Thursday, December 15, 2016

Mencari Format Ideal Pemilu 2019


Oleh Ali Thaufan Dwi Saputra
Tahun 2019  akan digelar pemilihan anggota legislatif serta presiden dan wakil. Salah satu perhatian adalah pileg dan pilpres serentak. Pemerintah telah menyiapkan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyelenggaraan Pemilu untuk penyelenggara pemilu, pileg dan pilpres.
Pemilu 2019 diharapkan  melahirkan pemimpin  dan wakil-wakil rakyat  berkualitas. Maka perlu pemilu ideal. Hanya, ideal bagi rakyat, parpol, atau segelintir elite politik? Idealnya, juga sangat ditentukan UU yang berkualitas.
Terhadap draf RUU Pemilu yang disampaikan pemerintah kepada DPR, ada beberapa isu yang perlu dicermati. Antara lain terkait lembaga penyelenggara (KPU dan Bawaslu), pemilu serentak, sistem yang digunakan, dan metode konversi suara menjadi kursi di lembaga perwakilan. Dalam beberapa hari ke depan, DPR dan pemerintah segera membahasnya.
Terkait kelembagaan penyelenggaraan pemilu yang patut diperhatikan adalah pileg dan pilpres 2019 serentak. Ini akan menjadi pengalaman baru Indonesia. Keserentakan tersebut akan menambah kompleksitas pemilu. Hal ini menuntut personel penyelenggara atau komisioner KPU-Bawaslu berkualitas. Penambahan komisioner juga patut dipertimbangkan.

Distorsi Demokrasi


Foto : Koran Jakarta/One   
OLEH FERY CHOFA 
“The country is controlled by Laws. Laws are controlled by politicians. Politicians are controlled by voters. Voters are controlled by public opinion. Public opinion is controlled by the media and education. So, whoever controls the media and education, controls the country” (William J Federer, Change to Chains, The 6,000 Years Quest for Control).
Demikian ungkapan seorang penulis Amerika Serikat tentang kekuatan pengaruh media massa terhadap negara. Siapa pun yang mengontrol media dan pendidikan akan menguasai negara. Ungkapan tersebut masih bisa diperdebatkan dari berbagai bidang ilmu, namun fakta empiris seakan membuktikan keabsahannya. Berbagai pernyataan dan pengakuan para tokoh dunia lintas disiplin semakin menegaskannya mulai dari MalcolmX, Adolf Hitler, Ted Turner, Allen Ginsberg hingga Jim Morrison.
Tidaklah mengherankan kaitan dengan ekses pengaruh tadi banyak tokoh pers terlibat dalam kancah politik dan gerakan demokrasi suatu bangsa. Benjamin Franklin, Joseph Pullitzer, Joe Scarborough, Pierre Trudeau, Silvio Berlusconi, Djamaluddin Adinegoro, Setiabudhi, Adam Malik, Mochtar Lubis adalah sederet nama yang telah meninggalkan jejak tinta emasnya.

Sosiologi Maulid Nabi

Republika
Tuesday, 13 December 2016, 13:00 WIB
 
Peringatan maulid Nabi Muhammad SAW kali ini sarat dengan spirit Aksi Bela Islam (ABI). Secara sosiologis, memaknai maulid Nabi tidak hanya mengingatkan konteks sosial masyarakat Jahiliyah yang melingkupi kelahirannya, tapi juga menyadarkan kita semua bahwa neo-jahiliyah dalam bentuk penistaan Alquran dan agama Islam pada era digital ini masih berlanjut, termasuk di negeri tercinta yang berpenduduk mayoritas Muslim.

Dalam konteks jihad konstitusi terhadap penistaan agama, umat Islam Indonesia sudah semestinya berjihad mengawal proses hukum tersangka penista agama agar hukum ditegakkan seadil-adilnya. Selain itu, umat Islam juga harus melakukan evaluasi diri dan aktualisasi visi-misi profetik beliau sebagai rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi semesta raya). "Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam." (QS al-Anbiya' [21]: 107).

Tugas Nabi SAW memang tidak sekadar menyampaikan wahyu Alquran, tetapi juga menampilkan teladan terbaik (the best role model) bagi hidup manusia, termasuk dalam membela kehormatan dan kemuliaan Islam. Dengan sunahnya, Nabi menjadi penjelas ayat-ayat Alquran dalam amalan nyata. Karena itu, wujud Islam sebagai rahmatan lil 'alamin tecermin dalam akhlak dan kepribadian beliau. "Sungguh pada diri Rasulullah itu terdapat keteladanan terbaik (uswah hasanah) bagi orang yang mengharapkan pertemuan dengan Allah dan hari akhir." (QS al-Ahzab [33]: 21).
 
Sosiologi kelahiran Nabi

Nabi SAW lahir pada tahun gajah (571 M) dalam lingkungan sosial budaya jahiliyah. Disebut tahun gajah, karena saat itu tentara gajah di bawah pimpinan Raja Abrahah menyerang Ka'bah, karena marah dan merasa iri dengan Ka'bah di Makkah yang banyak dikunjungi orang dari berbagai pelosok negeri sambil bertransaksi ekonomi, sementara Ka'bah palsu yang dibuatnya sepi pengunjung. Secara sosiologis, kelahirannya disuasanai persaingan sosial ekonomi dengan penistaan dan penyerangan Ka'bah.  Dan, para penista dan penyerang Ka'bah itu dihancurkan oleh  "tentara langit  " (burung ababil) yang melempari mereka dengan batu panas yang membuat mereka seperti daun yang dimakan ulat (QS al-Fil [105]: 1-5).

Beliau dibesarkan dalam keluarga Bani Hasyim yang dikenal sebagai pemimpin suku yang sangat dihormati. Nabi pernah menyatakan: "Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah  keturunan Nabi Ismail, memilih Quraisy di antara keturunan Kinanah, memilih Bani Hasyim di antara kaum Quraisy, dan memilihku di antara Bani Hasyim." (HR Muslim).   Secara sosiologis, sabda Nabi SAW ini menunjukkan, pertama, trah genealogis itu sangat penting dalam  kepemimpinan sosial politik, meski bukan penentu satu-satunya. Karena, dari garis keturunannya, kepribadian dan kepemimpinan seseorang dapat dilihat dan dibuktikan. Jadi, secara sosio-genealogis Nabi SAW terbukti memiliki nasab kenabian dan kepemimpinan yang berpengaruh.

Kedua, penelusuran sosio-genealogis dapat memperjelas track record moral dan sosial seseorang pada masa lalu. Sebab, dewasa ini tidak sedikit pemimpin itu dihasilkan "pencitraan, marketing politik, dan modal finansial", bukan kompetensi dan integritas moral yang baik. Sejarah membuktikan bahwa Nabi SAW tidak pernah punya masa lalu yang terindikasi cacat moral dan sosial. Sejak kecil hingga diangkat menjadi rasul, Nabi SAW dikenal jujur, terpercaya, bersih, tidak pernah minuman keras, berjudi, membunuh, mencuri, berzina, apalagi menghina agama lain. 

Sebelum menjadi rasul, Nabi SAW juga pernah menampilkan teladan sosiologis dalam resolusi konflik antarsuku yang nyaris bentrok fisik. Saat itu, semua suku Arab di sekitar Kota Makkah saling berebut "gengsi" untuk meletakkan kembali hajar aswad yang hanyut dari Ka'bah akibat banjir bandang. Setiap pemimpin suku merasa paling berhak menempatkannya kembali pada posisi semula. Konflik "rebutan gengsi" nyaris ricuh karena semua mementingkan egoisitasnya. Beruntung dicapai kesepakatan bahwa orang pertama yang masuk Masjidil Haram dipercaya menyelesaikan konflik ini. Muhammad Saw, pemuda yang masuk masjid pertama kali, tampil memberi solusi dengan terlebih dahulu berdialog  penuh harmoni dengan para kepala suku.

Resolusi akomodatif dilakukan beliau dengan menggelar serban, lalu hajar aswad diletakkan di atasnya dan diangkat secara bersama-sama menuju posisinya. Semua diperhatikan dan diakomodasi. Tidak ada suku yang "digusur" dan ditindas, sehingga resolusi ini diterima semua kepala suku. Kekerasan fisik antarsuku dapat dihindari. Berkat resolusi konfliknya yang brilian itulah Muhammad muda dianugeri gelar "al-Amin" (orang terpercaya).

Pemimpin terpercaya (al-Amin) pasti berusaha mencari solusi terhadap berbagai persoalan secara dialogis dan harmoni. Dialog lintas-suku dan budaya tampaknya merupakan jalan damai dan toleransi. Setelah diangkat menjadi Rasul, beliau sungguh menunjukkan pemimpin yang jujur (shidq), dapat dipercaya (amanah), terbuka dan komunikatif (tabligh) dan cerdas dalam memahami dan memperjuangkan kemajuan masyarakatnya (fathanah). Kata kunci sukses beliau dalam memimpin umat adalah keluhuran akhlak dan keteladanannya yang baik, bersatunya antara kata dan perbuatan nyata serta antara cita-cita dan cinta. 

Jihad Konstitusi

Bagi Muslim yang mencintai Allah SWT dan Rasul-Nya, panggilan jihad konstitusi untuk melawan penista Nabi SAW dan kitab suci Alquran tentu saja merupakan sebuah keniscayaan. Aksi Bela Islam (ABI) yang diikuti jutaan umat Islam Indonesia, baik secara sosiologis maupun psikologis,  sejatinya digerakkan oleh hati nurani dan cinta suci terhadap agama yang dinista oleh musuh Allah dan Rasul-Nya. Fakta ABI 411 dan 212 menunjukkan bahwa mengawal dan menuntut penista Islam dihukum seadil-adilnya, tidak dilindungi dan dibela oleh rezim penguasa, merupakan jihad konstitusi yang legal secara demokrasi dan dijamin undang-undang.

Karena itu, berbagai upaya penggembosan dan penghalangan oleh kekuatan rezim yang menghalalkan segala cara terbukti gagal total. "Kekuasaan langit"  dalam menyatukan umat sekali-kali tidak akan mampu dibendung oleh "kekuasaan bumi" yang arogan dan ugal-ugalan.  Perlu direnungkan dengan hati bersih dan pikiran jernih, bahwa penguasa bumi yang bermain-main dengan berlaku diktator dan despotik (zalim) dalam penegakan hukum pasti akan dihancurkan oleh penguasa langit melalui jihad konstitusi umatnya. Sama seperti Namrud, Fir'aun, dan Karun, mereka pada masanya begitu digjaya sekaligus diktator, tetapi akhirnya dibinasakan oleh penguasa langit. 

Melalui peringatan maulid Nabi, jihad konstitusi menemukan momentumnya yang tepat untuk mengkritisi berbagai kebijakan penguasa yang tidak berpihak kepada rakyat. Seyogianya penguasa mengaca diri untuk berlaku adil dalam menegakkan hukum terhadap penista agama yang jelas-jelas melanggar hukum. Pada saat yang sama, pemimpin yang diberi mandat oleh rakyat semestinya tidak "menjual kekayaan" Indonesia kepada asing dan aseng, karena pasti menyakiti dan merugikan bangsa. Pemimpin bangsa dan negara, seperti teladan Nabi SAW, hendaknya menyayangi dan melindungi rakyatnya, bukan mengorbankannya hanya demi seorang penista agama.

Maulid Nabi memberi spirit kebangsaan bagi umat Islam dan rakyat Indonesia untuk bangkit dan berjihad sepenuh hati untuk menegakkan hukum dan keadilan sosial, menghargai dan menghormati sesama, dan mengedepankan kemaslahatan dan persatuan bangsa daripada melindungi dan membela mati-matian seorang penista agama. Yang terbukti bersalah harus dihukum seadil-adilnya. Nabi SAW tidak pernah bersandiwara dalam menegakkan keadilan hukum. Dan umat Islam Indonesia pasti tidak akan pernah lelah berjihad konstitusi demi penegakan keadilan hukum dan berjihad melawan penyakit jahiliyah modern (maling/korupsi, judi, miras, prostitusi, pornografi, pornoaksi, narkoba, pembalakan liar, dan sebagainya).

Muhbib Abdul Wahab
Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ

Post-truth dan Medsos di Indonesia


Republika Kamis, 15 Desember 2016, 
 
Tahun 2016 sebentar lagi berlalu. Namun, Oxford Dictionaries telah memberikan gelar "the word of 2016" pada kata post-truth karena dipandang cukup mewakili apa yang telah terjadi sepanjang tahun 2016 ini. "Post-truth" adalah kata sifat yang berarti suatu keadaan di mana daya tarik emosional lebih berpengaruh dalam membentuk opini publik daripada fakta yang objektif.

Argumentasi ini bukanlah tanpa alasan. Apabila kita tarik sedikit ke belakang, dinamika dunia internet lima atau 10 tahun lalu sangatlah berbeda dengan saat sekarang. Dulu, internet bersifat tekstual, sangat terdesentralisasi, penuh dengan informasi dan pengetahuan yang kaya dengan materi maupun latar belakang yang beragam. Membaca internet lima atau 10 tahun lalu seperti membaca buku di perpustakaan yang komplet.

Saat ini, internet telah didominasi oleh media sosial. Facebook dan Twitter telah menggantikan blog. Youtube (vlog) telah menggantikan jurnalisme. Meme dan foto telah menggantikan konten dan tautan. Pamor media sosial semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah pengguna platform tersebut. Hal ini mendorong lahirnya efek positif pada eksternalitas jejaring dari media sosial. Setelah titik kritis terlampaui, tidak ada pilihan lain bagi suatu platform selain menjadi lebih besar lagi.