Tuesday, December 1, 2015

Pemimpin Bernalar Kewarganegaraan

Pemimpin Bernalar Kewarganegaraan

Sistem demokrasi tak selalu menghasilkan pemimpin yang demokratis. Biarpun pemilu berjalan demokratis, rakyat berduyun-duyun datang ke tempat-tempat pemungutan suara, kemudian dari situ lahir seorang pemimpin, hal ini tak menjamin pemimpin terpilih adalah seorang ”demokrat” sejati.
Kadang, sebelum proses pemilihan secara demokratis, sang calon pemimpin berkampanye berjanji akan menegakkan konstitusi, akan menjadi pemimpin yang menjamin kebebasan berekspresi atau berkegiatan di ruang publik. Nyatanya, janji tak selalu ditepati.
Betul bahwa demokrasi hanya sarana, bukan tujuan. Namun, justru di sinilah kadang persoalan besar terjadi. Sistem demokrasi diharapkan mampu menciptakan sosok pemimpin yang demokratis, yakni pemimpin yang tak hanya mendemokratiskan warga masyarakat yang dipimpinnya, tetapi yang lebih penting juga adalah mendemokratiskan dirinya sendiri.
Bagaimana bisa tujuan demokrasi, yakni terciptanya masyarakat yang sejahtera, aman, nyaman, tanpa tekanan atau gangguan akan terwujud jika pemimpinnya tidak demokratis? Bagaimana akan sampai ke tujuan jika sarananya bermasalah?

Agenda Perkotaan Pinggiran


Dalam pertemuan Asia Pacific Urban Forum ke-6, pertengahan Oktober lalu, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono menyatakan bahwa pembangunan perkotaan akan difokuskan pada kawasan penyangga atau pinggir kota sebagai sentra ekonomi baru untuk mencegah membengkaknya urbanisasi di kota besar.
Walaupun agenda itu sepertinya masuk akal, ada hal lain yang mesti diprioritaskan terlebih dulu dalam agenda pembangunan perkotaan di Indonesia.
Persoalan perkotaan
Pertama, pembangunan di dalam kota belum menunjukkan ciri-ciri perkotaan seperti kota maju di dunia. Banyak kawasan perumahan dibangun secara horizontal. Masih banyak lahan menganggur di tengah kota, yang seharusnya bernilai tinggi, tetapi tak bisa dibangun tanpa konsolidasi lahan terlebih dulu.
Pembangunan di tengah kota butuh intervensi pemerintah dalam bentuk konsolidasi lahan: di atas lahan itu bisa dibangun rumah susun untuk mengakomodasi kebutuhan tempat tinggal masyarakat perkotaan, selain juga lahan untuk ruang publik.

Menuju Demokrasi Agonistik


Momen peringatan Sumpah Pemuda Ke-87 tahun ini terasa kurang diisi semangat baru persatuan Indonesia di tengah berbagai tantangan yang dihadapi bangsa.
Mengenang sejarah rintisan persatuan bangsa di masa lalu itu akan lebih terasa bermakna kalau peristiwa itu kita tempatkan dalam konteks tantangan terkini yang dihadapi bangsa dalam mewujudkan persatuan di masyarakat demokratis. Apa tantangan utama yang dihadapi bangsa di era demokrasi sekarang untuk mewujudkan persatuan itu?

Pemuda dan Pembangunan Pertanian


Saat ini pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dituntut mampu membawa Indonesia berswasembada beras pada 2017. Sayangnya, dari laporan Sensus Pertanian 2013, pemuda yang bekerja di sektor pertanian menurun dalam 10 tahun belakangan.
Selama satu dekade (2003– 2013) jumlah keluarga petani, termasuk kelompok usia muda di dalamnya, menurun 5,10 juta, dari 31,24 menjadi 26,14 juta.
Urbanisasibesar-besaran kaum muda ke kota tak terbendung. Yang mengurusi pertanian di desa tinggal perempuan, anak-anak, dan para lanjut usia. Lebih ironis lagi, hampir tak ada orangtua dari keluarga petani yang berharap anaknya menggeluti pertanian. Tak mengherankan, kontribusi sektor pertanian makin turun terhadap produk domestik bruto (PDB). Tingginya laju alih fungsi lahan dan menurunnya jumlah tenaga produktif di sektor pertanian membuat produksi padi (2014) menurun 0,45 juta ton (0,63 persen) dibandingkan dengan tahun 2013 (BPS, 2014).
Perwujudan swasembada beras pada 2017 mengkhawatirkan dengan rencana pemerintah membuka keran impor beras 1,5 juta ton. Target Kementerian Pertanian yang menetapkan produksi gabah kering giling (2015) sebanyak 75,55 juta ton—meningkat 6,64 persen dari produksi 2014 sebesar 70,61 juta ton—diragukan keberhasilannya. Sektor pertanian yang diharapkan dapatmengulang prestasi besar tahun 1984: swasembada beras sekaligus menggerakkan ekonomi domestik, diprediksi akan kandas jika tak ada upaya revolusioner di sektor pertanian.

Urbanisasi, dari Masalah Jadi Peluang

OPINI > ARTIKEL > URBANISASI, DARI MASALAH JADI PELUANG


Urbanisasi atau perpindahan penduduk dari desa ke kota merupakan fenomena tersendiri dalam beberapa dekade belakangan.
Kecenderungan ini juga terjadi di berbagai belahan dunia. Diperkirakan saat ini 50 persen warga Indonesia tinggal di perkotaan. Ke depan, arus urbanisasi yang cepat diprediksi akan menyebabkan warga dunia yang tinggal di perkotaan akan mencapai 70 persen di tahun 2050.
Arus urbanisasi yang begitu cepat dalam jumlah begitu besar, jika tidak diantisipasi secara arif dari awal, akan menyebabkan sejumlah persoalan. Terutama pada degradasi kualitas hidup masyarakat perkotaan, khususnya dari aspek permukiman, ketersediaan air bersih, pasokan energi, dan lingkungan. Demikian fakta yang terungkap dalam Asia Pacific Regional Meeting (APRM) for Habitat III di Jakarta, 21-22 Oktober 2015.
Kenyataan seperti itulah yang menjadi tantangan para peserta APRM yang hadir dari 27 negara di kawasan Asia Pasifik sehingga kita bersama harus berpikir ulang tentang arus urbanisasi. Apakah arus urbanisasi harus dicegah? Ataukah dibiarkan saja, seraya mencari celah agar dampak negatifnya bisa dicegah? Atau bagaimana menangani urbanisasi secara berkualitas sehingga memberikan dampak positif bagi perekonomian dunia?

Memperdagangkan Pengaruh


Politisi Senayan kembali berulah. Tak tanggung-tanggung, kali ini yang dicatut adalah nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk mendapatkan saham PT Freeport Indonesia.
Jika pencatutan nama itu terbukti, politisi tersebut tidak hanya melanggar etika sebagai anggota DPR, tetapi terdapat indikasi yang kuat telah melakukan pelanggaran hukum. Paling tidak, sang politisi dapat dijerat memperdagangkan pengaruh. Trading in influence atau memperdagangkan pengaruh tidak terdapat dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tetapi secara jelas diatur dalam Pasal 18 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.
Perihal keberlakuan UNCAC, terdapat perbedaan pendapat di antara ahli hukum pidana. Ada yang berpendapat bahwa UNCAC belum efektif berlaku karena UU nasional kita belum menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam UNCAC. Argumentasi ini didasarkan pada teori transformasi dalam hukum internasional yang menyatakan bahwa konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh suatu negara tidak serta-merta berlaku sebelum disesuaikan dengan UU nasional. Pendapat yang lain menyatakan, ratifikasi yang dilakukan terhadap UNCAC berlaku sebagai self executing treaty. Artinya, dapat serta-merta diberlakukan sebagai hukum positif.

Gelombang Ekonomi Internet


Ada satu gelombang yang sedang melanda seluruh dunia: ekonomi internet. Di tengah ekonomi global yang diterjang krisis, ekonomi internet tetap tumbuh dengan pesat.
Di Indonesia, ekonomi internet—khususnya e-dagang (e-commerce)—mulai mendapat perhatian serius. Hal ini ditunjukkan oleh rencana pemerintah untuk merevisi dan menerbitkan beberapa aturan terkait e-dagang, serta kabar tentang masuknya mata ajar pemrograman dalam kurikulum pendidikan.
Kita berharap bahwa perhatian yang lebih serius akan berdampak pada terciptanya ekosistem yang lebih kondusif untuk pertumbuhan ekonomi internet di Indonesia dan bukan malah menghambatnya. Ekonomi internet adalah sektor penting yang akan membantu melepaskan kita dari ketergantungan pada sektor ekstraktif dan memberdayakan masyarakat luas dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Antara Demokrasi dan Terorisme


Seorang pelajar di Virginia, Amerika Serikat, terancam hukuman 15 tahun penjara karena dianggap bersalah telah memberikan bantuan material untuk kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah.
JITET
Bantuan ”material” yang dimaksud berupa 7.000 cuitan di Twitter yang berisi pesan mendukung Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Melalui akun Twitternya, Ali Shukri Amin, nama remaja 17 tahun itu, menggalang dukungan dan sumbangan dana untuk NIIS. Untuk menghindari deteksi intelijen, sumbangan diberikan dalam bentuk pembayaran virtual bitcoin dan pembicaraan dilakukan dalam bentuk kode daring.
Teknologi, seperti wajah Janus. Wajah depannya sama persis dengan muka belakangnya. Teknologi bukan sekadar perkara baik atau buruk, diterima atau ditolak. Dalam dirinya, teknologi membawa ambiguitas. Tidak ada arah tunggal dalam kemajuan teknologi (Karlina Supelli, 2013). Problem ambiguitas inilah yang kini terjadi dalam politik Timur Tengah. Media sosial, produk teranyar teknologi komunikasi daninformasi, menampilkan wajah Janus: sebagai instrumen demokrasi dan alat tindak terorisme.

Petral dan Keseriusan Pemerintah


Penyerahan hasil audit investigatif Kordamentha terhadap Petral oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral kepada KPK menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mengambil langkah penyelesaian kasus Pertamina Energy Trading Limited secara obyektif dan terukur.
Diteruskannya hasil audit ke KPK juga menunjukkan bahwa pemerintah menilai masalah Petral adalah masalah hukum yang harus diselesaikan melalui saluran hukum. Audit investigatif terhadap Petral adalah tindak lanjut dari rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas (TRTKM) yang menemukan beberapa kejanggalan dalam pengelolaan Petral. Temuan TRTKM itu kini mendapat penguatan dari hasil audit. Tampaknya pemerintah sangat menyadari, obyektivitas proses penyelesaian sedang dipertaruhkan.
Sekalipun hasil audit belum dipublikasikan secara terbuka, entah dengan maksud apa Menteri ESDM tampak sangat antusias menyampaikan lebih awal salah satu poin kesimpulan tentang ”keterlibatan” yang sedikit mencederai obyektivitas itu. Yakni bahwa Pertamina (Persero) sebagai induk dari Petral Group tidak terlibat permainan mafia migas. Ada pihak ketiga yang bukan manajemen Petral, bukan Pertamina, bukan pemerintah, yang ikut campur atau intervensi dengan mengatur tender, membocorkan harga perhitungan sendiri, serta menggunakan instrumen dan karyawan manajemen Petral untuk memenangkan kepentingannya (Kompas, 19/11).
Pernyataan tentang keterlibatan tersebut, dari kacamata legal adalah pernyataan yang prematur dan kontradiktif. Prematur karena untuk menilai ”keterlibatan” secara yuridis adalah wewenang penegak hukum. Sementara hasil audit, baik yang dilakukan Kordamentha maupun BPK, hanyalah pintu masuk (entry point) menuju penyelesaian hukum dan belum menjadi kebenaran hukum.
Penilaian itu juga kontradiktif karena mengatur tender, membocorkan harga beli pemerintah, dan menggunakan instrumen karyawan tentu hanya bisa dilakukan apabila peserta tender berkolusi dengan ”orang dalam” di Pertamina ataupun di pemerintah (reciprocal). Meski demikian, langkah membawa hasil audit kepada KPK patut diapresiasi sebagai awal keseriusan.

”Quo Vadis” Diaspora Indonesia?


Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Kongres Diaspora di Jakarta, 12 Agustus 2015, meminta diaspora Indonesia meniru diaspora India dan Tiongkok yang dapat menempati posisi penting di dunia internasional, selain berkontribusi dalam pembangunan ekonomi negara asal, tanah kelahirannya.
Mengapa dan ada apa dengan diaspora Tiongkok atau India sehingga perlu ditiru? Dua diaspora ini rupanya penyumbang remitansi terbesar pada 2009. India 49 miliar dollar AS (1), Tiongkok 48 miliar dollar AS (2), Meksiko 22 miliar dollar AS (3), Filipina 20 miliar dollar AS (4), dan Indonesia 7 miliar dollar AS (peringkat ke-17). Di sisi lain, negara berpenduduk kecil justru sangat bergantung pada kiriman uang para perantau ini. Yang bisa menyumbang lebih dari seperempat produk domestik bruto (PDB) adalah Tajikistan: 50 persen.

Tiga Skenario Konflik Laut Tiongkok Selatan


Bagaimanakah perkembangan skenario konflik Laut Tiongkok Selatan? Sikap apakah yang harus diambil? Pertanyaan ini perlu dilontarkan karena perkembangan konflik Laut Tiongkok Selatan menentukan stabilitas regional Asia Tenggara di tahun-tahun mendatang.
Ada beberapa alasan mengapa disebut menentukan. Pertama, Laut Tiongkok Selatan memiliki letak geografis sangat strategis. Laut Tiongkok Selatan merupakan alur jalur laut utama yang menghubungkan Asia Tenggara dengan Timur Jauh. Alasan kedua, konflik Laut Tiongkok Selatan ini telah berlangsung lama (protracted conflict). Lebih dari dua dasawarsa ASEAN telah mengambil inisiatif regional untuk mencari terobosan normatif. Namun, hingga kini formula penyelesaiannya belum sampai pada tataran efektif-empirik. Alasan ketiga, konflik Laut Tiongkok Selatan memiliki dimensi beragam.
Disebut memiliki dimensi beragam karena beberapa alasan berikut. Pertama, konflik Laut Tiongkok Selatan lebih daripada sekadar penentuan garis batas laut. Substansi konflik ini menyangkut status kedaulatan. Ia berawal dari sengketa status kepemilikan sekumpulan pulau-pulau kecil, dikenal dengan nama Spratly. Mengingat pulau merupakan garis tumpu untuk penarikan garis batas laut, konflik kedaulatan kepulauan itu kerap disebut dengan konflik Laut Tiongkok Selatan.

Penentuan Masa Depan KPK


Uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi oleh Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat akan menjadi penentuan masa depan lembaga anti rasuah ini.
Tidak hanya mengkhawatirkan kemauan memilih kandidat yang tepat untuk periode empat tahun mendatang, kemungkinan pelaksanaan proses uji kelayakan dan kepatutan pun masih menjadi pertanyaan besar.
Penilaian demikian muncul karena sejumlah kekuatan politik di Komisi III memperlihatkan keengganan menerima calon pimpinan (paling tidak sebagian di antara mereka) yang dihasilkan panitia seleksi (pansel). Tidak hanya itu, metode yang digunakan dalam menentukan calon yang diajukan ke Presiden (dan diteruskan ke DPR) juga memicu persoalan bagi sebagian politisi di Senayan.
Mengikuti wacana setelah calon yang dihasilkan pansel diajukan Presiden ke DPR, beberapa spekulasi hadir ke tengah masyarakat. Di antara yang mengemuka, terdapat gejala bahwa Komisi III akan mengembalikan calon pimpinan KPK kepada Presiden. Meski masih terdapat sebagian kekuatan di Komisi III yang menghendaki ujikelayakan dan kepatutan tetap diteruskan, gelombang yang menghendaki mengembalikan calon kepada Presiden jauh lebih kuat.