Kamaruddin Amin
Kompas Cetak |
Struktur demografi Indonesia memosisikan santri sebagai bagian fundamental dari negeri tercinta Indonesia.
Meskipun
secara historis kontribusi santri dalam proses pembentukan bangsa ini
amatlah besar, eksistensi dan perannya dalam pergumulan Indonesia modern
masih terasa marjinal atau "termarjinalkan". Apa makna penetapan Hari
Santri dalam konteks Indonesia modern? Apakah penetapan tersebut dapat
menarik komunitas santri dari pinggiran ke poros percaturan sosial,
budaya, ekonomi, dan politik Indonesia kontemporer?
Kalau kita
membaca sejarah perjuangan tokoh-tokoh, seperti Hasyim Asyari (NU), KH
Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), A Hassan (Persis), Ahmad Soorkati
(Al-Irsyad), Mas Abd Rahman (Matlaul Anwar), mereka adalah tokoh-tokoh
Islam yang berdarah Merah Putih. Mereka memiliki komitmen keislaman dan
keindonesiaan yang sangat kuat.
Kalau definisi santri dapat
dinisbahkan kepada mereka, maka santri adalah mereka yang memiliki
komitmen keislaman dan keindonesiaan, mereka yang hidupnya diinspirasi
dan diselimuti nilai-nilai Islam di satu sisi dan semangat serta
kesadaran penuh tentang kebangsaan Indonesia yang majemuk di sisi lain.
Oleh
sebab itu, santri tidaklah eksklusif teratribusi pada komunitas
tertentu, tetapi mereka yang dalam tubuhnya mengalir darah Merah Putih
dan tarikan napas kehidupannya terpancar kalimat la ilaha illallah.
Kalau definisi ini kita sepakati, maka penetapan Hari Santri menjadi
sangat relevan dalam konteks Indonesia modern yang plural. Hari Santri
menjadi milik umat Islam Indonesia secara keseluruhan.
Penetapan
22 Oktober sebagai Hari Santri memiliki justifikasi historis yang kokoh
di mana hadrot al-Syakh Hasyim Asyari mengeluarkan resolusi jihad yang
mewajibkan umat Islam berjihad melawan penjajah. Resolusi tersebut
berhasil memberi energi dan semangat patriotisme yang sangat dahsyat
kepada umat Islam pada saat itu. Penetapan tanggal tersebut tentu tidak
mengurangi, apalagi menafikan, nilai heroisme dan patriotisme
tokoh-tokoh lain yang telah menorehkan sejarah dan peristiwa historik
yang lain.
Definisi santri seperti di atas diharapkan menjadi driving force
yang dapat mengintegrasikan, tak hanya ideologis sosiologis, tetapi
juga politis. Oleh karena itu, penetapan Hari Santri setidaknya
merupakan, pertama, pemaknaan sejarah Indonesia yang orisinal dan
otentik yang tidak terpisah dari episteme bangsa. Bahwa,
Indonesia tak hanya dibangun di atas senjata, darah, dan air mata,
tetapi berdiri karena keikhlasan dan perjuangan para santri religius
yang berdarah Merah Putih.
Kedua, secara sosio-politik
mengonfirmasi kekuatan relasi Islam dan negara. Indonesia dapat menjadi
model dunia tentang hubungan Islam dan negara.
Ketiga, meneguhkan
persatuan umat Islam yang telah terafiliasi dan menyejarah dalam
ormas-ormas Islam dan parpol yang berbeda. Perbedaan melebur dalam
semangat kesantrian yang sama.
Keempat, pengarusutamaan santri
yang berpotensi termarjinalkan oleh derasnya arus globalisasi. Penetapan
Hari Santri tentu tak hanya bersifat simbolik formalistik, tetapi
bentuk afirmasi realistis atas komunitas santri.
Kelima,
menegaskan distingsi Indonesia yang religius demokratis atau upaya
merawat dan mempertahankan religiusitas Indonesia yang demokratis di
tengah kontestasi pengaruh ideologi agama global yang cendrung ekstrem
radikal.
Komunitas penting
Islam
Indonesia kontemporer yang demokratis, progresif, moderat, toleran,
inklusif, dan apresiatif terhadap diversitas budaya dan agama tidak bisa
dilepaskan dari kontribusi fundamental para santri. Dengan kata lain,
perjuangan panjang tanpa henti para santri mempromosikan moderasi Islam
di tengah pluralitas budaya dan etnik yang sangat masif membuahkan hasil
Indonesia yang damai, meskipun konflik komunal, konflik sporadis yang
mengatasnamakan agama tertentu masih sering ditemukan.
Sebagai
tindak lanjut dari penetapan Hari Santri tersebut, pemerintah dan santri
harus bersinergi mendorong komunitas santri ke poros peradaban
Indonesia. Santri tidak boleh menjadi penonton, cemburu dalam dialektika
sosial budaya ekonomi politik Indonesia. Negara pun memberi ruang
proporsional bagi santri untuk beraktualisasi.
Sebagai
bagian dari komunitas santri, pondok pesantren yang jumlahnya hampir
30.000 lembaga dengan jumlah santri tidak kurang 4 juta-di samping
memainkan peran utamanya sebagai lembaga dakwah, lembaga pendidikan tafaqquh fiddin
yang konsentrasi mencetak ulama, agen perubahan sosial-harus berada di
garda depan memberi kontribusi konkret dalam membela Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
Kehadiran negara dalam dunia santri
harus semakin terasa. Jika sinergi ini bisa diwujudkan, maka santri akan
menjadi komunitas penting yang akan menopang Indonesia sejahtera di
masa yang akan datang.
Kamaruddin Amin
Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama
No comments:
Post a Comment