Saturday, March 25, 2017

Proteksionisme Trump, Ketahanan Ekonomi Kita

Proteksionisme Trump, Ketahanan Ekonomi Kita

Begitu dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat, Donald J Trump langsung merealisasikan idenya untuk memproteksi perekonomian negaranya. Sebenarnya perekonomian AS saat ini sedang menuju ke pemulihan sesudah krisis 2008. Tingkat pengangguran kini hanya 4,6 persen, pertumbuhan ekonomi 1,6 persen, dan inflasi 1,2 persen. Itulah pencapaian positif yang dilakukan pemerintahan Barack Obama.
Namun, rupanya Trump belum puas. Ada statistik ekonomi yang begitu mengganggunya, yaitu defisit perdagangan, terutama terhadap Tiongkok. Pada 2015, AS menderita defisit 367 miliar dollar AS terhadap Tiongkok, yang berarti naik daripada sebelumnya 343 miliar dollar AS (2014). AS hanya berhasil mengekspor 116 miliar dollar AS, sedangkan impornya 484 miliar dollar AS terhadap Tiongkok. AS banyak mengimpor barang-barang elektronik, pakaian, dan mesin dari Tiongkok.
Ini sebenarnya persoalan lama yang belum ditemukan solusinya. Mengapa Tiongkok begitu superior? Pertama, Tiongkok memiliki keunggulan komparatif pada biaya tenaga kerja. Pendapatan per kapita AS saat ini 56.000 dollar AS, sedangkan Tiongkok 9.000 dollar AS (untuk kota terbesar Beijing dan Shanghai mencapai 11.000 dollar AS). Kedua, Pemerintah Tiongkok secara sengaja menetapkan kurs yuan (renminbi) secara tetap sehingga cenderung lebih murah daripada semestinya (undervalued). Hal ini kian menguntungkan posisi harga barang-barang Tiongkok sehingga menjadi lebih murah.

Perilaku Pemilih Pilkada DKI

Perilaku Pemilih Pilkada DKI

KORAN TEMPO Selasa, 21 Maret 2017 | 01:18 WIB
Tobias Basuki
Peneliti Centre for Strategic and International Studies

Perdebatan perilaku pemilih dalam Pemilihan Kepala Daerah DKI 2017 kali ini sangat menarik. Tulisan Eep Saefulloh Fatah di kolom majalah Tempo edisi 12 Maret 2017 menggelitik karena menafikan dua teori utama dalam melihat pemilih DKI. Pemilih rasional sering terlalu disederhanakan sebagai pemilih yang menggunakan akal sehat dan diterjemahkan dalam pilkada ketika pemilih melihat kinerja sebagai basis pilihan. Politik aliran lebih melihat sekat-sekat kelompok, khususnya agama, sebagai salah satu penentu bagi pemilih di Indonesia.

Bisa dikatakan hasil putaran pertama pilkada DKI ini adalah imbang untuk kedua kerangka teori pemilih rasional versus politik aliran. Hasil putaran pertama menempatkan petahana Basuki Tjahaja Purnama dengan 43 persen suara dan penantangnya, Anies Baswedan, 40 persen. Ini menunjukkan bahwa dua teori tersebut mempunyai kekuatan penjelas tapi terbatas.

Ketika elektabilitas Ahok menukik tajam sampai di titik 20 persen sekitar November, alasan utama yang digarisbawahi adalah kasus penistaan agama yang menjerat Ahok ke dalam kasus hukum. Menariknya, setelah kasus penistaan tersebut masuk ke pengadilan, justru elektabilitas Ahok menanjak ke angka 30-an persen.

Dari kasus ini bisa dikatakan kurang akurat jika menggambarkan 400 ribu umat muslim yang turun dalam aksi 411 dan 212 semata marah karena agamanya dinistakan. Sebab, jika kemarahan itu demikian besar, elektabilitas Ahok pasti tidak akan mencapai 43 persen pada putaran pertama lantaran  pemilih muslim di DKI Jakarta lebih dari 80 persen.