Wednesday, October 21, 2015

Suriah di Simpang Jalan

A Agus Sriyono

Serangan militer Rusia sejak 30 September 2015 ke berbagai wilayah di Suriah memicu ketegangan baru antara Rusia dengan Amerika Serikat. Serangan ini merupakan wujud dukungan Rusia terhadap Presiden Bashar al-Assad.

Para pejabat AS yakin serangan Rusia tidak diarahkan pada kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), melainkan kaum  pemberontak anti pemerintah. Pemberontak dari berbagai faksi di Suriah memperoleh dukungan AS dan koalisinya.

TNI dalam Dua Indeks

Dedi Haryadi

Negara mana yang paling kuat militernya ? Ini daftar 20 negara terkuat di dunia yang baru saja diliris  Global Firepower (GFP): Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, India, Inggris, Perancis, Korea Selatan, Jerman, Jepang, Turki, Israel, Indonesia,  Australia, Kanada, Taiwan, Italia, Pakistan, Mesir, Polandia, dan Thailand.  Indonesia  di urutan ke-12. 

Peringkat ini disusun oleh Global Firepower berdasarkan indeks kekuatan (power index) perang konvensional yang mereka kembangkan sendiri.  Ada enam faktor kekuatan  utama yang membentuk indeks ini, yaitu  sumber daya manusia (SDM), angkatan darat, angkatan udara, angkatan laut,  sumber daya alam (SDA) khususnya minyak, logistik, keuangan, dan geografis. 

"Kejutan" Tahun Pertama

Satu Tahun Jokowi-JK

"Kami berkomitmen untuk membangun politik legislasi yang jelas, terbuka, dan berpihak pada pemberantasan korupsi, penegakan hak asasi manusia, perlindungan lingkungan hidup, dan reformasi lembaga penegak hukum."

Komitmen ini merupakan janji pertama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada sembilan agenda prioritas (angka 4) ihwal penegakan hukum yang tertuang dalam Nawacita.

Tak sampai di situ, guna memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum, Jokowi-Kalla menegaskan komitmen khusus dalam agenda pemberantasan korupsi. Hal itu tertuang dalam janji kedua agenda prioritas keempat: "Kami akan memprioritaskan pemberantasan korupsi secara konsisten dan tepercaya dengan memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi".

Rusia, AS, dan Suriah

tajuk rencana > Rusia, AS, dan Suriah
Sungguh malang nasib yang menimpa Suriah. Ibarat kata, negeri itu sudah jatuh tertimpa tangga; menjadi ajang perta-rungan kekuatan besar.

Sulit untuk tidak mengatakan bahwa Suriah telah menjadi mandala proxy war, perang proksi, tidak hanya antara Rusia dan AS, tetapi juga antara Turki dan Kurdi, antara Arab Saudi dan Iran. Apa yang terjadi di Suriah bukan lagi sekadar perang saudara, perang sektarian, tetapi sudah menjadi perang multi-proksi, yang melibatkan sejumlah negara yang bertarung untuk mempertahankan atau memenuhi kepentingan nasionalnya.

Memang, beberapa waktu lalu, Presiden AS Barack Obama mengatakan tidak akan membiarkan konflik yang terjadi di Suriah menjadi perang proksi antara AS dan Rusia. Akan tetapi, kenyataan di lapangan berkata lain.

Dalam Pusaran Kontradiksi

Satu Tahun Jokowi-JK

Wawan Mas’udi

Terpilih sebagai presiden setahun yang lalu, Joko Widodo (Jokowi) adalah titik temu variasi kepentingan dan harapan politik yang tidak sepenuhnya selaras, dan bahkan berpotensi saling bertabrakan. 

Ia menjadi harapan masyarakat sipil demi jaminan keberlanjutan demokrasi dan iklim kebebasan, sekaligus menjadi pertaruhan partai-partai politik yang secara alamiah haus kekuasaan.

Ia menjadi tumpuan kelompok bisnis dan pengusaha demi lingkungan ekonomi yang menjamin membesarnya keuntungan, sekaligus tumpuan kaum buruh demi perbaikan kesejahteraan dan kelompok masyarakat sipil yang mengedepankan ekonomi berkelanjutan. Tegasnya, Jokowi didukung berbagai kelompok yang secara natural kontradiktif dan punya agenda asimetris, tetapi terhimpun dalam satu solidaritas pragmatis untuk mengalahkan Prabowo Subianto.

Setahun Nawacita Politik

Satu Tahun Jokowi-JK

Azyumardi Azra


Setahun Nawacita. Hasil apa saja yang dicapai pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla selama satu tahun ini, khususnya dalam bidang politik? Tolok ukur yang berdasar adalah Nawacita, khususnya menyangkut politik yang menjadi kerangka dasar pemerintahan Jokowi-Kalla. Dari Sembilan Gatra Nawacita, setidaknya ada lima yang terkait langsung dengan politik. Pencapaian tiap-tiap gatra itu terlihat masih jauh dari harapan.

Gatra pertama Nawacita terkait politik adalah menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman bagi semua warga negara melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang tepercaya, dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim.

"Quo Vadis" Hari Santri Nasional

Kamaruddin Amin 

Struktur demografi Indonesia memosisikan santri sebagai bagian fundamental dari negeri tercinta Indonesia.
Meskipun secara historis kontribusi santri dalam proses pembentukan bangsa ini amatlah besar, eksistensi dan perannya dalam pergumulan Indonesia modern masih terasa marjinal atau "termarjinalkan". Apa makna penetapan Hari Santri dalam konteks Indonesia modern? Apakah penetapan tersebut dapat menarik komunitas santri dari pinggiran ke poros percaturan sosial, budaya, ekonomi, dan politik Indonesia kontemporer?  

 Kalau kita membaca sejarah perjuangan tokoh-tokoh, seperti Hasyim Asyari (NU), KH Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), A Hassan (Persis), Ahmad Soorkati (Al-Irsyad), Mas Abd Rahman (Matlaul Anwar), mereka adalah tokoh-tokoh Islam yang berdarah Merah Putih. Mereka memiliki komitmen keislaman dan keindonesiaan yang sangat kuat. 

Kalau definisi santri dapat dinisbahkan kepada mereka, maka santri adalah mereka yang memiliki komitmen keislaman dan keindonesiaan, mereka yang hidupnya diinspirasi dan diselimuti nilai-nilai Islam di satu sisi dan semangat serta kesadaran penuh tentang kebangsaan Indonesia yang majemuk di sisi lain. 

Oleh sebab itu, santri tidaklah eksklusif teratribusi pada komunitas tertentu, tetapi mereka yang dalam tubuhnya mengalir darah Merah Putih dan tarikan napas kehidupannya terpancar kalimat la ilaha illallah. Kalau definisi ini kita sepakati, maka penetapan Hari Santri menjadi sangat relevan dalam konteks Indonesia modern yang plural. Hari Santri menjadi milik umat Islam Indonesia secara keseluruhan. 

 Penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri memiliki justifikasi historis yang kokoh di mana hadrot al-Syakh Hasyim Asyari mengeluarkan resolusi jihad yang mewajibkan umat Islam berjihad melawan penjajah. Resolusi tersebut berhasil memberi energi dan semangat patriotisme yang sangat dahsyat kepada umat Islam pada saat itu. Penetapan tanggal tersebut tentu tidak mengurangi, apalagi menafikan, nilai heroisme dan patriotisme tokoh-tokoh   lain yang telah menorehkan sejarah dan peristiwa historik yang lain.

 Definisi santri seperti di atas diharapkan menjadi driving force yang dapat mengintegrasikan, tak hanya ideologis sosiologis, tetapi juga politis. Oleh karena itu, penetapan Hari Santri setidaknya merupakan, pertama, pemaknaan sejarah Indonesia yang orisinal dan otentik yang tidak terpisah dari episteme bangsa. Bahwa, Indonesia tak hanya dibangun di atas senjata, darah, dan air mata, tetapi berdiri karena keikhlasan dan perjuangan para santri religius yang berdarah Merah Putih.

Kedua, secara sosio-politik mengonfirmasi kekuatan relasi Islam dan negara. Indonesia dapat menjadi model dunia tentang hubungan Islam dan negara.

Ketiga, meneguhkan persatuan umat Islam yang telah terafiliasi dan menyejarah dalam ormas-ormas Islam dan parpol yang berbeda. Perbedaan melebur dalam semangat kesantrian yang sama.

Keempat, pengarusutamaan santri yang berpotensi termarjinalkan oleh derasnya arus globalisasi. Penetapan Hari Santri tentu tak hanya bersifat simbolik formalistik, tetapi bentuk afirmasi realistis atas komunitas santri.
Kelima, menegaskan distingsi Indonesia yang religius demokratis atau upaya merawat dan mempertahankan religiusitas Indonesia yang demokratis di tengah kontestasi pengaruh ideologi agama global yang cendrung ekstrem radikal.  

Komunitas penting
 Islam Indonesia kontemporer yang demokratis, progresif, moderat, toleran, inklusif, dan apresiatif terhadap diversitas budaya dan agama tidak bisa dilepaskan dari kontribusi fundamental para santri. Dengan kata lain, perjuangan panjang tanpa henti para santri mempromosikan moderasi Islam di tengah pluralitas budaya dan etnik yang sangat masif membuahkan hasil Indonesia yang damai, meskipun konflik komunal, konflik sporadis yang mengatasnamakan agama tertentu masih sering ditemukan. 

  Sebagai tindak lanjut dari penetapan Hari Santri tersebut, pemerintah dan santri harus bersinergi mendorong komunitas santri ke poros peradaban Indonesia. Santri tidak boleh menjadi penonton, cemburu dalam dialektika sosial budaya ekonomi politik Indonesia. Negara pun memberi ruang proporsional bagi santri untuk beraktualisasi. 

Sebagai bagian dari komunitas santri, pondok pesantren yang jumlahnya hampir 30.000 lembaga dengan jumlah santri tidak kurang 4 juta-di samping memainkan peran utamanya sebagai lembaga dakwah, lembaga pendidikan tafaqquh fiddin yang konsentrasi mencetak ulama, agen perubahan sosial-harus berada di garda depan memberi kontribusi konkret dalam membela Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kehadiran negara dalam dunia santri harus semakin terasa. Jika sinergi ini bisa diwujudkan, maka santri akan menjadi komunitas penting yang akan menopang Indonesia sejahtera di masa yang akan datang.
Kamaruddin Amin
Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama

Penganggur Muda dan Solusinya

Edy Priyono

Jika "muda" didefinisikan sebagai kelompok umur 15-24 tahun, data BPS mengungkap fenomena menarik tentang penganggur usia muda. 

Pada 2014 tercatat ada 4,5 juta penganggur muda di Indonesia atau 62 persen dari total penganggur. Artinya, hampir dua pertiga penganggur di pasar kerja merupakan penganggur berusia muda.

Perlu dicatat, definisi Badan Pusat Statistik (BPS) tentang penganggur meliputi mereka yang: (1) kegiatan utamanya mencari pekerjaan, (2) mempersiapkan usaha, (3) tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan, dan (4) sudah punya pekerjaan, tetapi belum mulai bekerja. Sebenarnya definisi tersebut tidak sejalan dengan apa yang tertera di buku-buku teks demografi yang menganggap penganggur hanya mereka yang tidak bekerja dan sedang aktif mencari pekerjaan. Namun, kenyataannya batasan itulah yang digunakan dalam statistik resmi pemerintah.

Setahun Revolusi Mental



Satu Tahun Jokowi-JK

Bambang Kesowo
Kompas Cetak | 20 Oktober 2015
Sering terdengar kata yang bagai jargon dewasa ini: Revolusi Mental. Mental yang mana yang akan direvolusikan, dan bagaimana melakukannya? 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi kedua; 1996), mental berarti (sesuatu yang bersangkutan dengan) batin atau watak. Jika demikian, mungkinkah pembentukan ataupun perubahan yang berkaitan dengan watak dan batin di-revolusi-kan? Kalau revolusi dimaknai sebagai gerak perubahan yang massal dan cepat, mental manakah yang akan diubah dengan tuntas dan cepat melalui revolusi? Ataukah kata revolusi harus dipahami dalam arti kiasan, sekadar pemanis dan "pendahsyat" kata, dan dengan demikian tak perlu dipikirkan dalam-dalam? 

Ada penilaian bahwa selama ini telah berlangsung sedemikian banyak gerak yang salah tempat karena salah persepsi terhadap kata yang digunakan. Lebih mengkhawatirkan, kalau kata-kata yang dahulu digunakan sebagai jargon semasa pemilu/pilpres diterima massa pemilih karena mereka semula berpikiran sama tentang kata-kata itu, tetapi belakangan sadar ternyata pengertian dan persepsi mereka berbeda. Adanya kesenjangan pengertian dan persepsi mungkin saja terjadi karena sedari awal juga tak pernah ditegaskan dalam kampanye, mental (dan mentalitas) apa dan yang mana yang akan diubah melalui revolusi/secara revolusioner, dan bagaimana melaksanakannya. 

Menarik diamati, di tengah kesimpangsiuran paham tentang soal ini, belum terdengar pandangan dari budayawan pemikir, seperti Goenawan Mohamad, Karlina Supeli, Yudi Latif, Ahmad Tohari, ataupun warga sepuh, seperti Ahmad Syafii Maarif, Franz Magnis-Suseno, Sayidiman Suryohadiprodjo, Daoed Joesoef, dan Jakob Oetama.

UUPA Setelah 55 Tahun

Maria SW Sumardjono
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang terbit pada 24 September 1960 pada awalnya dimaksudkan untuk menjadi lex generalis bagi semua peraturan terkait sumber daya agraria/sumber daya alam, setidaknya jika ditilik dari sepuluh pasal UUPA.

Dalam perjalanan waktu, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mengalami pasang surut, bahkan cenderung menjadi dilematis. Hal ini tampak saat posisi UUPA dihadapkan pada UU sektoral lainnya dan keraguan sikap untuk mempertahankan atau meninggalkan UUPA yang dapat dicermati dalam berbagai kerancuan kebijakan/peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.

Judul ”agraria” sebagai obyek pengaturan sudah sejak semula mengundang polemik karena, dari keseluruhan pasal UUPA, hanya sepuluh pasal yang dimaksudkan untuk mengatur semua sumber daya alam (SDA), termasuk tanah. Hampir 80 persen UUPA mengatur tentang tanah. Karena mayoritas pengaturan UUPA berkenaan dengan tanah, dari situlah awal polemik bermula antara apakah UUPA itu bersifat lex generalis atau lex specialis.

Pemerintah Daerah dan Desa

IVANOVICH AGUSTA

Pemerintah daerah sedang merenda kisah merana kala berhubungan dengan desa. Berposisi di ujung wilayah otonom, peraturan perundangan menimpakan puluhan tugas pengelolaan desa. Ditambah lagi sebagai penanggung jawab atas puluhan ribu laporan penggunaan dana desa dan alokasi dana desa.

Menempati simpul strategis, selayaknya pemerintah daerah mendapatkan tambahan porsi wewenang, seraya pengembangan identitasnya sendiri saat meningkatkan kapasitas perangkat dan pembangunan desa. Ini dapat dilakukan melalui penciptaan peluang kolaborasi baru antara pemerintah pusat dan daerah, bersama perangkat desa.

Menghitung Hari Menuju MEA

ADHI S LUKMAN

Integrasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah di ambang pintu.
Tantangan terbesar adalah membuat mimpi menjadikan pasar tunggal dan basis produksi untuk bersaing di pasar global menjadi kenyataan sesuai komitmen para deklarator ASEAN. 

Menjelang integrasi pasar MEA yang akan berlaku efektif 31 Desember 2015, dunia diguncang krisis ekonomi  cukup parah, termasuk melanda Indonesia. Komoditas (termasuk perkebunan yang selama ini menjadi andalan Indonesia) mengalami "triple turun", turun produksi, harga, dan permintaan, yang sulit dijelaskan dengan teori ekonomi normal, penawaran-permintaan (supply- demand), diperparah  bencana kebakaran hutan dan El Nino.

Seharusnya, di tengah pertumbuhan populasi dunia yang cepat, kebutuhan manusia dan permintaan meningkat, tetapi tiba-tiba ekonomi menyusut secara cepat. Dalam kondisi demikian, pemerintah disibukkan menyelamatkan ekonomi dan berbagai paket kebijakan disiapkan, termasuk memperlancar arus barang. Paralel dengan kebijakan ini, perlu dipikirkan Indonesia menjadi ASEAN-Hub dan regulasi yang disiapkan juga harus mendukung hal tersebut.

Indonesia memiliki potensi besar, lokasi geografis strategis, potensi pelabuhan laut tersebar di banyak area, dan terbesar di ASEAN dalam  sumber daya alam, populasi, serta  PDB. Tantangannya, bagaimana menjadikan Indonesia sebagai pusat perdagangan ASEAN dengan segala kelebihan tersebut.

Netralitas ASN di Pilkada



Asrinaldi A
KompasCetak | 21 Oktober 2015
Bukanlah hal yang mudah mengharapkan aparatur sipil negara untuk bersikap netral dalam pilkada. 
Walaupun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) sudah mengatur secara jelas larangan ini, indikasi keterlibatan aparatur sipil tersebut masih dapat dijumpai di hampir setiap daerah yang melaksanakan pilkada. 

Memang dalam praktiknya keterlibatan ini sering dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tetapi bukan berarti realitas tidak dapat diidentifikasi oleh banyak pihak. Bahkan, nota kesepahaman (MOU) yang ditandatangani Badan Kepegawaian Negara, Komisi Aparatur Sipil Negara, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Dalam Negeri, dan Badan Pengawas Pemilu baru-baru ini juga tidak akan mampu membatasi ruang gerak aparatur sipil ini untuk bersikap netral.