2016-2017 yang dirilis Forum Ekonomi Dunia (WEF), daya saing Indonesia merosot dari peringkat ke-37 pada 2015 menjadi peringkat ke-41 di 2016 dari 138 negara. WEF menggunakan 12 pilar daya saing global yang berasal lebih dari 160 mitra jaringan global di setiap negara.
Daya saing di pasar global tidak dapat dilepaskan dari masalah ketenagakerjaan, terutama masalah produktivitas. Produktivitas tenaga kerja akan berdampak bagi perekonomian secara keseluruhan, khususnya untuk mempertahankan daya saing. Dengan demikian, maka usaha meningkatkan produktivitas merupakan unsur penting untuk menuju ke arah ekonomi yang lebih kompetitif dan sejahtera.
Dalam konteks ini pertanyaan yang muncul adalah bagaimana produktivitas tenaga kerja Indonesia dibandingkan dengan dengan negara lain? Benarkah produktivitas tenaga kerja Indonesia semakin menurun, sehingga pada 2016 terjadi aliran tenaga kerja asing ke Tanah Air. Apabila berita ini benar, sungguh ini menjadi ancaman bagi tenaga kerja Indonesia ke depan.
Menurut Labor Productivity Growth in 2014 yang dikeluarkan oleh The Conference Board Productivity Brief 2015, produktivi-tas tenaga kerja secara global pada tahun 2014 masih terjebak pada level 2,1%, padahal sebelum krisis (1999—2006) rata-rata produktivitas tenaga kerja global berada pada level 2,6%.
Untuk kawasan Asia Pasifik, menurut laporan The Conference Board Productivity Brief 2015, pertumbuhan GDP per personal employed tercepat pertumbuhannya dalam periode 2011-2014 adalah Sri Langka (7,4%), China (7%) dan Filipina (5,6%). Negara yang terlamban pertumbuhannya adalah Jepang (-0,6%), New Zealand (-0,2%) dan Singapura (0,3%).
Sementara tu, posisi Indonesia dalam periode 2013-2014 menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan dalam pertumbuhan produktivitas dari yakni dari 3,8% pada 2013 menjadi 5,9% di 2014.
Pertumbuhan GDP perpersonal employed di Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami perbaikan. Pertumbuhan pada 2013-2014 di atas, jauh lebih baik diban-dingkan pada periode antara 2005 dan 2009, dimana produktivitas rata-rata per tahun hanya tumbuh 3,3%, sedangkan antara 2010 dan 2013 produktivitas rata-rata per tahun 4,3%.
Menurut catatan International Labour Organization (ILO) dalam laporan yang berjudul “Indonesia: Trends in Wages and Productivity January 2015”, pertumbuhan produktivitas ini tidak dapat dilepaskan karena adanya investasi di bidang infrastruktur, serta perubahan struktural yang menyebabkan adanya perluasan lapangan kerja dan nilai tambah pada sektor industri yang lebih tinggi dari pada nilai tambah yang lebih rendah pada sektor pertanian.

Presiden di Pusaran Pengadaan Alutsista

Presiden di Pusaran Pengadaan Alutsista

Ada tiga isu krusialmenyangkut peranan Presidendalampengadaan alat utama sistem persenjataan.
Pertama, sejauh mana efektivitas kontrol politik presiden terhadap institusi militer. Kedua, seberapa kuat intensi politik presiden mengendalikan risiko korupsi ditubuh militer, khususnya dalam pengadaan alutsista, dan ketiga, seserius apa visi Presidendalam membangunindustripertahanan dan keamanan dalam negeri. Ketigaisu itu nyata terasadalam pusaranpengadaan helikopter AgustaWestland AW101 yang dilakukan TNI AU baru-baru ini.
Kebersikukuhan (mungkin lebih tepat disebut pembangkangan) Kepala Staf TNI AU Marsekal Agus Supriatna mengadakanhelikopter (AW101) merupakan batu ujian paling penting dan serius terhadapefektivitas kontrol politik Presiden Joko Widodo terhadap institusi militer. Keputusan cepat Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo membatalkan pembelian helikopter AW101 memperlihatkan Presiden Jokowi mampu melampaui batu ujian ini. Kontrol politik Presiden Jokowi, yang berasal dari kalangan sipil, terhadap institusi militer kelihatannya cukup efektif.
Dalam dua tahun terakhir, Presiden Jokowi sukses melakukan konsolidasi politik. Partai politik, politisi di parlemen, dan tokoh masyarakat secara sukarela atau transaksional diserap ke dalam orbitasi kepemimpinannya. Oposisi dari partai politik dan publik menjadi minimal.

Menyikapi Era Defisit Kebenaran


Dalam rapat terbatas yang dihadiri sejumlah menteri dan jajaran lain, 29 Desember 2016, Presiden Joko Widodo mengungkapkan keprihatinan mendalam atas maraknya berita bohong (hoax), fitnah, kebencian, dan rasa permusuhan di berbagai media sosial. Untuk itu, Presiden mengimbau perlunya gerakan masif untuk melakukan literasi, edukasi, dan menjaga etika serta keadaban bermedia sosial.
Apa yang dirasakan Presiden sesungguhnya mewakili perasaan miris banyak pihak yang masih memiliki nurani luhur dan akal sehat. Betapa tidak, banyak dari pengguna media sosial—baik melalui kanal seperti Whatsapp (WA), Twitter, dan Facebook— yang sering kali tak hanya mem-posting informasi faktual, tetapi lebih banyak mengarah pada peneguhan klaim kebenaran sepihak dan disertai sikap menuduh pihak lain adalah salah.
Dari sekian informasi yang diposting, tujuannya memengaruhi opini publik dan upaya memaksakan kehendak agar informasi itu bisa terbaca banyak orang. Bahkan, secara meyakinkan, penebar informasi itu menggunakan nukilan ayat kitab suci, pandangan tokoh agama, masyarakat, ataupun adagium lain sebagai modus bahwa siapa pun yang membagi kembali informasi ini akan memperoleh pahala. Tak sedikit pula yang membawa nama Tuhan untuk merepresentasikan bahwa tindakannya adalah yang paling diberkati.