Republika
Tuesday, 13 December 2016, 13:00 WIB
Peringatan maulid Nabi Muhammad SAW kali ini sarat dengan spirit
Aksi Bela Islam (ABI). Secara sosiologis, memaknai maulid Nabi tidak
hanya mengingatkan konteks sosial masyarakat Jahiliyah yang melingkupi
kelahirannya, tapi juga menyadarkan kita semua bahwa neo-jahiliyah dalam
bentuk penistaan Alquran dan agama Islam pada era digital ini masih
berlanjut, termasuk di negeri tercinta yang berpenduduk mayoritas
Muslim.
Dalam konteks jihad konstitusi terhadap penistaan
agama, umat Islam Indonesia sudah semestinya berjihad mengawal proses
hukum tersangka penista agama agar hukum ditegakkan seadil-adilnya.
Selain itu, umat Islam juga harus melakukan evaluasi diri dan
aktualisasi visi-misi profetik beliau sebagai rahmatan lil 'alamin
(rahmat bagi semesta raya). "Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad)
melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam." (QS al-Anbiya' [21]:
107).
Tugas Nabi SAW memang tidak sekadar menyampaikan wahyu
Alquran, tetapi juga menampilkan teladan terbaik (the best role model)
bagi hidup manusia, termasuk dalam membela kehormatan dan kemuliaan
Islam. Dengan sunahnya, Nabi menjadi penjelas ayat-ayat Alquran dalam
amalan nyata. Karena itu, wujud Islam sebagai rahmatan lil 'alamin
tecermin dalam akhlak dan kepribadian beliau. "Sungguh pada diri
Rasulullah itu terdapat keteladanan terbaik (uswah hasanah) bagi orang
yang mengharapkan pertemuan dengan Allah dan hari akhir." (QS al-Ahzab
[33]: 21).
Sosiologi kelahiran Nabi
Nabi
SAW lahir pada tahun gajah (571 M) dalam lingkungan sosial budaya
jahiliyah. Disebut tahun gajah, karena saat itu tentara gajah di bawah
pimpinan Raja Abrahah menyerang Ka'bah, karena marah dan merasa iri
dengan Ka'bah di Makkah yang banyak dikunjungi orang dari berbagai
pelosok negeri sambil bertransaksi ekonomi, sementara Ka'bah palsu yang
dibuatnya sepi pengunjung. Secara sosiologis, kelahirannya disuasanai
persaingan sosial ekonomi dengan penistaan dan penyerangan Ka'bah. Dan,
para penista dan penyerang Ka'bah itu dihancurkan oleh "tentara
langit " (burung ababil) yang melempari mereka dengan batu panas yang
membuat mereka seperti daun yang dimakan ulat (QS al-Fil [105]: 1-5).
Beliau dibesarkan dalam keluarga Bani Hasyim yang dikenal sebagai
pemimpin suku yang sangat dihormati. Nabi pernah menyatakan:
"Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah keturunan Nabi Ismail,
memilih Quraisy di antara keturunan Kinanah, memilih Bani Hasyim di
antara kaum Quraisy, dan memilihku di antara Bani Hasyim." (HR
Muslim). Secara sosiologis, sabda Nabi SAW ini menunjukkan, pertama,
trah genealogis itu sangat penting dalam kepemimpinan sosial politik,
meski bukan penentu satu-satunya. Karena, dari garis keturunannya,
kepribadian dan kepemimpinan seseorang dapat dilihat dan dibuktikan.
Jadi, secara sosio-genealogis Nabi SAW terbukti memiliki nasab kenabian
dan kepemimpinan yang berpengaruh.
Kedua, penelusuran
sosio-genealogis dapat memperjelas track record moral dan sosial
seseorang pada masa lalu. Sebab, dewasa ini tidak sedikit pemimpin itu
dihasilkan "pencitraan, marketing politik, dan modal finansial", bukan
kompetensi dan integritas moral yang baik. Sejarah membuktikan bahwa
Nabi SAW tidak pernah punya masa lalu yang terindikasi cacat moral dan
sosial. Sejak kecil hingga diangkat menjadi rasul, Nabi SAW dikenal
jujur, terpercaya, bersih, tidak pernah minuman keras, berjudi,
membunuh, mencuri, berzina, apalagi menghina agama lain.
Sebelum menjadi rasul, Nabi SAW juga pernah menampilkan teladan
sosiologis dalam resolusi konflik antarsuku yang nyaris bentrok fisik.
Saat itu, semua suku Arab di sekitar Kota Makkah saling berebut "gengsi"
untuk meletakkan kembali hajar aswad yang hanyut dari Ka'bah akibat
banjir bandang. Setiap pemimpin suku merasa paling berhak menempatkannya
kembali pada posisi semula. Konflik "rebutan gengsi" nyaris ricuh
karena semua mementingkan egoisitasnya. Beruntung dicapai kesepakatan
bahwa orang pertama yang masuk Masjidil Haram dipercaya menyelesaikan
konflik ini. Muhammad Saw, pemuda yang masuk masjid pertama kali, tampil
memberi solusi dengan terlebih dahulu berdialog penuh harmoni dengan
para kepala suku.
Resolusi akomodatif dilakukan beliau dengan
menggelar serban, lalu hajar aswad diletakkan di atasnya dan diangkat
secara bersama-sama menuju posisinya. Semua diperhatikan dan
diakomodasi. Tidak ada suku yang "digusur" dan ditindas, sehingga
resolusi ini diterima semua kepala suku. Kekerasan fisik antarsuku dapat
dihindari. Berkat resolusi konfliknya yang brilian itulah Muhammad muda
dianugeri gelar "al-Amin" (orang terpercaya).
Pemimpin
terpercaya (al-Amin) pasti berusaha mencari solusi terhadap berbagai
persoalan secara dialogis dan harmoni. Dialog lintas-suku dan budaya
tampaknya merupakan jalan damai dan toleransi. Setelah diangkat menjadi
Rasul, beliau sungguh menunjukkan pemimpin yang jujur (shidq), dapat
dipercaya (amanah), terbuka dan komunikatif (tabligh) dan cerdas dalam
memahami dan memperjuangkan kemajuan masyarakatnya (fathanah). Kata
kunci sukses beliau dalam memimpin umat adalah keluhuran akhlak dan
keteladanannya yang baik, bersatunya antara kata dan perbuatan nyata
serta antara cita-cita dan cinta.
Jihad Konstitusi
Bagi Muslim yang mencintai Allah SWT dan Rasul-Nya, panggilan jihad
konstitusi untuk melawan penista Nabi SAW dan kitab suci Alquran tentu
saja merupakan sebuah keniscayaan. Aksi Bela Islam (ABI) yang diikuti
jutaan umat Islam Indonesia, baik secara sosiologis maupun psikologis,
sejatinya digerakkan oleh hati nurani dan cinta suci terhadap agama yang
dinista oleh musuh Allah dan Rasul-Nya. Fakta ABI 411 dan 212
menunjukkan bahwa mengawal dan menuntut penista Islam dihukum
seadil-adilnya, tidak dilindungi dan dibela oleh rezim penguasa,
merupakan jihad konstitusi yang legal secara demokrasi dan dijamin
undang-undang.
Karena itu, berbagai upaya penggembosan dan
penghalangan oleh kekuatan rezim yang menghalalkan segala cara terbukti
gagal total. "Kekuasaan langit" dalam menyatukan umat sekali-kali tidak
akan mampu dibendung oleh "kekuasaan bumi" yang arogan dan
ugal-ugalan. Perlu direnungkan dengan hati bersih dan pikiran jernih,
bahwa penguasa bumi yang bermain-main dengan berlaku diktator dan
despotik (zalim) dalam penegakan hukum pasti akan dihancurkan oleh
penguasa langit melalui jihad konstitusi umatnya. Sama seperti Namrud,
Fir'aun, dan Karun, mereka pada masanya begitu digjaya sekaligus
diktator, tetapi akhirnya dibinasakan oleh penguasa langit.
Melalui peringatan maulid Nabi, jihad konstitusi menemukan momentumnya
yang tepat untuk mengkritisi berbagai kebijakan penguasa yang tidak
berpihak kepada rakyat. Seyogianya penguasa mengaca diri untuk berlaku
adil dalam menegakkan hukum terhadap penista agama yang jelas-jelas
melanggar hukum. Pada saat yang sama, pemimpin yang diberi mandat oleh
rakyat semestinya tidak "menjual kekayaan" Indonesia kepada asing dan
aseng, karena pasti menyakiti dan merugikan bangsa. Pemimpin bangsa dan
negara, seperti teladan Nabi SAW, hendaknya menyayangi dan melindungi
rakyatnya, bukan mengorbankannya hanya demi seorang penista agama.
Maulid Nabi memberi spirit kebangsaan bagi umat Islam dan rakyat
Indonesia untuk bangkit dan berjihad sepenuh hati untuk menegakkan hukum
dan keadilan sosial, menghargai dan menghormati sesama, dan
mengedepankan kemaslahatan dan persatuan bangsa daripada melindungi dan
membela mati-matian seorang penista agama. Yang terbukti bersalah harus
dihukum seadil-adilnya. Nabi SAW tidak pernah bersandiwara dalam
menegakkan keadilan hukum. Dan umat Islam Indonesia pasti tidak akan
pernah lelah berjihad konstitusi demi penegakan keadilan hukum dan
berjihad melawan penyakit jahiliyah modern (maling/korupsi, judi, miras,
prostitusi, pornografi, pornoaksi, narkoba, pembalakan liar, dan
sebagainya).
Muhbib Abdul Wahab
Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ