Conrad William Watson
Cetak |
269 dibaca
2 komentar
Bagi seorang antropolog yang
profesinya sehari-hari mengajar mahasiswa mengenai makna budaya dan
kebudayaan, pembahasan yang muncul di surat kabar belakangan ini sangat
menggelikan.
Umpamanya polemik mengenai isi RUU Kebudayaan yang tak kunjung habis.
Ada orang berpendapat bahwa dengan adanya UU tersebut, kebudayaan akan
menjadi beku dan statis. Ada orang lain yang berpendapat bahwa, kecuali
ada UU, hasil kebudayaan—kesenian dan kearifan bangsa—akan cepat musnah.
Memandang perselisihan ini, para antropolog menggeleng-gelengkan
kepala: seakan-akan pemikiran yang mereka kemukakan selama puluhan
tahun, baik di perguruan tinggi maupun dalam buku-buku dan esai-esai,
tak pernah sampai ke khalayak ramai.
Sokongan pemerintah
Berkali-kali para antropolog membuktikan bahwa kebudayaan (culture)
ialah sesuatu yang dinamis, yang selalu berubah, bukan sesuatu yang
dapat diatur oleh UU. Akan tetapi, lepas dari tidak perlu UU, antropolog
cukup sadar bahwaada dua hal penting yang tetap mengaitkan kebijakan
pemerintah dengan kesehatan kebudayaan satu negara.
Pertama, untuk memberi semangat pada kegiatan kesenian dan kebudayaan,
pemerintah di mana pun harus memberikan sokongan kepada kegiatan
rombongan dan kelompok yang berkecimpung di bidang kebudayaan: kelompok
sandiwara, tarian, perfilman, kerajinan, tekstil, seni rupa, pendidikan
keilmuan setempat, dan sebagainya.Kalau tidak, mungkin kegiatan-kegiatan
ini akan habis napas, kalah oleh persaingan global.
Justru itu, misalnya, Pemerintah Perancis memberikan subsidi kepada
dunia perfilman di negaranya supaya ada perlindungan dan supaya film AS
tidak menjajah dan menjadi pilihan tunggal bagi pengujung bioskop.
Tetapi, perlu diperhatikan, dana yang diberi bukan terutama untuk
membekukan tradisi lama atau melestarikannya, tetapi justru untuk
mengembangkan tradisi yang hidup sekarang, yang berkembang dan terus
berubah.
Demikianlah, hasil dunia penciptaan seni selalu harus dilindungi oleh
pemerintah, termasuk pemerintah di Indonesia. Tetapi bagaimana caranya?
Di sebagian besar negara, pemerintah mendirikan dan mendanai
badan-badan seperti Dewan Kesenian (Arts Council) yang mandiri dan
bekerja independen. Badan seperti ini disebut quango (quasi
NGO), bukan NGO (LSM) yang mutlak independen (dana toh dari pemerintah),
tetapi seakan-akan LSM di mana orang yang duduk di dewan tersebut bukan
PNS, melainkan orang yang pakar di bidangnya.
Contoh terkenal dari quango di Inggris ialah BBC yang menjaga ketat independensinya. Contoh satu lagi British Council.Jadi, Arts Council, sebagai quango,
dialokasikan dana yang lumayanbesar untukmembagi-baginya ke kelompok
kesenian dan lembaga yang membutuhkan sokongan untuk meneruskan
kegiatan.
Namun, tidak semua kelompok yang meminta dana dari Arts Council akan
mendapatkannya. Permintaan dari semuanya akan dipertimbangkan oleh
anggota Arts Council dan stafnya karena pemberian dana bergantung pada
”pertandingan” di antara para peminta. Baru sesudah
”perlombaan”,kelompok yang memenuhi kriteria bakal menerima subsidi.
Dengan demikian, jelas bahwa orang yang duduk di dewan itu seharusnya
orang berpengalaman dan mampu mempertimbangkan layak tidak suatu
kelompok menerima subsidi. Mereka juga orang yang bersedia bertanggung
jawab secara transparan atas keputusannya. Dalam hal ini tugas
pemerintah ialah memberikan dana memadai untuk keperluan ini dan juga
berhati-hati memilih orang yang akan menjadi anggota dewan: biasanya
orang yang diangkat ditugaskan selama periode tertentu: 1-3 tahun.
Kedua, yang perlu dipertimbangkan ialah kebenaran pendapat orang yang
khawatir mengenai musnahnya hasil dari kesenian dan ciptaan kebudayaan
lama, terutama yang berbentuk fisik: bangunan arsitektur yang merupakan
warisan (heritage); bekas peninggalan sejarah; benda-benda
kuno; patung-patung; lukisan; pakaian;tenunan; dan buku-buku. Kecuali
pemerintah mengambil tindakan tegas, lama- kelamaan hasil ciptaan masa
lampau itu akan hilang.
Justru karena itu, pemerintah yang bijak akan mempergunakan
anggaranKementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mendirikan banyak
museum dan perpustakaan agar mengelakkan kemungkinan ini. Tentu tidak
hanya mendirikannya, tetapi juga membekali dengan anggaran tahunan yang
mencukupi untuk prasarana dan perawatan dan untuk mengangkat cukup
banyak staf/pakar yang diberi pendidikan dan pelatihan yang tepat
sebagai kurator yang dapat menyelenggarakan tugasnya dengan tepat.
Tentu sajapendirian lembaga pelestarian semacam ini bukan hanya tugas
pemerintah pusat. Pemerintah daerah mesti ikut memberi andil. Memang
sekarang kita dapat menyaksikan bagaimana usaha ini sudah dikerjakan di
seluruh Indonesia,tetapidalam menanggapi kepentingan soal ini—perhatikan
minimnya alokasi dana untukkebudayaan—tampaknya keperluan menyelamatkan
warisan leluhur sering dianaktirikan.
Kemudian, kalaukita memperhatikan perkembangan di Indonesia dewasa
ini, tampaknya dari pihak swasta sudah terdapat banyak usaha untuk
mendirikan museum dan perpustakaan kecil. Salah satu contoh, baru-baru
ini diresmikan Perpustakaan Ajip Rosidi di Bandung.
Semestinya usaha swasta semacam ini juga disokong pihak Dewan Kesenian
di tingkat pusat dan tingkat daerah, sebagaimana dijelaskan di atas.
Sekali lagi bukan semua berhak mendapatkan sokongan, tetapi cuma lembaga
yang kinerjanya menurut anggota dewan memenuhi syarat. Dengan cara
demikian, mutu dijaga, serta lembaga dan kelompok swasta tidak
bergantung pada pemberian dari dermawan individu, walaupun peran orang
murah hati (seperti Rockefeller, Carnegie, Cadbury, Ondaatje) sangat
penting dalam mengembangkan kesenian dan merawat warisan sejarah negara.
Didukung anggaran negara
Maka, secara teratur usaha untuk menjaga warisan tradisi dan
mengembangkan seni budaya sepatutnya didukung kuat oleh anggaran negara.
Bukan undang-undang yang dibutuhkan, melainkan perlembagaan badan
pemerintah dan non-pemerintah (quango) yang bertanggung jawab atas kesehatan dan kehidupan ciptaan seni budaya.
Kebudayaan tak dapat diatur dengan hukum; ia selalu akan hidup mandiri.
Hanya orang di pemerintahan totaliter seperti rezim Nazi dan rezim
komunis di Uni Soviet dan Tiongkok masa Revolusi Kebudayaan berpikir
kebudayaan dapat diatur demikian. Dalam pemerintahan yang berbentuk
demokrasi,sastra, kesenian, dan sejarah akan diberi tempat terhormat dan
istimewa. Sebab, rakyatsadar bahwa masa depan suatu negara sangat
bergantung pada penjernihan pikiran dan ketulusan kepribadian yang
diutamakan orang/budayawan yang perlu kebebasan untuk terus
memperjuangkan peningkatan derajat manusia.
Conrad William Watson, Professor School of Business
and Management, ITB; Em. Professor, School of Anthropology and
Conservation, University of Kent, UK
Versi
cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 September 2015, di
halaman 7 dengan judul "Tanggung Jawab atas Kebudayaan".
No comments:
Post a Comment