Oleh Ali Thaufan Dwi Saputra
Tahun 2019 akan digelar pemilihan anggota legislatif serta presiden
dan wakil. Salah satu perhatian adalah pileg dan pilpres serentak.
Pemerintah telah menyiapkan draf Rancangan Undang-Undang (RUU)
Penyelenggaraan Pemilu untuk penyelenggara pemilu, pileg dan pilpres.
Pemilu 2019 diharapkan melahirkan pemimpin dan wakil-wakil rakyat
berkualitas. Maka perlu pemilu ideal. Hanya, ideal bagi rakyat, parpol,
atau segelintir elite politik? Idealnya, juga sangat ditentukan UU yang
berkualitas.
Terhadap draf RUU Pemilu yang disampaikan pemerintah kepada DPR, ada
beberapa isu yang perlu dicermati. Antara lain terkait lembaga
penyelenggara (KPU dan Bawaslu), pemilu serentak, sistem yang digunakan,
dan metode konversi suara menjadi kursi di lembaga perwakilan. Dalam
beberapa hari ke depan, DPR dan pemerintah segera membahasnya.
Terkait kelembagaan penyelenggaraan pemilu yang patut diperhatikan
adalah pileg dan pilpres 2019 serentak. Ini akan menjadi pengalaman baru
Indonesia. Keserentakan tersebut akan menambah kompleksitas pemilu. Hal
ini menuntut personel penyelenggara atau komisioner KPU-Bawaslu
berkualitas. Penambahan komisioner juga patut dipertimbangkan.
Sekarang komisioner KPU Pusat hanya tujuh. Ini perlu ditambah untuk
penguatan KPU-Bawaslu. Pengalaman pemilu ataupun pilkada menunjukkan,
banyak pelanggaran. Penambahan komisioner (terutama Bawaslu) demi
efektifitas penanganan pelanggaran tersebut.
Komitmen pemerintah untuk menguatkan Bawaslu terlihat dalam pasal 80,
yakni perubahan Panwaslu menjadi Bawaslu di tingkat kabupaten/kota yang
juga perlu tambah anggaran. Pemilu serentak sebagai buah Putusan MK
2013. Sebetulnya, keserentakan pileg dan pilpres direncanakan dilakukan
pada Pemilu 2014. Tetapi atas berbagai pertimbangan, baru akan
diberlakukan Pemilu 2019.
Pemilu serentak tentu menghemat waktu dan biaya serta bisa
menghasilkan koalisi kuat, bukan sementara. Keputusan MK (No
14/PPU-XI/2015) tersebut untuk penguatan sistem presidensial. Selama ini
pilpres yang digelar pascapileg menghasilkan koalisi parpol yang rapuh. Pemerintahan yang dihasilkan dalam 4 pemilu juga acap kali terbelah.
Keserentakan akan mengubah masalah teknis lapangan. Pemilih
mungkin akan menghadapi pilihan banyak untuk pileg DPRD kab/kota,
DPRD provinsi, DPR, DPD, presiden dan wakil presiden.
Terbuka Terbatas
RUU Pemilu Pasal 138 menyebutkan, sistem pileg 2019 nanti
proporsional terbuka terbatas. Sistem ini tidak jauh berbeda dengan
proporsional tertutup. Pemilih mencoblos gambar partai, bukan caleg.
Sistem ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya, memperkuat
kewenangan parpol sebagai pilar demokrasi dan mendorong transparansi
parpol. Kekurangannya, tidak mencerminkan representasi pilihan rakyat.
Sistem ini juga masih “ambigu.” Jika sistem ini memberikan kesempatan
rakyat menentukan calegnya, maka keterpilihan seharusnya didasarkan
pada perolehan suara terbanyak, bukan oleh parpol berdasarkan nomor
urut. Sistem ini sebetulnya bisa dikatakan sebagai “close list.” Sistem
terbuka terbatas ini, dianggap melanggar putusan MK No 22/PUU-IV-2008
yang menyatakan, penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak
secara berurutan, bukan atas dasar nomor urut terkecil yang ditetapkan
partai.
Sistem proporsional terbuka terbatas yang terdapat dalam RUU Pemilu
belum final. Yang penting, menurut Ramlan (1999: 177) dalam sistem
pemilu adalah variabel pokok yang harus diatur dalam UU, penyerapan,
daerah pemilihan, dan formula pemilihan.
Terkait formula penghitungan suara, RUU Pemilu Pasal 399 menyebutkan
“membagi suara sah setiap partai politik peserta pemilu sebagaimana
dimaksud huruf a dengan bilangan pembagi 1,4 diikuti secara berurut
bilangan 3, 5, 7, dan seterusnya.”
Penghitungan ini disebut Divisor Sainte Lague Modifikasi di mana
perolehan suara tiap partai mulai dibagi dengan angka 1.4, 3, 5, 7 dan
seterusnya. Teknik penghitungan ini tentu menguntungkan parpol peraih
suara terbanyak karena mendapat tambahan kursi.
Metode dan teknik penghitungan lain bisa menggunakan Devisor Sainte
Lague murni dengan bilangan pembagi suara 1,3,5,7 dan seterusnya. Hasil
simulasi Divisor Sainte Lague tidak jauh berbeda dengan penerapan Kuota
Hare layaknya Pemilu 2014.
Selain Devisor Sainte Lague (murni dan modifikasi) juga dikenal
metode Divisor D’Hond dengan bilangan pembagi suara 1,2,3,4,5,6, dan
seterusnya di mana partai-partai besar lebih diuntungkan. Jika
menggunakan teknik ini berdasarkan perolehan suara Pemilu 2014, maka
PDIP, Golkar, dan Gerindra menjadi tiga parpol paling diuntungkan.
Ketiganya mendapat tambahan kursi signifikan. PDIP meraih 28 tambahan
kursi, Golkar 27 kursi, dan Gerindra 5 kursi. Sedangkan ketujuh partai
lainnya jumlah kursinya turun.
Metode Devisor D’Hond, akan menguntungkan parpol besar yang mendapat
suara terbanyak dengan indeks disproporsionalitas tinggi. Sebaliknya,
metode Devisor Sainte Lague, meski sedikit menguntungkan parpol
menengah, indeks disproporsionalitas relatif kecil.
Terkait keanggotaan legislatif, RUU Pemilu mensyarakatkan banyak.
Dalam Pasal 209 huruf n, disebutkan bahwa syarat “nyaleg” adalah
“menjadi anggota parpol peserta pemilu.” Ketentuan tersebut seharusnya
ditambah, misalnya, menjadi anggota parpol lebih dari tiga atau lima
tahun agar pengaderan berjalan baik. Pengaderan jangan hanya menjelang
pemilu sehingga tidak berkualitas. Jadi, tidak ada perekrutan kader
secara serampangan.
Hal-hal lain yang patut diperhatikan ketentuan kampanye pasangan
calon presiden dan wakil. Perkembangan teknologi telah memudahkan
kampanye melalui media sosial (berbasis teknologi internet). Tetapi,
media sosial sering sebagai alat propaganda. Berkaca dari beberapa
kasus kampanye Pemilu 2014 lalu, dan pilkada, media sosial menjadi cara
paling murah untuk menjatuhkan lawan politik.
Berbagai ujaran kebencian sering menghiasi media sosial saat
kampanye. Pemerintah dan DPR perlu mengatur kampanye melalui media
sosial. Publik tidak menginginkan hajatan demokrasi lima tahunan
berujung permusuhan antarpendukung calon presiden. Pengalaman pemilu
2014, permusuhan hanya karena beda pilihan dalam pemilu. Hal ini harus
dihindari demi menjaga kemajemukan bangsa. RUU Pemilu diharapkan segera
selesai mengingat tahapannya dimulai pertengahan 2017.
Penulis lulusan Program Pascasarjana UIN Jakarta
No comments:
Post a Comment