Thursday, September 10, 2015

Politik Dinasti, Sebab atau Akibat? oleh J Kristiadi

  

Tanggung Jawab atas Kebudayaan


Bagi seorang antropolog yang profesinya sehari-hari mengajar mahasiswa mengenai makna budaya dan kebudayaan, pembahasan yang muncul di surat kabar belakangan ini sangat menggelikan.
Umpamanya polemik mengenai isi RUU Kebudayaan yang tak kunjung habis. Ada orang berpendapat bahwa dengan adanya UU tersebut, kebudayaan akan menjadi beku dan statis. Ada orang lain yang berpendapat bahwa, kecuali ada UU, hasil kebudayaan—kesenian dan kearifan bangsa—akan cepat musnah. Memandang perselisihan ini, para antropolog menggeleng-gelengkan kepala: seakan-akan pemikiran yang mereka kemukakan selama puluhan tahun, baik di perguruan tinggi maupun dalam buku-buku dan esai-esai, tak pernah sampai ke khalayak ramai.

Jalan Panjang Islam dan Demokrasi

Hasil kajian yang menyatakan Islam kompatibel dengan demokrasi semakin banyak pada pengujung abad ke-20 dan mencapai puncaknya dari tahun 2010 hingga awal 2013. Pengakuan terhadap demokrasi di kalangan kelompok-kelompok politik Islam juga semakin luas.
Keterlibatan Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir dalam pemilu secara terbatas melalui wakil-wakil personalnya, sejak tahun 1980/1990-an, semakin meningkatkan persepsi positif kelompok Islam terhadap demokrasi, setidaknya terhadap ”pemilu”. Setelah tumbangnya Hosni Mubarak yang menempatkan kelompok itu menjadi kelompok paling potensial untuk berkuasa, penegasan terhadap kompatibilitas Islam dan demokrasi jadi begitu kuat.
Para tokoh Ikhwan ataupun partai bentukannya, hizb al-hurriyah wal ’Adalah, menggelorakan kompatibilitas Islam dan demokrasi ini, termasuk ulama panutannya, Yusuf Qardhawi. Dan, keberhasilan mereka memegang kekuasaan eksekutif dan legislatif Mesir melalui Pemilu 2012 membuat mereka merayakan capaian tersebut bak pesta perkawinan di antara dua makhluk berbeda, Islam dan demokrasi.

Bukan Negara Polisi

Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi dan majalah Tempo, kini giliran Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dikriminalkan. Begitu informasi yang diturunkan sejumlah media massa pada akhir pekan lalu.
Penyidik Badan Reserse Kriminal Polri melaporkan semua anggota Komnas HAM atas tuduhan telah melakukan pelecehan dan fitnah terhadap para penyidik melalui media massa karena memublikasikan hasil penyelidikannya.
Betapapun membungkus langkah tersebut sebagai suatu upaya hukum, tetap saja muncul pertanyaan: ada apa dengan kepolisian? Apakah tersebab masalah calon pemimpin tertingginya dibatalkan Presiden, lantas semua pihak yang dianggap tak sejalan justru diadukan atau dilekati tuduhan melanggar hukum? Terlebih pihak yang melaporkan adalah penyidik Polri. Fakta itu semakin meyakinkan publik betapa Polri tidak sedang dalam keadaan normal.