Serangan militer Rusia sejak 30
September 2015 ke berbagai wilayah di Suriah memicu ketegangan baru
antara Rusia dengan Amerika Serikat. Serangan ini merupakan wujud
dukungan Rusia terhadap Presiden Bashar al-Assad.
Para pejabat AS yakin serangan Rusia tidak diarahkan pada kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), melainkan kaumpemberontak anti pemerintah. Pemberontak dari berbagai faksi di Suriah memperoleh dukungan AS dan koalisinya.
Negara mana yang paling kuat
militernya ? Ini daftar 20 negara terkuat di dunia yang baru saja
diliris Global Firepower (GFP): Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok,
India, Inggris, Perancis, Korea Selatan, Jerman, Jepang, Turki, Israel,
Indonesia, Australia, Kanada, Taiwan, Italia, Pakistan, Mesir,
Polandia, dan Thailand. Indonesia di urutan ke-12.
Peringkat ini disusun oleh Global Firepower berdasarkan indeks kekuatan (power index)
perang konvensional yang mereka kembangkan sendiri. Ada enam faktor
kekuatan utama yang membentuk indeks ini, yaitu sumber daya manusia
(SDM), angkatan darat, angkatan udara, angkatan laut, sumber daya alam
(SDA) khususnya minyak, logistik, keuangan, dan geografis.
"Kami
berkomitmen untuk membangun politik legislasi yang jelas, terbuka, dan
berpihak pada pemberantasan korupsi, penegakan hak asasi manusia,
perlindungan lingkungan hidup, dan reformasi lembaga penegak hukum."
Komitmen
ini merupakan janji pertama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden
Jusuf Kalla pada sembilan agenda prioritas (angka 4) ihwal penegakan
hukum yang tertuang dalam Nawacita.
Tak sampai di situ,
guna memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan
penegakan hukum, Jokowi-Kalla menegaskan komitmen khusus dalam agenda
pemberantasan korupsi. Hal itu tertuang dalam janji kedua agenda
prioritas keempat: "Kami akan memprioritaskan pemberantasan korupsi
secara konsisten dan tepercaya dengan memperkuat Komisi Pemberantasan
Korupsi".
Sungguh malang nasib yang menimpa Suriah. Ibarat kata, negeri itu sudah jatuh tertimpa tangga; menjadi ajang perta-rungan kekuatan besar.
Sulit untuk tidak mengatakan bahwa Suriah telah menjadi mandala proxy war,
perang proksi, tidak hanya antara Rusia dan AS, tetapi juga antara
Turki dan Kurdi, antara Arab Saudi dan Iran. Apa yang terjadi di Suriah
bukan lagi sekadar perang saudara, perang sektarian, tetapi sudah
menjadi perang multi-proksi, yang melibatkan sejumlah negara yang
bertarung untuk mempertahankan atau memenuhi kepentingan nasionalnya.
Memang, beberapa waktu lalu, Presiden AS Barack Obama mengatakan tidak
akan membiarkan konflik yang terjadi di Suriah menjadi perang proksi
antara AS dan Rusia. Akan tetapi, kenyataan di lapangan berkata lain.
Terpilih
sebagai presiden setahun yang lalu, Joko Widodo (Jokowi) adalah titik
temu variasi kepentingan dan harapan politik yang tidak sepenuhnya
selaras, dan bahkan berpotensi saling bertabrakan.
Ia menjadi
harapan masyarakat sipil demi jaminan keberlanjutan demokrasi dan iklim
kebebasan, sekaligus menjadi pertaruhan partai-partai politik yang
secara alamiah haus kekuasaan.
Ia menjadi tumpuan kelompok bisnis
dan pengusaha demi lingkungan ekonomi yang menjamin membesarnya
keuntungan, sekaligus tumpuan kaum buruh demi perbaikan kesejahteraan
dan kelompok masyarakat sipil yang mengedepankan ekonomi berkelanjutan.
Tegasnya, Jokowi didukung berbagai kelompok yang secara natural
kontradiktif dan punya agenda asimetris, tetapi terhimpun dalam satu
solidaritas pragmatis untuk mengalahkan Prabowo Subianto.
Setahun Nawacita. Hasil apa saja yang dicapai pemerintahan Presiden
Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla selama satu tahun ini,
khususnya dalam bidang politik? Tolok ukur yang berdasar adalah
Nawacita, khususnya menyangkut politik yang menjadi kerangka dasar
pemerintahan Jokowi-Kalla. Dari Sembilan Gatra Nawacita, setidaknya ada
lima yang terkait langsung dengan politik. Pencapaian tiap-tiap gatra
itu terlihat masih jauh dari harapan.
Gatra pertama Nawacita terkait politik adalah menghadirkan kembali
negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman bagi
semua warga negara melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan
nasional yang tepercaya, dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra
terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat jati diri
sebagai negara maritim.
Struktur demografi Indonesia memosisikan santri sebagai bagian fundamental dari negeri tercinta Indonesia.
Meskipun
secara historis kontribusi santri dalam proses pembentukan bangsa ini
amatlah besar, eksistensi dan perannya dalam pergumulan Indonesia modern
masih terasa marjinal atau "termarjinalkan". Apa makna penetapan Hari
Santri dalam konteks Indonesia modern? Apakah penetapan tersebut dapat
menarik komunitas santri dari pinggiran ke poros percaturan sosial,
budaya, ekonomi, dan politik Indonesia kontemporer?
Kalau kita
membaca sejarah perjuangan tokoh-tokoh, seperti Hasyim Asyari (NU), KH
Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), A Hassan (Persis), Ahmad Soorkati
(Al-Irsyad), Mas Abd Rahman (Matlaul Anwar), mereka adalah tokoh-tokoh
Islam yang berdarah Merah Putih. Mereka memiliki komitmen keislaman dan
keindonesiaan yang sangat kuat.
Kalau definisi santri dapat
dinisbahkan kepada mereka, maka santri adalah mereka yang memiliki
komitmen keislaman dan keindonesiaan, mereka yang hidupnya diinspirasi
dan diselimuti nilai-nilai Islam di satu sisi dan semangat serta
kesadaran penuh tentang kebangsaan Indonesia yang majemuk di sisi lain.
Oleh
sebab itu, santri tidaklah eksklusif teratribusi pada komunitas
tertentu, tetapi mereka yang dalam tubuhnya mengalir darah Merah Putih
dan tarikan napas kehidupannya terpancar kalimat la ilaha illallah.
Kalau definisi ini kita sepakati, maka penetapan Hari Santri menjadi
sangat relevan dalam konteks Indonesia modern yang plural. Hari Santri
menjadi milik umat Islam Indonesia secara keseluruhan.
Penetapan
22 Oktober sebagai Hari Santri memiliki justifikasi historis yang kokoh
di mana hadrot al-Syakh Hasyim Asyari mengeluarkan resolusi jihad yang
mewajibkan umat Islam berjihad melawan penjajah. Resolusi tersebut
berhasil memberi energi dan semangat patriotisme yang sangat dahsyat
kepada umat Islam pada saat itu. Penetapan tanggal tersebut tentu tidak
mengurangi, apalagi menafikan, nilai heroisme dan patriotisme
tokoh-tokoh lain yang telah menorehkan sejarah dan peristiwa historik
yang lain.
Definisi santri seperti di atas diharapkan menjadi driving force
yang dapat mengintegrasikan, tak hanya ideologis sosiologis, tetapi
juga politis. Oleh karena itu, penetapan Hari Santri setidaknya
merupakan, pertama, pemaknaan sejarah Indonesia yang orisinal dan
otentik yang tidak terpisah dari episteme bangsa. Bahwa,
Indonesia tak hanya dibangun di atas senjata, darah, dan air mata,
tetapi berdiri karena keikhlasan dan perjuangan para santri religius
yang berdarah Merah Putih.
Kedua, secara sosio-politik
mengonfirmasi kekuatan relasi Islam dan negara. Indonesia dapat menjadi
model dunia tentang hubungan Islam dan negara.
Ketiga, meneguhkan
persatuan umat Islam yang telah terafiliasi dan menyejarah dalam
ormas-ormas Islam dan parpol yang berbeda. Perbedaan melebur dalam
semangat kesantrian yang sama.
Keempat, pengarusutamaan santri
yang berpotensi termarjinalkan oleh derasnya arus globalisasi. Penetapan
Hari Santri tentu tak hanya bersifat simbolik formalistik, tetapi
bentuk afirmasi realistis atas komunitas santri.
Kelima,
menegaskan distingsi Indonesia yang religius demokratis atau upaya
merawat dan mempertahankan religiusitas Indonesia yang demokratis di
tengah kontestasi pengaruh ideologi agama global yang cendrung ekstrem
radikal.
Komunitas penting
Islam
Indonesia kontemporer yang demokratis, progresif, moderat, toleran,
inklusif, dan apresiatif terhadap diversitas budaya dan agama tidak bisa
dilepaskan dari kontribusi fundamental para santri. Dengan kata lain,
perjuangan panjang tanpa henti para santri mempromosikan moderasi Islam
di tengah pluralitas budaya dan etnik yang sangat masif membuahkan hasil
Indonesia yang damai, meskipun konflik komunal, konflik sporadis yang
mengatasnamakan agama tertentu masih sering ditemukan.
Sebagai
tindak lanjut dari penetapan Hari Santri tersebut, pemerintah dan santri
harus bersinergi mendorong komunitas santri ke poros peradaban
Indonesia. Santri tidak boleh menjadi penonton, cemburu dalam dialektika
sosial budaya ekonomi politik Indonesia. Negara pun memberi ruang
proporsional bagi santri untuk beraktualisasi.
Sebagai
bagian dari komunitas santri, pondok pesantren yang jumlahnya hampir
30.000 lembaga dengan jumlah santri tidak kurang 4 juta-di samping
memainkan peran utamanya sebagai lembaga dakwah, lembaga pendidikan tafaqquh fiddin
yang konsentrasi mencetak ulama, agen perubahan sosial-harus berada di
garda depan memberi kontribusi konkret dalam membela Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
Kehadiran negara dalam dunia santri
harus semakin terasa. Jika sinergi ini bisa diwujudkan, maka santri akan
menjadi komunitas penting yang akan menopang Indonesia sejahtera di
masa yang akan datang.
Kamaruddin Amin
Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama
Jika "muda" didefinisikan sebagai kelompok umur 15-24 tahun, data BPS mengungkap fenomena menarik tentang penganggur usia muda.
Pada
2014 tercatat ada 4,5 juta penganggur muda di Indonesia atau 62 persen
dari total penganggur. Artinya, hampir dua pertiga penganggur di pasar
kerja merupakan penganggur berusia muda.
Perlu dicatat, definisi
Badan Pusat Statistik (BPS) tentang penganggur meliputi mereka yang: (1)
kegiatan utamanya mencari pekerjaan, (2) mempersiapkan usaha, (3) tidak
mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan,
dan (4) sudah punya pekerjaan, tetapi belum mulai bekerja. Sebenarnya
definisi tersebut tidak sejalan dengan apa yang tertera di buku-buku
teks demografi yang menganggap penganggur hanya mereka yang tidak
bekerja dan sedang aktif mencari pekerjaan. Namun, kenyataannya batasan
itulah yang digunakan dalam statistik resmi pemerintah.
Sering terdengar kata yang bagai jargon dewasa ini:
Revolusi Mental. Mental yang mana yang akan direvolusikan, dan bagaimana
melakukannya?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi
kedua; 1996), mental berarti (sesuatu yang bersangkutan dengan) batin atau
watak. Jika demikian, mungkinkah pembentukan ataupun perubahan yang berkaitan
dengan watak dan batin di-revolusi-kan? Kalau revolusi dimaknai sebagai gerak
perubahan yang massal dan cepat, mental manakah yang akan diubah dengan tuntas
dan cepat melalui revolusi? Ataukah kata revolusi harus dipahami dalam arti
kiasan, sekadar pemanis dan "pendahsyat" kata, dan dengan demikian
tak perlu dipikirkan dalam-dalam?
Ada penilaian bahwa selama ini telah berlangsung
sedemikian banyak gerak yang salah tempat karena salah persepsi terhadap kata
yang digunakan. Lebih mengkhawatirkan, kalau kata-kata yang dahulu digunakan
sebagai jargon semasa pemilu/pilpres diterima massa pemilih karena mereka
semula berpikiran sama tentang kata-kata itu, tetapi belakangan sadar ternyata
pengertian dan persepsi mereka berbeda. Adanya kesenjangan pengertian dan
persepsi mungkin saja terjadi karena sedari awal juga tak pernah ditegaskan
dalam kampanye, mental (dan mentalitas) apa dan yang mana yang akan diubah
melalui revolusi/secara revolusioner, dan bagaimana melaksanakannya.
Menarik diamati, di tengah kesimpangsiuran paham
tentang soal ini, belum terdengar pandangan dari budayawan pemikir, seperti
Goenawan Mohamad, Karlina Supeli, Yudi Latif, Ahmad Tohari, ataupun warga
sepuh, seperti Ahmad Syafii Maarif, Franz Magnis-Suseno, Sayidiman
Suryohadiprodjo, Daoed Joesoef, dan Jakob Oetama.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang terbit pada 24
September 1960 pada awalnya dimaksudkan untuk menjadi lex generalis bagi
semua peraturan terkait sumber daya agraria/sumber daya alam,
setidaknya jika ditilik dari sepuluh pasal UUPA.
Dalam perjalanan waktu, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mengalami
pasang surut, bahkan cenderung menjadi dilematis. Hal ini tampak saat
posisi UUPA dihadapkan pada UU sektoral lainnya dan keraguan sikap untuk
mempertahankan atau meninggalkan UUPA yang dapat dicermati dalam
berbagai kerancuan kebijakan/peraturan perundang-undangan di bidang
pertanahan.
Judul ”agraria” sebagai obyek pengaturan sudah sejak semula mengundang
polemik karena, dari keseluruhan pasal UUPA, hanya sepuluh pasal yang
dimaksudkan untuk mengatur semua sumber daya alam (SDA), termasuk tanah.
Hampir 80 persen UUPA mengatur tentang tanah. Karena mayoritas
pengaturan UUPA berkenaan dengan tanah, dari situlah awal polemik
bermula antara apakah UUPA itu bersifat lex generalis atau lex specialis.
Pemerintah daerah sedang merenda
kisah merana kala berhubungan dengan desa. Berposisi di ujung wilayah
otonom, peraturan perundangan menimpakan puluhan tugas pengelolaan desa.
Ditambah lagi sebagai penanggung jawab atas puluhan ribu laporan
penggunaan dana desa dan alokasi dana desa.
Menempati simpul
strategis, selayaknya pemerintah daerah mendapatkan tambahan porsi
wewenang, seraya pengembangan identitasnya sendiri saat meningkatkan
kapasitas perangkat dan pembangunan desa. Ini dapat dilakukan melalui
penciptaan peluang kolaborasi baru antara pemerintah pusat dan daerah,
bersama perangkat desa.
Integrasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah di ambang pintu.
Tantangan
terbesar adalah membuat mimpi menjadikan pasar tunggal dan basis
produksi untuk bersaing di pasar global menjadi kenyataan sesuai
komitmen para deklarator ASEAN.
Menjelang integrasi pasar MEA
yang akan berlaku efektif 31 Desember 2015, dunia diguncang krisis
ekonomi cukup parah, termasuk melanda Indonesia. Komoditas (termasuk
perkebunan yang selama ini menjadi andalan Indonesia) mengalami "triple turun", turun produksi, harga, dan permintaan, yang sulit dijelaskan dengan teori ekonomi normal, penawaran-permintaan (supply- demand), diperparah bencana kebakaran hutan dan El Nino.
Seharusnya, di tengah pertumbuhan populasi dunia yang cepat, kebutuhan
manusia dan permintaan meningkat, tetapi tiba-tiba ekonomi menyusut
secara cepat. Dalam kondisi demikian, pemerintah disibukkan
menyelamatkan ekonomi dan berbagai paket kebijakan disiapkan, termasuk
memperlancar arus barang. Paralel dengan kebijakan ini, perlu dipikirkan
Indonesia menjadi ASEAN-Hub dan regulasi yang disiapkan juga harus
mendukung hal tersebut.
Indonesia memiliki potensi besar, lokasi
geografis strategis, potensi pelabuhan laut tersebar di banyak area, dan
terbesar di ASEAN dalam sumber daya alam, populasi, serta PDB.
Tantangannya, bagaimana menjadikan Indonesia sebagai pusat perdagangan
ASEAN dengan segala kelebihan tersebut.
Bukanlah hal yang mudah mengharapkan aparatur sipil
negara untuk bersikap netral dalam pilkada.
Walaupun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara (ASN) sudah mengatur secara jelas larangan ini, indikasi
keterlibatan aparatur sipil tersebut masih dapat dijumpai di hampir setiap
daerah yang melaksanakan pilkada.
Memang dalam praktiknya keterlibatan ini sering
dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tetapi bukan berarti realitas tidak dapat
diidentifikasi oleh banyak pihak. Bahkan, nota kesepahaman (MOU) yang
ditandatangani Badan Kepegawaian Negara, Komisi Aparatur Sipil Negara, Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Dalam
Negeri, dan Badan Pengawas Pemilu baru-baru ini juga tidak akan mampu membatasi
ruang gerak aparatur sipil ini untuk bersikap netral.