IVANOVICH AGUSTA
Kompas Cetak |
Pemerintah daerah sedang merenda
kisah merana kala berhubungan dengan desa. Berposisi di ujung wilayah
otonom, peraturan perundangan menimpakan puluhan tugas pengelolaan desa.
Ditambah lagi sebagai penanggung jawab atas puluhan ribu laporan
penggunaan dana desa dan alokasi dana desa.
Menempati simpul
strategis, selayaknya pemerintah daerah mendapatkan tambahan porsi
wewenang, seraya pengembangan identitasnya sendiri saat meningkatkan
kapasitas perangkat dan pembangunan desa. Ini dapat dilakukan melalui
penciptaan peluang kolaborasi baru antara pemerintah pusat dan daerah,
bersama perangkat desa.
Urusan daerah
Seandainya
UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah ditetapkan mendahului UU No
6/2014 tentang Desa, mungkin lebih banyak urusan terhadap desa
dibebankan kepada pemerintah provinsi. Hal ini sejalan dengan penguatan
peran pemerintah provinsi dalam UU tersebut.
Namun, berada dalam
ranah perundangan yang lebih lama, UU No 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah yang kini sudah dicabut, akhirnya desa lebih banyak berurusan
dengan pemerintah kabupaten/kota. Tugas terberat bupati/wali kota
tampaknya pembuatan aturan dana desa dan alokasi dana desa. Rinciannya
mencakup penyusunan ukuran pembagian dana, prasyarat pencairan, hingga
pemeriksaan dokumen perencanaan tiap desa. Bupati dan wali kota
sekaligus bertanggung jawab atas pelaporan penggunaan dana desa dan
alokasi dana desa.
Karena diposisikan sekadar menyalurkan dana,
kementerian di pusat dengan ringan menyatakan tak mungkin ada korupsi.
Namun, perlu diingat, operasionalisasi penyaluran, penggunaan, dan
pelaporan dana ditangani pemerintah kabupaten/kota. Artinya, peluang
munculnya lembar-lembar kesalahan administrasi hingga korupsi hampir
sepenuhnya berada di sini.
Bupati dan wali kota juga wajib
mengatur pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan perubahan status
desa. Selanjutnya mengatur pemilihan kepala desa serentak, manajemen
perangkat desa dan badan permusyawaratan desa. Berikutnya, pengaturan
pembangunan desa dan kawasan pedesaan. Tugas teknis yang juga berat
adalah berupa penetapan peta batas wilayah desa dan desa adat.
Tabel
lampiran UU No 23/2014 memang menuliskan juga urusan wajib pemerintah
daerah terhadap pemberdayaan masyarakat dan desa. Namun, jelas tidak
sebanyak rincian dalam UU No 6/2014 beserta peraturan perundangan
turunannya selama dua tahun terakhir.
Sementara itu, tugas
pemerintah provinsi terbatas mengurus desa adat. Tugasnya menyusun
aturan kelembagaan, pengisian jabatan, dan masa jabatan kepala desa
adat. Sebenarnya dukungan pemerintah kabupaten/kota terhadap desa
terbaca kuat pada keuangan desa. Kontribusinya mencapai 54 persen dari
pendapatan desa. Sementara pemerintah provinsi berkontribusi 13 persen.
Artinya, keseluruhan kontribusi pemerintah daerah memuncak hingga 67
persen dari pendapatan desa.
Persoalannya, dukungan sebanyak itu
jarang dimaknai sebagai uluran tangan pemerintah daerah. Dinilai sebagai
tugas, identitas pendukung desa tetap ditabalkan kepada pemerintah
pusat. Ketidakseimbangan tingginya dukungan dan hilangnya identitas
menyumbang pada surutnya prioritas pemerintah daerah untuk pembangunan
desa.
Kolaborasi pemda
Setelah
negara menyatakan kesediaannya mengurus langsung seluruh 74.093 desa,
ada baiknya ditegaskan bahwa urusan desa menjadi tugas kolaboratif
kementerian dan lembaga di pusat, pemerintah daerah, serta perangkat
desa. Operasionalisasinya berupa pemberian ruang untuk berkarya seraya
mengenalkan identitas masing-masing.
Upaya koordinasi antara 17
kementerian dan enam lembaga di pusat dengan pemerintah daerah dapat
dikelola secara efektif oleh Menteri Dalam Negeri. Sebab, setiap tahun
dikeluarkan peraturan menteri berisikan panduan isian anggaran
pendapatan dan belanja daerah. Panduan tersebut memastikan penyediaan
program dan anggaran oleh pemerintah daerah yang sesuai dengan kebutuhan
nasional.
Dalam kaitan desa, misalnya, dipastikan pemerintah
daerah menyiapkan dana dan kegiatan untuk pemilihan kepala desa serentak
2016. Lingkup koordinasi dalam peraturan menteri sebaiknya diperluas
hingga mencakup kepentingan kementerian dan lembaga lain yang turut
mendukung pembangunan desa.
PP No 22/2015 tentang Dana Desa yang
Bersumber dari APBN memang memberikan wewenang kepada Menteri Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT) untuk menentukan
penggunaan dana desa. Peraturan Menteri Desa PDTT No 5/2015 telah
mengunci jenis penggunaannya. Namun, ada baiknya diciptakan ruang bagi
pemerintah daerah. Misalnya, untuk tahun depan dituliskan 5-10 persen
penggunaannya disesuaikan dengan rencana pembangunan pemerintah daerah
bagi kawasan pedesaan. Hal serupa bisa dilakukan Menteri Dalam Negeri,
yang memiliki wewenang dalam menentukan skema alokasi dana desa.
Menteri
Dalam Negeri telah menambah fungsi aparat kecamatan agar mendampingi
pemerintah desa. Peningkatan kapasitas aparat telah diarahkan untuk
membantu pemerintah desa dalam menjalankan pemerintahan, mengelola
musyawarah dan pembangunan, serta meningkatkan pelayanan kepada warga.
Sebenarnya aparat kecamatan perlu juga diajak agar piawai menciptakan
peluang kerja sama pembangunan antardesa serta menguatkan koordinasi
pembangunan desa dan daerah.
Menteri Desa PDTT juga dapat membuka
kiprah pemerintah daerah dalam memutuskan pilihan pendamping tingkat
desa hingga provinsi. Peran deliberatif menambah motivasi pemerintah
daerah dalam koordinasi pendampingan desa.
Ivanovich Agusta Sosiolog Pedesaan IPB Bogor
No comments:
Post a Comment