Thursday, January 5, 2017

Produktivitas dan Daya Saing Manufaktur

KORAN BISNIS INDONESIA, 

Makmun Syadullah*)  Selasa, 03/01/2017 00:50 WIB














Salah satu permasalahan yang menjadi catatan akhir tahun 2016 adalah masalah daya saing Indonesia di pasar global. Menurut laporan Indeks Daya Saing Global 2016-2017 yang dirilis Forum Ekonomi Dunia (WEF), daya saing Indonesia merosot dari peringkat ke-37 pada 2015 menjadi peringkat ke-41 di 2016 dari 138 negara. WEF menggunakan 12 pilar daya saing global yang berasal lebih dari 160 mitra jaringan global di setiap negara.
Daya saing di pasar global tidak dapat dilepaskan dari masalah ketenagakerjaan, terutama masalah produktivitas. Produktivitas tenaga kerja akan berdampak bagi perekonomian secara keseluruhan, khususnya untuk mempertahankan daya saing. Dengan demikian, maka usaha meningkatkan produktivitas merupakan unsur penting untuk menuju ke arah ekonomi yang lebih kompetitif dan sejahtera.
Dalam konteks ini pertanyaan yang muncul adalah bagaimana produktivitas tenaga kerja Indonesia dibandingkan dengan dengan negara lain? Benarkah produktivitas tenaga kerja Indonesia semakin menurun, sehingga pada 2016 terjadi aliran tenaga kerja asing ke Tanah Air. Apabila berita ini benar, sungguh ini menjadi ancaman bagi tenaga kerja Indonesia ke depan.
Menurut Labor Productivity Growth in 2014 yang dikeluarkan oleh The Conference Board Productivity Brief 2015, produktivi-tas tenaga kerja secara global pada tahun 2014 masih terjebak pada level 2,1%, padahal sebelum krisis (1999—2006) rata-rata produktivitas tenaga kerja global berada pada level 2,6%.
Untuk kawasan Asia Pasifik, menurut laporan The Conference Board Productivity Brief 2015, pertumbuhan GDP per personal employed tercepat pertumbuhannya dalam periode 2011-2014 adalah Sri Langka (7,4%), China (7%) dan Filipina (5,6%). Negara yang terlamban pertumbuhannya adalah Jepang (-0,6%), New Zealand (-0,2%) dan Singapura (0,3%).
Sementara tu, posisi Indonesia dalam periode 2013-2014 menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan dalam pertumbuhan produktivitas dari yakni dari 3,8% pada 2013 menjadi 5,9% di 2014.
Pertumbuhan GDP perpersonal employed di Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami perbaikan. Pertumbuhan pada 2013-2014 di atas, jauh lebih baik diban-dingkan pada periode antara 2005 dan 2009, dimana produktivitas rata-rata per tahun hanya tumbuh 3,3%, sedangkan antara 2010 dan 2013 produktivitas rata-rata per tahun 4,3%.
Menurut catatan International Labour Organization (ILO) dalam laporan yang berjudul “Indonesia: Trends in Wages and Productivity January 2015”, pertumbuhan produktivitas ini tidak dapat dilepaskan karena adanya investasi di bidang infrastruktur, serta perubahan struktural yang menyebabkan adanya perluasan lapangan kerja dan nilai tambah pada sektor industri yang lebih tinggi dari pada nilai tambah yang lebih rendah pada sektor pertanian.

DAYA SAING MANUFAKTUR
Produktivitas tenaga kerja tidak hanya dampak pertumbuhan ekonomi, upah dan standar hidup, akan tetapi juga berdampak pada daya saing ekonomi karena efeknya biaya per unit output yang dihasilkan. Sementara itu, daya saing dapat diukur dalam berbagai cara, daya saing biaya yang diukur dengan total biaya tenaga kerja per unit output, adalah ukuran yang berguna yang memperhitungkan dampak dari kompensasi tenaga kerja, produktivitas dan nilai tukar mata uang negara yang berbeda.
Masih menurut laporan The Conference Board Productivity Brief 2015, unit labor cost (ULC) secara global pada 2014 mengalami penurunan (-0,7%), sehingga berdampak pada naiknya daya saing sektor manufaktur. Beberapa negara ada yang mengalami peningkatan ULC, terutama di kawasan Eropa sebagai akibat melemahkan mata uang kawasan terhadap US$ pada 2014, berdampak naiknya biaya tenaga kerja per jam kurang lebih 2% di sebagian besar ekonomi Eropa.
Apresiasi dolar AS terhadap banyak mata uang yang dimulai pada 2014 mengakibatkan kenaikan biaya tenaga kerja dan membuat produksi pada sektor manufaktur di luar Amerika Serikat yang lebih murah.
Di Indonesia, sektor manufaktur merupakan sektor penting bagi perekonomian. Sektor manufaktur adalah penyumbang terbesar kedua, setelah sektor jasa, untuk upah kerja. Namun demikian ter-jadi perbedaan kinerja antar sektor manufaktur yang berskala besar, menengah dan kecil. Perbedaan ini terutama dalam hal kualitas hasil kerja dan produktivitas tenaga kerja.
Sektor manufaktur dengan skala besar dan menengah sepertinya lebih inovatif dan  lebih mudah dalam mentransfer teknologi, sehingga di mata investor asing lebih menarik. Karakteristik ini sangat penting untuk dinamika ekonomi dan menyediakan sumber penting dari pertumbuhan. Sebaliknya, usaha dalam sektor manufaktur yang berskala mikro memiliki produktivitas yang lebih rendah dan pekerjanya pun juga menerima upah jauh lebih rendah.
Berdasarkan gambaran sektor manufaktur di atas, sepertinya produktivitas tenaga kerja telah meningkat secara bertahap dalam dekade terakhir ini. Peningkatan produktivitas tenaga kerja membawa keuntungan bagi pengusaha.
Kenaikan produktivitas kemungkinan sebagai dampak dari kenaikan upah, meningkatkan kondisi kerja, jam kerja yang lebih pendek dan/atau investasi dalam sumber daya manusia. Untuk pengusaha, menghubungkan pertumbuhan upah riil untuk keuntungan produktivitas menyiratkan biaya unit tenaga kerja yang stabil.
Melihat hubungan antara produktivitas tenaga kerja dengan daya saing manufaktur, ke depan produktivitas tenaga kerja ini masih dapat dioptimalkan dengan membangun kapasitas tripartit dengan melibatkan lembaga penetapan upah. Keterlibatan lembaga penetapan upah juga dimaksudkan untuk memastikan bahwa sebagian keuntungan yang diperoleh perusahaan dibagi kepada pekerjanya, karena terbukti dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja.
*) Makmun Syadullah, Peneliti Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu

No comments:

Post a Comment