Saturday, January 23, 2016

GBHN untuk Kesejahteraan

RAVIK KARSIDI

PDI Perjuangan melalui Rapat Kerja Nasional 2016 kembali menyuarakan perlunya menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara alias GBHN. Sikap PDI Perjuangan itu kemudian memperoleh banyak dukungan, termasuk di antara kalangan ormas (NU dan Muhammadiyah), serta hampir semua petinggi partai politik yang dewasa ini memperoleh kursi di lembaga perwakilan.
Sejak pertengahan 2014, Forum Rektor Indonesia (FRI) telah mengusulkan dan menyosialisasikan perlunya sistem perencanaan yang bersifat holistik dan jangka panjang. Ketika itu, kami menegaskan bahwa demokrasi yang tumbuh subur di seantero daerah, yang diawali dengan pemilihan presiden secara langsung, hanya melahirkan pentas politik berbiaya tinggi, tetapi tidak semuanya memiliki dampak dalam upaya mengangkat derajat kesejahteraan masyarakat.
Evaluasi keadaan demikian perlu disikapi dengan mengembalikan arah dan haluan pembangunan nasional secara pasti berupa GBHN. Dalam perkembangan itu, FRI juga telah menyusun dan memublikasikan naskah akademik: ”Mengembalikan Kedaulatan Rakyat melalui Penetapan MPR untuk membentuk GBHN”.

NU-Muhammadiyah sebagai Jangkar Etika


Yudi LatifKOMPAS/RADITYA HELABUMI
Muktamar Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah berlangsung di tengah kemarau etika-spiritual yang melanda kehidupan bernegara. Kebebasan demokratis selama 15 tahun terakhir mempercanggih politik sebagai teknik, tetapi memundurkan politik sebagai etik. Politik dan etika terpisah seperti terpisahnya air dengan minyak. Akibatnya, kebajikan dasar kehidupan bangsa, seperti keadaban, responsibilitas, keadilan, dan integritas, runtuh.
Semua mata menunggu dengan harap-harap cemas bagaimana muktamar kedua ormas keagamaan terbesar itu berjalan. Masih adakah sumur keteladanan yang tersisa di tengah dahaga jutaan rakyat yang menanti tetes-tetes air harapan?
Tidak berlebihan jika kita berharap banyak dari NU-Muhammadiyah. Keduanya dapat dikatakan sebagai reservoir etika republik. Keduanya berinvestasi banyak dalam menyemai benih kehidupan etis sebelum republik berdiri. Keduanya juga menempatkan wakilnya dalam perumusan dasar negara dan konstitusi negara pertama.
Wakil dari kedua ormas dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dengan gigih memperjuangkan prinsip ketuhanan sebagai salah satu sila yang harus diutamakan dalam dasar negara. Tentu jadi pertanyaan, mengapa untuk urusan negara modern, prinsip ketuhanan yang bersifat meta-rasional perlu dilibatkan dalam urusan publik yang semestinya bersifat rasional?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita bisa menoleh ke buku A Study of History karya sejarawan Inggris, Arnold Toynbee. Lewat buku ini, ia melacak faktor kebangkitan dan kejatuhan sekitar 20 peradaban. Pada setiap kasus, Toynbee mengaitkan disintegrasi peradaban dengan proses melemahnya visi spiritual peradaban tersebut. Singkat kata, bangunan negara (dan peradaban) tanpa landasan etika-spiritual ibarat bangunan istana pasir.
Studi Toynbee itu mengisyaratkan ada hubungan erat nilai-nilai spiritual keagamaan dengan kemajuan bangsa dan peradaban. Samuel Huntington dalam Who Are We? menunjukkan hal menarik mengenai keberlangsungan Amerika Serikat (AS) sebagai negara adikuasa dibandingkan Uni Soviet. Di AS, urainya, ”Agama telah dan masih menjadi sesuatu yang sentral dan barangkali identitas yang paling sentral bagi bangsa Amerika” (Huntington, 2004:20). Huntington juga menunjukkan (2006), geografi peradaban yang mampu bertahan adalah yang berbasis keyakinan/ketuhanan. Dalam kaitan antara corak keagamaan dan politik, Alexis de Tocqueville (1835/1998) dan Robert Putnam (2006) mewakili ahli yang menunjukkan peran nilai-nilai keagamaan dalam memengaruhi demokrasi.
Ada faktor budaya yang dipengaruhi agama yang jadi rintangan bagi kemajuan. Namun, beberapa penelitian juga menunjukkan, faktor keyakinan memberi kontribusi penting dalam proses demokrasi. Banyak faktor yang ikut memengaruhi sehingga dalam konteks mana agama menjadi rintangan dan dalam konteks mana menjadi pendorong kemajuan jadi hal yang harus dipertimbangkan.
Dalam kaitan itu, hendaklah disadari bahwa agama sebagai pedoman hidup yang berkaitan dengan yang suci (sacred) sedari awal memang mengandung kekuatan yang ambivalen: menakjubkan dan menghancurkan. Kata sacred(Latin, sacer) itu bisa berarti karunia atau kutukan, suci atau cercaan.
Modus beragama yang berhenti sebagai pemujaan eksterioritas formalisme peribadatan, tanpa kesanggupan menggali interioritas nilai spiritualitas dan moralitas, hanyalah berselancar di permukaan gelombang bahaya. Tanpa menyelam di kedalaman pengalaman spiritual dan moralitas, keberagamaan jadi mandul, kering, dan keras; tak memiliki sensitivitas-kontemplatif. Tanpa penghayatan etika-spiritual yang dalam, orang akan kehilangan apa yang disebut penyair John Keats sebagai negative capability, yakni kesanggupan untuk berdamai dengan ketidakpastian, misteri, dan keraguan dalam hidup. Tanpa menghikmati misteri, manusia memaksakan absolutisme sebagai respons ketakutan atas kompleksitas kehidupan dunia yang menimbulkan penghancuran ke dalam dan ancaman ke luar.
Pemulihan krisis kehilangan basis kepercayaan saat agama yang seharusnya membantu manusia untuk menyuburkan rasa kesucian, keluhuran budi pekerti, kasih sayang, dan perawatan justru sering kali memantulkan rasa keputusasaan, keserakahan, dan kekerasan zaman dalam bentuk terorisme, pragmatisme, permusuhan, dan intoleransi.
Pada titik ini, Muktamar NU-Muhammadiyah merupakan pertaruhan besar tentang jangkar kehidupan etis di negara ini. Kebanggaan tentang wajah Islam Nusantara yang ramah, etis, dan estetis harus dibuktikan agar tidak berhenti sebagai pepesan kosong dan agar bangsa ini masih bisa menanti datangnya hujan di tengah krisis kemarau etika yang berkepanjangan.
Untuk keluar dari krisis, suatu bangsa tidak hanya memerlukan transformasi institusional, tetapi juga transformasi etika-spiritual. Dalam proses transformasi ini, seperti ditekankan Karen Amstrong dalam The Great Transformation (2006), persoalan agama tidak berhenti pada apa yang kita percaya, tetapi pada apa yang kita perbuat. Untuk itu, agama tidak perlu meninggalkan kepercayaan dan ritualnya, tetapi perlu lebih menekankan pentingnya komitmen etis dengan menempatkan moralitas dan spiritualitas dalam kehidupan agama dan publik.
YUDI LATIF, ANGGOTA AKADEMI ILMU PENGETAHUAN INDONESIA; PENDAPAT PRIBADI
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Agustus 2015, di halaman 15 dengan judul "NU-Muhammadiyah sebagai Jangkar Etika".

Pahlawan di Dalam Diri

OPINI > KOLOM > PAHLAWAN DI DALAM DIRI

ANALISIS POLITIK YUDI LATIF


Indonesia adalah cermin yang retak. Elite negeri hanya melihat segala sesuatu dari sudut bayangan kepentingan masing-masing. Keakuan dan kekamian mencekik kekitaan. Rakyat kebanyakan hidup tanpa perlindungan berarti dari negara, bak yatim piatu yang ditinggalkan, dikhianati, dan dikorbankan. Dalam kondisi kerakyatan yatim piatu, bahaya terbesar adalah terjebak dalam pola pikir ketergantungan dan mentalitas korban (victim mindset), yang serba pasif menanti kedatangan juru selamat.
Krisis kebangsaan takkan pernah bisa menemukan penyelesaian apabila rakyat terus memandang kepahlawanan sebagai sesuatu yang berada di luar dirinya. Ketimbang terus menunggu kedatangan pahlawan di luar sana, lebih baik warga menghidupkan kekuatan kepahlawanan dalam diri sendiri. Seperti diingatkan psikolog Carl S Pearson, orang-orang biasa bisa menghadirkan kehidupan luar biasa apabila mampu mendayagunakan apa yang disebutnya sebagai ”the power of mythic archetypes”, yakni mitos tentang fitrah (archetype) kepahlawanan dalam diri.
Menurut Pearson, ada enam model fitrah kepahlawanan dalam diri. Pertama, model yatim piatu (orphan), dengan memandang hidup sebagai penderitaan, dan tugas kepahlawanannya adalah berjuang mengarungi kesulitan. Kedua, model pengembara (wanderer), dengan memandang hidup sebagai petualangan, dan tugas kepahlawanannya menemukan kesejatian diri. Ketiga, model pendekar (warrior), dengan memandang hidup sebagai pertarungan, dan tugas kepahlawanannya adalah membuktikan harga diri.

Kontra Terorisme dengan Pancasila


Aksi keji terorisme kembali meledak di tengah kita. Seperti biasa, pemuka politik dan masyarakat muncul melancarkan kecaman untuk kemudian tak berkutik hingga teror kembali terjadi. Sesungguhnya terorisme adalah gejala permukaan dari kelalaian bangsa ini dalam mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila. Seluruh teori sosial tentang terorisme bisa diringkas premis-premisnya ke dalam lima prinsip Pancasila.
Pertama, terorisme itu mencerminkan kemiskinan kehidupan keagamaan. Semangat ketuhanan dikembangkan tanpa keadaban nilai-nilai kasih sayang (rahman-rahim) yang jadi kaidah emas semua agama. Modus beragama yang berhenti sebagai pemujaan eksterioritas formalisme peribadatan, tanpa kesanggupan menggali interioritas nilai spiritualitas dan moralitas hanya berselancar di permukaan gelombang bahaya. Tanpa menyelam di kedalaman pengalaman spiritual, keberagamaan menjadi mandul, kering, dan keras. Agama yang seharusnya membantu manusia untuk menyuburkan rasa kesucian, kasih sayang, dan perlindungan justru acap memantulkan rasa keputusasaan dan kekerasan dalam bentuk terorisme, permusuhan, dan intoleransi.

Rahim-rahim Kepemimpinan

IM KEPEMIMPINAN

Ikon konten premium 

Pengantar Redaksi
Merayakan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2015, harian ”Kompas” bersama Lingkar Muda Indonesia menyelenggarakan Diskusi Panel Seri III Tahun 2015 bertajuk ”Menyuburkan Kembali Rahim-rahim Kepemimpinan Nasional” pada 28 Desember 2015. Pembicara: Abd A’la (Rektor UIN Sunan Ampel), Mochtar Pabottingi (Profesor Riset LIPI 2000-2010), Fachry Ali (Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha Indonesia), Ninok Leksono (Rektor Universitas Multimedia Nusantara), dan Margareta Astaman (praktisi bisnis daring). Hasil diskusi yang dirangkum Agus Sudibyo, Tamrin Amal Tomagola, dan Sri Palupi dari LMI diturunkan dalam dua tulisan di halaman 6 dan satu tulisan di halaman 7 hari ini.

Sistem Penggodokan Kepemimpinan Nasional

Kompas Cetak | 

Pengantar Redaksi
Merayakan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2015, harian ”Kompas” bersama Lingkar Muda Indonesia menyelenggarakan Diskusi Panel Seri III Tahun 2015 bertajuk ”Menyuburkan Kembali Rahim-rahim Kepemimpinan Nasional” pada 28 Desember 2015. Pembicara: Abd A’la (Rektor UIN Sunan Ampel), Mochtar Pabottingi (Profesor Riset LIPI 2000-2010), Fachry Ali (Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha Indonesia), Ninok Leksono (Rektor Universitas Multimedia Nusantara), dan Margareta Astaman (praktisi bisnis daring). Hasil diskusi yang dirangkum Agus Sudibyo, Tamrin Amal Tomagola, dan Sri Palupi dari LMI diturunkan dalam dua tulisan di halaman 6 dan satu tulisan di halaman 7 hari ini.
Pemimpin sejati yang mumpuni, di tiap negara-bangsa, adalah produk seleksi kumulatif berjenjang yang bertemu dengan penyerbukan silang antarsistem habitat penggodokan kader-kader pemimpin.

Senja Kala Koran dan Jurnalisme Kita

OPINI > ARTIKEL > SENJA KALA KORAN DAN JURNALISME KITA
IGNATIUS HARYANTO
Wartawan senior Kompas, Bre Redana, menulis dalam kolomnya di Kompas Minggu berjudul "Inikah Senjakala Kami". Tulisan tersebut dibuat merespons suatu presentasi dalam forum Ombudsman Kompas edisi akhir tahun, 16 Desember 2015, yang penulis buat dengan judul "Senja Kala Surat Kabar di Indonesia".
Presentasi yang penulis sampaikan ingin menampilkan banyak data, terutama kondisi industri media di Indonesia dewasa ini, sembari melihat fenomena gugurnya sejumlah media cetak belakangan ini, seperti harian Sinar Harapan, menyusul tutupnya harian Bola,Jakarta Globe, belasan majalah dari Grup Gramedia, dan sejumlah media cetak lain. Lewat aneka data yang penulis coba ramu dari berbagai sumber, pertanyaan utamanya adalah: betulkah media cetak akan mati dalam waktu dekat? Lalu, apa yang kemudian terjadi: apakah betul media online akan menggantikan posisi media cetak yang sudah ada selama in?

Inikah Senjakala Kami...

OPINI > KOLOM > INIKAH SENJAKALA KAMI...
CATATAN MINGGU

BRE REDANA
Kompas cetak| 28 Desember 2015 

Belakangan ini, seiring berlayarnya waktu, kami wartawan media cetak, seperti penumpang kapal yang kian dekat menuju akhir hayat. Terakhir, di penghujung tahun, Ignatius Haryanto, pengamat pers yang luas referensinya, salah satu anggota Forum Ombudsman surat kabar kami, memberikan notifikasi dengan judul Senjakala Suratkabar di Indonesia?. Pertanyaan lebih lanjut ia ajukan: apakah ini akhir dari peradaban surat kabar cetak saat ini?

Faktor-faktor yang mendasari pertanyaannya berupa kondisi yang niscaya sudah diketahui banyak orang, antara lain perkembangan teknologi digital. Ini membawa konsekuensi bisnis. Pengiklan memilih berinvestasi pada media yang lebih gemebyar seperti televisi, dengan penyiar yang kinyis-kinyis, berikut kru lapangan yang militan, sampai kalau perlu mengabaikan tata krama.

Harus diakui, media cetak, koran, majalah, buku, kebiasaan membaca yang mendasari tradisi dan terbentuknya sivilisasi manusia sampai penghujung milenium kedua, sebagian kini tinggal kenangan belaka. Termasuk jurnalisme.