Khairul Fahmi
Kompas Cetak |
606 dibaca
6 komentar
Setelah Komisi Pemberantasan
Korupsi dan majalah Tempo, kini giliran Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia dikriminalkan. Begitu informasi yang diturunkan sejumlah media
massa pada akhir pekan lalu.
Penyidik Badan Reserse Kriminal Polri melaporkan semua anggota Komnas
HAM atas tuduhan telah melakukan pelecehan dan fitnah terhadap para
penyidik melalui media massa karena memublikasikan hasil
penyelidikannya.
Betapapun membungkus langkah tersebut sebagai suatu upaya hukum, tetap
saja muncul pertanyaan: ada apa dengan kepolisian? Apakah tersebab
masalah calon pemimpin tertingginya dibatalkan Presiden, lantas semua
pihak yang dianggap tak sejalan justru diadukan atau dilekati tuduhan
melanggar hukum? Terlebih pihak yang melaporkan adalah penyidik Polri.
Fakta itu semakin meyakinkan publik betapa Polri tidak sedang dalam
keadaan normal.
Lebih jauh dari itu, manuver dimaksud juga sulit melepaskannya dari
kepentingan institusi Polri yang saat ini dipimpin para jenderal yang
sebelumnya berseteru dengan KPK.
Pada saat yang sama, kecil pula kemungkinan hal itu tak terhubung
dengan adanya ”kesumat” terhadap institusi atau perorangan yang dinilai
mengkritik, menyudutkan, atau bahkan menyalahkan berbagai langkah Polri
ketika berhadapan dengan KPK. Oleh karena itu, menjadi wajar jika ada
penilaian bahwa upaya ini jauh dari idealitas yang semestinya dilakukan
institusi sekelas Polri.
Komnas HAM penentu
Menjauhnya Polri dari idealitas sikap yang semestinya itu semakin
terang dengan menyerang lembaga negara, seperti Komnas HAM. Sikap ini
memperlihatkan betapa rasionalitas semakin menjauh dari sikap dan
kebijakan Polri. Bahkan, langkah yang ditempuh semakin berjarak dengan
arahan Presiden Joko Widodo terhadap Polri terkait kisruh Polri-KPK.
Tidakkah Polri masih berada di bawah ketaatan terhadap sang Presiden?
Pertanyaan yang mungkin hanya Presiden dan Wakil Kepala Polri yang dapat
menjawabnya.
Terkait laporan tindak pidana yang dialamatkan kepada semua komisioner
Komnas HAM, mesti diingat bahwa Komnas HAM adalah lembaga negara. Bahkan
UU No 39/1999 tegas memberi pengakuan bahwa Komnas HAM merupakan
lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara
lainnya. Sebagai lembaga negara, sepanjang yang dilakukan sesuai dengan
kewenangan yang dimiliki, siapa pun tidak dapat mempersoalkannya.
Apalagi jika sekadar masalah informasi hasil penyelidikan yang mereka
sampaikan melalui media massa.
Soal Komnas HAM memublikasikan hasil penyelidikannya, setidaknya mesti
diingat tiga hal berikut. Pertama, sepanjang yang dipublikasikan adalah
hasil temuan lembaga, diputuskan melalui mekanisme pengambilan keputusan
lembaga, dan sesuai dengan kewenangannya, maka komisioner Komnas HAM
tidak dapat dituntut secara pidana. Selain itu, ini bukanlah kali
pertama Komnas HAM memublikasikan dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan
aparat kepolisian.
Kedua, Komnas HAM merupakan lembaga yang diberi kewenangan penuh oleh
UU untuk menentukan informasi mana yang mesti dirahasiakan dan mana pula
yang dapat dibuka kepada publik. Hal itu tegas diatur dalam Pasal 92 UU
No 39/1999. Ketentuan tersebut menyatakan, Komnas HAM dapat menetapkan
untuk merahasiakan atau membatasi penyebarluasan suatu keterangan atau
bukti lain yang diperoleh Komnas HAM, yang berkaitan dengan materi
pengaduan atau pemantauan.
Norma dimaksud eksplisit memberi ruang bagi Komnas HAM untuk
merahasiakan atau tidak merahasiakan penyebaran suatu keterangan yang
diperoleh melalui penyelidikan. Lantas, atas dasar apa kemudian Polri
akan menindaklanjuti laporan dugaan pelecehan terhadap penyidik karena
Komnas HAM menyampaikan informasi dari hasil penyelidikannya?
Ketiga, salah satu tujuan pembentukan Komnas HAM adalah untuk
meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna
berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya. Dengan tujuan itu,
kehadiran Komnas HAM sesungguhnya juga untuk mengawasi pelaksanaan
kekuasaan aparatur negara yang rentan melanggar HAM, terutama aparat
yang dipersenjatai: TNI dan Polri.
Untuk tujuan meningkatkan perlindungan HAM, publikasi hasil
penyelidikan kepada publik haruslah dibaca sebagai kontrol terhadap
Polri. Apa yang dilakukan Komnas HAM tidak dapat dibaca dari sisi
sebaliknya. Sebab, posisi Polri adalah pihak yang diawasi. Menganggap
langkah Komnas HAM sebagai sebuah tindak pidana sama artinya Polri
hendak melepaskan diri dari segala bentuk pengawasan terhadapnya.
Sebagai lembaga yang diawasi, langkah ideal yang mesti dilakukan Polri
bukan memidanakan komisioner Komnas HAM, melainkan memperbaiki diri dan
membuktikan bahwa polisi bekerja secara profesional. Jika memang
profesional, Polri tentunya tak perlu merasa risi.
Menahan diri
Dengan perkembangan dalam dua pekan terakhir, saatnya pucuk pimpinan
Polri mengontrol setiap tindak tanduk bawahannya. Sebab, berbagai
manuver, termasuk langkah yang ditempuh penyidik Polri, berimplikasi
luas terhadap kehidupan bernegara.
Pertama, upaya tersebut akan memperkeruh hubungan kelembagaan Komnas
HAM-Polri. Pada gilirannya, agenda penegakan hukum dan hak asasi manusia
yang semestinya melibatkan peran aktif keduanya tidak akan berjalan
secara maksimal. Kedua, serangan Polri terhadap Komnas HAM akan semakin
mendegradasi kepercayaan publik kepada Polri. Langkah tersebut akan
dinilai sebagai bentuk kepongahan Polri yang tidak dapat dibiarkan.
Bagaimanapun, Polri jangan pernah melupakan sejarahnya ketika
melepaskan diri dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Kekuatan
yang paling kuat mendukung pemisahan Polri dari TNI adalah organisasi
masyarakat sipil yang bergerak di bidang hak asasi manusia. Dalam
konteks ini, menyerang Komnas HAM secara tidak langsung juga mengarahkan
senjata kepada orang yang dulunya mendukung perjuangan Polri.
Oleh karena itu, tidak ada pilihan paling bijak yang mesti ditempuh
Polri selain menahan diri. Jika tetap bersikukuh karena merasa sedang di
atas angin, tidakkah Polri sedang mengumandangkan maklumat: ini adalah
negara polisi! Siapa pun yang tak bersahabat dengan polisi, ia akan
”dihabisi”.
Kalau demikian, bukankah Polri sedang menghadang cita-cita republik
sebagai negara hukum yang demokratis? Polisi bukan penguasa, melainkan
hanya alat negara yang bertanggung jawab memastikan hukum dan keamanan
terjaga dengan baik.
Khairul Fahmi, Dosen Hukum Tata Negara, Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Maret 2015, di halaman 7 dengan judul "B
No comments:
Post a Comment